Kamis, September 18, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Surau Tak Boleh Mati

by Mata Banua
22 Mei 2025
in Opini
0
D:\2025\Mei 2025\23 Mei 2025\8\master opini.jpg
Foto: rri.co.id

Oleh: Rasyid Alhafizh, S. Ag.

Jika Minangkabau adalah pohon besar, maka akar-akarnya tertanam dalam di lantai kayu surau. Secara fungsional, surau tidak hanya sebagai tempat peribadatan saja, tetapi ruang penggemblengan nilai-nilai agama, adat, dan sosial. Anak-anak Minang ditempa sejak dini belajar membaca, mendalami, dan mentadabburi Al-Qur’an, memahami adat, “basambah” (belajar pepatah-petitih), juga basilek (bersilat).

Artikel Lainnya

D:\2025\September 2025\18 September 2025\8\8\Ridho Pratama Satria.jpg

Gaya Hidup Sehat dan Oknum-Oknum Kapitalis

17 September 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kurikulum Berbasis Cinta, Solusi untuk Pendidikan Hari Ini?

17 September 2025
Load More

Surau adalah sekolah pertama dan forum kebudayaan yang hidup. Surau menjadi pabrik produksi pemikir, pemimpin, sastrawan, dan diplomat yang tak cuma cerdas secara akal, tapi juga terdidik dalam rasa dan tanggung jawab sosial. Namun kini, suara surau kian sayup. Di banyak kampung, bangunannya masih berdiri, tapi jiwanya merapuh. Fungsinya perlahan pudar terpinggirkan oleh derasnya arus zaman, tergantikan oleh sekolah formal yang serba terukur, namun sering kali kehilangan ruh. Padahal, justru di tengah dunia yang gaduh dan cepat inilah, kita butuh kembali ke ruang-ruang sunyi seperti surau tempat membangun kembali pondasi diri dan jati diri.

Melacak sejarah, tokoh-tokoh besar Minang yang mengguncang panggung sejarah nasional, hampir semuanya lahir dari sistem pendidikan surau. Buya Hamka, misalnya, bukan lulusan pesantren atau universitas formal. Ia ditempa oleh surau milik ayahnya, Haji Rasul, di Sungai Batang, Maninjau. Di sana, Hamka muda belajar tafsir, filsafat, hingga adab hidup. Jejak yang sama terlihat pada Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta dua arsitek republik yang mengenyam nilai-nilai Minang sejak kecil, sebagian dari lingkungan surau yang menanamkan prinsip keadilan, tanggung jawab, dan keberanian berpikir.

Surau juga melahirkan pemikir dan budayawan besar seperti Taufik Abdullah dan A.A. Navis, dua tokoh yang karyanya telah mengukirkan jejak tak terhapus dalam sastra Indonesia. Bahkan dalam dunia silat, sastra, dan seni tutur Minangkabau, surau menjadi panggung awal tempat anak-anak kampung belajar menata kata dan gerak. Di lantai surau, mereka dilatih tidak hanya untuk menjadi cerdas secara intelektual, tetapi juga untuk mengasah rasa dan sikap, dua hal yang sering terlupakan dalam pendidikan formal modern.

Dari surau, lahir generasi yang berbudi pekerti tinggi, yang memahami bahwa kecerdasan tidak hanya diukur dari kemampuan berhitung atau meraih gelar, tetapi juga dari kematangan dalam bersikap, dalam bertutur, dan dalam meresapi makna hidup. Surau membentuk mereka menjadi insan yang lengkap, yang tahu bagaimana berwajah tampan di hadapan dunia, tapi tetap memiliki hati yang rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama.

Surau adalah sekolah karakter. Di sana, anak-anak tak hanya belajar membaca Al-Qur’an, tetapi juga bersilat, berdiskusi, berpantun, dan memahami struktur adat. Ia adalah ruang pendidikan holistik—tanpa kurikulum tertulis, tapi penuh makna. Namun, laporan Lembaga Adat Minangkabau (LAM) tahun 2023 menunjukkan lebih dari 70% nagari di Sumatera Barat tidak lagi memiliki surau yang aktif digunakan sebagai ruang pendidikan. Surau-surau kini hanya ramai saat Ramadan atau malam Jumat. Fungsinya sebagai penjaga nilai dan wadah pematangan diri nyaris lenyap.

Akibatnya kentara. Survei BPS 2023 menunjukkan kenaikan kasus kenakalan remaja dan konflik sosial di wilayah nagari, sebagian besar disebabkan lemahnya pemahaman nilai lokal dan kurangnya ruang sosialisasi. Generasi muda Minang, dalam banyak hal, sedang kehilangan peta budaya mereka sendiri.

Upaya masif pemerintah daerah untuk mengembalikan fungsi surau terus diupayakan. Sejak 2021, Kementerian Agama (Kemenag) bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menggulirkan program revitalisasi surau. Tahun 2022 difokuskan pada 20 masjid raya dan agung, dan sejak 2023, target diperluas ke 179 surau tingkat kecamatan. Tahun 2024 dan 2025, program ini merambah banyak nagari dan desa. Fokusnya tak semata pembangunan fisik, tapi juga pembinaan guru surau dan penguatan peran sosialnya (Langgam.id, 2023).

Bahkan lebih jauh, Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang bersama Pemerintah Kota Padang menggagas program Manamaik Kaji yang bertujuan menghidupkan kembali budaya belajar surau dalam ekosistem pendidikan tinggi. Dalam tradisi Minangkabau, manamaik kaji bukan sekadar proses belajar, melainkan upaya membentuk watak, menanamkan adab, dan memahami nilai hidup secara mendalam. Program ini dirancang untuk menjembatani warisan nilai dari surau dengan sistem akademik modern (Padek, 2025).

Menghidupkan kembali surau bukan langkah mundur. Ia adalah upaya menanam ulang akar, agar pohon Minangkabau tak tumbang dihempas badai zaman. Surau hari ini bisa berbentuk pusat pembelajaran yang memadukan nilai-nilai adat dengan literasi digital, kewirausahaan, dan moderasi beragama. Di Payakumbuh, Padang Pariaman, dan Agam, sejumlah komunitas sudah memulai ini. Anak-anak belajar silek dan mengaji, lalu berdiskusi soal media sosial dan lingkungan. Di sana, nilai lama dan tantangan baru tak saling bertabrakan, melainkan saling menopang.

Revitalisasi surau tidak bisa hanya berhenti pada pembangunan fisik: memperbaiki atap, melapisi lantai, atau mengecat ulang dinding. Lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan kultural: peran aktif niniak mamak, alim ulama, cerdik pandai, serta pemuda yang bersedia turun tangan bukan hanya sebagai pewaris, tapi penggerak. Surau harus kembali menjadi ruang yang berdenyut. Ia tempat anak-anak muda tak sekadar mendengar ceramah yang normatif, tetapi menyerap kisah-kisah yang membentuk jati diri. Tempat berdialog, bertanya, merenung, dan mengasah nurani. Surau bisa menjadi titik temu antar generasi. Ketika generasi tua bersedia berbagi tanpa menggurui, dan generasi muda mau menyimak tanpa merasa disalahkan, di situlah surau kembali hidup.

Terakhir, mengembalikan kejayaan Minangkabau tidak selalu harus dimulai dari hal besar. Kadang, cukup dengan membuka kembali pintu surau yang lama tertutup. Mengundang anak-anak kampung masuk, duduk bersila, dan menyimak pelajaran dari generasi sebelum mereka.

Membangun Minangkabau hari ini bukan semata-mata soal ekonomi kreatif, infrastruktur, atau penguatan diaspora. Menghidupkan kembali fungsi surau mestinya juga jadi perhatian penuh “urang awak”.

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA