Selasa, Juli 15, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Refleksi Komunikasi Tenaga Kesehatan di Media Sosial

by Mata Banua
21 April 2025
in Opini
0
D:\2025\April 2025\22 April 2025\8\8\Yayuk_fathonah Polkesmar.jpg
Yayuk Fathonah, S.Tr.Kes,M.Tr.TGM (Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang, Peneliti tentang Media Kesehatan)

Di era digital saat ini, komunikasi tidak lagi terbatas pada interaksi langsung, melainkan telah meluas ke ruang-ruang virtual yang tak terbatas. Media sosial menjadi wadah ekspresi sekaligus ruang publik yang penuh dinamika. Tak terkecuali bagi tenaga kesehatan—profesi yang selama ini kita kenal dengan citra mulia dan tanggung jawab etis yang tinggi.

Salah satu peristiwa yang patut terus dijadikan pelajaran adalah pentingnya menjaga sikap dan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kesehatan, tanpa membeda-bedakan pasien—terutama antara pasien umum dan pengguna BPJS. Masyarakat Indonesia tentu masih mengingat bagaimana media sosial pernah digemparkan oleh sebuah video berdurasi kurang dari tiga menit yang viral pada tahun 2023 lalu. Video tersebut memperlihatkan tiga tenaga kesehatan dari Puskesmas Lambunu 2, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, yang memparodikan perbedaan perlakuan terhadap pasien umum dan pasien BPJS. Sayangnya, video tersebut menjadi viral bukan karena pesan edukatif, melainkan karena dinilai melecehkan dan merendahkan pengguna layanan BPJS.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\16 Juli 2025\8\master opini.jpg

Ada Hukum Perlindungan Anak, Tapi Mengapa Perundungan Makin Brutal?

15 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Anak Tidak Sekolah Terus Bertambah,Bukti Kegagalan Sistemik Pendidikan

15 Juli 2025
Load More

Bukan tanpa alasan video itu menuai kontroversi saat itu. Di satu sisi, masyarakat merasa pelayanan kesehatan adalah hak setiap warga negara tanpa diskriminasi. Di sisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa kritik—meski lewat parodi—kadang muncul dari apa yang mereka lihat dan alami sendiri. Tapi ketika sebuah kritik dikemas tanpa sensitivitas dan kebijaksanaan, maka pesan itu bisa kehilangan makna. Yang tertinggal justru hanya luka dan ketersinggungan.

Refleksi

Fenomena ini menjadi refleksi Bersama, terutama tenaga kesehatan (Nakes). Bahwa komunikasi, terutama komunikasi massa yang kini kian cair di media sosial, tidak lagi bisa dianggap remeh. Terlebih bila pelakunya adalah mereka yang menyandang status sebagai tenaga kesehatan—profesi yang tak hanya melekat pada keterampilan medis, tetapi juga pada kepercayaan masyarakat.

Ketiga nakes dalam video tersebut kalau kita ingat, adalah bagian dari generasi Z—generasi yang tumbuh bersama internet, smartphone, dan segala kemudahan teknologi. Mereka kreatif, ekspresif, dan tak ragu menyuarakan isi hati. Tetapi di sinilah persoalannya: media sosial sering kali menjadi ruang yang terlalu bebas, sehingga batas antara kritik dan pelecehan menjadi kabur.

Gen-Z mungkin tidak bermaksud buruk. Mereka hanya mencoba menggambarkan realita, atau setidaknya apa yang mereka anggap sebagai realita. Namun, apa yang dianggap “lucu” atau “relatable” oleh sekelompok orang, bisa jadi menyakitkan dan menyinggung kelompok lainnya. Maka disinilah pentingnya kesadaran baru: bahwa komunikasi di era digital tidak bisa hanya berdasarkan pada niat, tapi juga harus mempertimbangkan dampaknya.

Sebelum klik “unggah”, ada baiknya bertanya: “Apakah hal tersebut akan membantu atau melukai? Apakah ini akan menginspirasi atau justru memperkeruh suasana?” Generasi muda perlu menyadari bahwa menjadi digital native bukan berarti bebas dari tanggung jawab sosial.

Sebagai tenaga kesehatan, sejak masa pendidikan kita sudah akrab dengan pelatihan komunikasi. Tidak hanya komunikasi terapeutik kepada pasien, tetapi juga komunikasi antartim, komunikasi lintas profesi, hingga komunikasi dalam kondisi krisis. Buku seperti Communication Skill For Nurses, Boyd and Dare (2014) dimana dalamnya ada bab Interpersonal Skills dan Teamwork and The Multidisciplinary Team juga menjadi pegangan para pengajar nakes dan mereka share ke mahasiswanya. Juga buku lain misalnya Communication and Interpersonal Skills for Nurses terbitan Learning Matters, London juga mudah diakses bahkan di dalamnya mengingatkan para calon nakes dan nakes bahwa Population and diversity contexts itu riil adanya dan harus diperhatikan penerapannya di lapangan. Kembali jika tiga nakes tersebut itu hanyalah kecelakaan kecil di dunia pelayanan kita. Dari saat mereka dididik sudah tidak kurang-kurangnya mereka dibekali dan diingatkan ilmu komunikasi dalam kesehatan.

Sayangnya, komunikasi di dunia nyata, apalagi di media sosial, belum selalu sejalan dengan yang diajarkan. Banyak nakes yang sangat piawai di ruang praktik, tetapi belum cukup reflektif saat berada di ruang digital. Padahal, masyarakat kini menilai bukan hanya dari apa yang kita kerjakan di rumah sakit atau puskesmas, tetapi juga dari apa yang kita unggah di TikTok dan Instagram serta di medsos lainnya.

Video viral itu memang “kecelakaan” di tengah lautan kerja keras nakes di seluruh Indonesia. Namun setiap kecelakaan memberi pelajaran. Bahwa profesionalisme adalah komitmen seumur hidup, tidak hanya ketika mengenakan seragam, tetapi juga ketika memegang ponsel.

Pendidikan Berkelanjutan

Pendidikan berkelanjutan telah menjadi kewajiban di hampir semua profesi kesehatan. Di keperawatan, misalnya, 25 SKP harus dipenuhi dalam lima tahun melalui berbagai kegiatan ilmiah. Menurut PPNI (2013) Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan atau biasa disebut PKB perawat merupakan tahap pengembangan keprofesian yang mencakup berbagai aktivitas yang dilakukan oleh perawat untuk mempertahankan dan meningkatkan kapasitas profesionalisme sebagai seorang perawat berdasarkan standar kompetensi yang berlaku.

Menurut PPNI (2022) Kegiatan PKB meliputi: Pertama, pengalaman memberikan asuhan keperawatan dalam melaksanakan praktik profesional, kedua, mengikuti kegiatan yang menambah pengetahuan, sikap dan keterampilan guna meningkatkan kompetensi dan keahlian. Ketiga, menulis dan melakukan publikasi ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, dan keempat, melaksanakan pengabdian masyarakat sebagai organisasi profesi PPNI yang mandiri. PKB perawat Indonesia sesuai Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang keperawatan, Dimana perawat berkewajiban mengembangkan praktik profesinya melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan.

Terkait viral tiga nakes yang saat itu ramai diperbincangkan, nampaknya point nomor kedua di atas harus lebih ditekankan lagi akan pentingnya komunikasi massa yang tidak menciderai. Lebih diingatkan lagi bahwa komunikasi itu kini juga etika bermedsos, tentunya yang tidak menimbulkan kegaduhan dan multi persepsi. Lebih dipastikan lagi bahwa ada SKS PKB yang topiknya adalah komunikasi. Penulis yakin di profesi nakes yang lain juga tidak jauh berbeda, artinya selama ini kita lebih banyak menekankan kepada keahlian profesi dan kurang mengambil porsi komunikasi sebagai bagian pendidikan berkelanjutan.

Maka sudah waktunya komunikasi—terutama komunikasi massa dan etika bermedia sosial—dimasukkan sebagai bagian integral dari pendidikan berkelanjutan. Bukan hanya sebagai teori, tapi sebagai praktik. Bagaimana berkomunikasi di ruang digital? Bagaimana menyampaikan kritik secara etis? Bagaimana tetap menjaga martabat profesi meski sedang membuat konten hiburan?

Komunikasi di era medsos bukan lagi sekadar keterampilan, tapi bagian dari tanggung jawab moral. Sebab Komunikasi massa adalah kekuatan. Ia bisa menyatukan atau memecah. Ia bisa menjadi jembatan asa, atau jurang konflik. Di tangan tenaga kesehatan, komunikasi harus menjadi alat penyembuh, bukan alat yang menyakiti.

Kita semua pernah salah, dan setiap kesalahan adalah kesempatan untuk belajar. Dari kasus yang cukup lama tersebut bukan berarti tidak menjadi pelajaran bagi kita saat ini dan yang akan datang, kita belajar bahwa profesi yang mulia harus dijaga, bukan hanya dengan keterampilan klinis, tapi juga dengan etika dan kebijaksanaan dalam berkata-kata.

Media sosial adalah wajah kedua kita hari ini. Maka, mari kita pastikan wajah itu mencerminkan hati yang peduli, pikiran yang bijak, dan semangat untuk melayani sebagai tenaga kesehatan. Semoga.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA