Rabu, Agustus 27, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Eksistensi Partai Politik Pada Kontestasi Pilkada

by Mata Banua
11 Agustus 2024
in Opini
0
D:\2024\Agustus 2024\12 Agustus 2024\8\8\sabarnuddin.jpg
Sabarnuddin (Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Padang)

 

Mendekati pelaksanaan pilkada memantik berbagai diskursus. Pilkada telah terjadi berulang kali dan menghasilkan para kepala daerah yang secara kualitatif masih meninggalkan residu bagi daerah yang dipimpinnya. Esensinya seorang kepala daerah ialah orang yang secara personal, gagasan, serta relasi mampu memajukan daerahnya dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun. Nalar utama ialah kepala daerah tentu telah melihat apa yang menjadi persoalan di daerahnya dan gagasan yang ia janjikan pada masyarakatnya. Disinilah letak determinan yang sebenarnya. Pada akhirnya semua janji yang disampaikan oleh calon kepala daerah berujung pada keputusan rakyat yang menentukan.

Artikel Lainnya

D:\2025\Agustus 2025\27 Agustus 2025\8\Nizar Al Farisy.jpg

Peraturan Daerah Sebagai “Magnum Opus”

26 Agustus 2025
D:\2025\Agustus 2025\27 Agustus 2025\8\8\Gennta Rahmad Putra.jpg

Mungkinkah Dunia Jatuh Dalam Kediktatoran Baru?

26 Agustus 2025
Load More

Secara kronologis calon kepala daerah yang menawarkan diri dengan berbagai resikonya harus memiliki kontrak kerja sama yang baik dengan partai politik yang mengusungnya. Dalam hal ini partai politik sebagai pemberi rekomendasi berhak menentukan kriteria dan konsekuensi kepada kepala daerah yang akan diusungnya. Realitanya partai politik selama ini hanya sekedar memberikan rekomendasi sebagai syarat dalam persyaratan untuk mendaftar ke KPU. Dukungan partai politik sebanyak 20% minimal seperti yang tertera dalam UU Pemilu. Idealnya sebagai pengusung dan penentu apakah orang tersebut layak atau tidak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, partai politik harus mampu menilai kesesuaian antara visi misi calon dengan problematika yang ada.

Korelasi antara gagasan dengan problematika menjadi acuan yang utama. faktanya justru “isi tas” lebih menentukan dari pada gagasan calon. Ini menjadi catatan utama bagi perjalanan pilkada selama ini. pilkada sebagai ajang mencari keuntungan parti dan ini publik tidak mengetahui secara utuh. Sampai kapan praktik ini akan berlanjut akankah hal ini menjadi momok yang melekat dalam perjalanan politik tanpa ada usaha untuk mengevaluasi letak kesalahan awal ada pada partai politik. Dalam UU yang dapat menurunkan jabatan kepala daerah tidak ada elemen partai politik. Hal ini menjadi ambigu sekaligus disparitas, diawal kepala daerah diminta untuk mendapatkan rekomendasi partai politik minimal 20% namun dalam perjalanannya saat ini memimpin partai politik tidak lagi memiliki kuasa atau peran. Berbeda halnya dengan legislatif dan presiden, anggota DPR baik pusat dan daerah dievaluasi kinerjanya oleh partai dan tidak jarang terjadi PAW. Maka ketakutan anggota dewan terhadap “pemecatan” mendadak dari partai selalu menjadi ancaman tersendiri. Pada pemilihan presiden peran partai masih tetap terlihat dengan hadirnya para menteri yang berasal dari partai politik yang mengusungnya.

Dalam pilkada menjadi problem serius yang harus dibenahi, karena hal ini menyangkut dengan hak rakyat dan anggaran negara yang esensinya dapat digunakan untuk membangun berbagai kemajuan di daerah. Para kepala daerah menjadi lebih kuat dan efisien dengan pertanggung jawaban yang konkrit. Utamanya dalam hal ini partai politik sebagai pengusung atau pemberi amanah untuk orang tersebut didudukkan sebagai kepala daerah. Setelah memahami berbagai problem dan kepala daerah memiliki tenggat waktu 2-3 tahun untuk menyelesaikannya bila tidak terselesaikan maka jabatan dicopot atau disanksi secara aturan yang telah ditentukan. Konsekuensi ini menjadi alternatif betapa kepala daerah hari ini seolah tidak terpantau oleh publik kinerjanya dan merasa aman, padahal anggaran negara yang banyak akan mampu membuat merata ekonomi masyarakat bila dipimpin oleh orang yang paham TUPOKSI nya dengan benar.

Kedudukan partai politik di negeri ini sangat krusial, namun seolah hanya menjadi ajang pengusung dan pemberi dukungan yang secara pertanggung jawaban politik hanya bualan semata. Semua pembelaan atau penolakan dapat dicarikan dalilnya bergantung kepentingan siapa dan berapa “isi tas”  yang dikeluarkan. Seolah publik tidak paham seperti apa di balik layar hitam yang tak ditembus oleh cahaya kebenaran namun dirasakan secara nyata oleh masyarakat.

Partai Politik Kehilangan Integritas

Hari ini menjadi realita publik partai politik seolah kehilangan jati diri. Partai politik yang sejak awal dirancang sebagai penjaga demokrasi agar berjalan sesuai relnya namun seolah partai politik pula yang menjadi pelaku utama kehancuran demokrasi. Apalah artinya demokrasi jika hanya memanfaatkan uang sebagai penentu utama. Jika Pun ada partai politik hari ini yang tidak mementingkan uang sebagai penentu pencalonan baik di daerah maupun di pusat bisa dipastikan partai tersebut tidak segagah partai besar yang hari ini berseliweran spanduknya di jalanan.

Ruh dari demokrasi hanya dapat dijalankan secara aturan oleh partai politik. Baik buruknya demokrasi dipelopori pula oleh partai politik. Partai politik menjadi episentrum dalam politik nasional namun seolah perdebatan yang digembosi oleh kepentingan tertentu menjadi musibah nasional.

Dengan perdebatan yang seolah hanya menguntungkan partai A atau B menjadi berdampak pada kebijakan pemerintah. Perdebatan yang seharusnya hanya terjadi dalam internal partai politik namun hari ini menjadi konsumsi publik dan pemerintah mewanti-wanti jangan sampai perang dingin antar partai berefek pada goyangnya kursi pemerintah.

Kepala Daerah disetir Partai Politik

Fenomena yang dirasakan oleh masyarakat selama pilkada berjalan ialah kepala daerah yang terpilih hanya menjaga dan mementingkan partai politik tertentu. Bukan barang bau bila dibuka satu persatu kepentingan yang hanya membuka jalan bagi partai politik tertentu melanggengkan pamornya di daerah. Sebagai kepala daerah kebijakan yang dikeluarkan harus mementingkan keseluruhan masyarakat bukan hanya segelintir orang. Ketimpangan ini bila diteruskan akan menjadi benih persaingan tidak sehat berlarut-larut di daerah.

Penuntasan masalah ini seyogyanya partai politik ambil peran sebagai penengah dan pemberi solusi yakni dengan memberikan kontrak politik kepada kepala daerah berjanji menuntaskan masalah untuk seluruh masyarakat. Realita di daerah jika terdapat kepentingan dari lawan politik maka tidak akan berjalan kebijakan strategis di tempat tersebut. sejatinya kebijakan itu tidak melihat siapa dan dimana namun menjadi kewajiban dari UU untuk kepala daerah untuk adil pada masyarakatnya. Korelasi keadilan dan kemajuan sangat utama dalam mewujudkan kemajuan di daerah.

Kebijakan kepala daerah harus berpijak pada kepentingan rakyat bukan justru sebaliknya. Berapa banyak kepala daerah yang menafikan peran masyarakat dan melihat keuntungan daerah lewat perusahaan besar. Masyarakat sampai kapanpun akan terus ada dan hidup dalam tatanan negara ini, sedangkan perusahaan atau swasta hidup oleh kekayaan alam yang terus dinikmati tak tentu sampai kapan akan habis. Penjaga keseimbangan utama itu terletak pada masyarakat bila peran masyarakat dikucilkan alamat daerah akan kehilangan ruh utama bagi kemajuan daerahnya.

Krisis Moral kepala daerah

Potret kepala daerah yang belakangan banyak disorot oleh media menggambarkan betapa bobroknya clon pilihan partai politik. Hal ini bukan salah partai politik secara keseluruhan namun dapat dicegah sejak awal bahkan partai politik memiliki peralatan yang lengkap untuk mengecek para calon kepala darah yang diusungnya. Berbagai kasus kepala daerah yang belakangan terjadi seolah membenarkan bahwa politik hari ini mesaih berasaskan keuangan yang maha benar. Bila telah dihadapkan pada uang siapapun akan luluh dengan sendirinya termasuk pengadilan hari ini. Betapapun hebatnya hakim membela diri atas putusan yang di luar nalar, publik telah faham bahwa terjadi ketimpangan hukum di pengadilan.

Partai politik harus waspada akan disintegrasi yang diakibatkan oleh kekacauan yang terjadi, kepala daerah yang pandai dan tau permainan dalam politik akan lolos dari radar KPK secara kasat mata. Namun masyarakat yang punya naluri akan merasakan berapa banyak uang negara yang hilang bukan untuk pembangunan namun masuk ke kantong-kantong tertentu.

Fenomena yang telah banyak dibahas dan kajian akademis pun turut menggali fenomena politik hari ini. Eksistensi partai politik yang kehilangan marwah begitupun kepala daerah bak raja yang tidak melihat rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru dianggap tak berdaya yang hanya menjadi penyumbang suara lima tahunan untuk pemilu.

 

 

Tags: partai politikpilkadaSabarnuddin
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA