
Belakangan ini, saya begitu merasa muak secara gila-gilaan melihat realitas yang disuguhkan media sosial hari ini. Ternyata, permasalahan makna kesetaraan gender di tanah air tampak tidak memiliki ujung pembahasan. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang gagal menginsafi makna kesetaraan gender yang sesungguhnya. Tentu sudah barang pasti semua itu berhulu dari ketidakpahaman bagaimana konsep kesetaraan gender yang semestinya dianut.
Rekonsepsi Makna
Realita hari ini, banyak anggapan-anggapan miring perihal kesetaraan gender tersebut. Banyak yang beranggapan bahwa konsep kesetaraan gender ialah suatu konsep ataupun gerakan yang memperjuangkan hak perempuan saja.Setidaknya, semua itu dibuktikan dengan banyaknya kelompok-kelompok yang men-Claim dirinya sebagai aktivis gender sekalipun sudah tidak memiliki penguasaan yang luasterhadap makna gerakan kesetaraan gender tersebut, sehingga menjadikan gerakannya kehilangan gairah begitu saja.
Padahal, gerakan kesetaraan gender bukanlah suatu gerakan yang hanya terfokus membela hak-hak perempuan saja. Namun, juga suatu paham yang memperjuangkan hak kaum laki-laki. Sekali lagi, juga kaum laki-laki. Tidak hanya itu, akhir-akhir ini saya juga menemukan fenomena bahwa pemahaman kesetaraan gender ternyata ditentang keras oleh kelompok yang men-claim diriya kaum santri, sebut saja begitu. Anggapan mereka perihal konsep kesetaraan gender ialah bentuk pemahaman yang bertentangan dengan agama, bertentangan dengan ajaran nabi, bertentangan dengan ijtihad ulama dan lain sebagainya.
Saya pikir, kelompok ini ialah kelompok yang sering memperhadap-hadapkan perihal dalil Tuhan. Seolah-olah kaum santri selalu termakan oleh omongannya sendiri, “jangan menilai sesuatu dari luarnya saja” tapi nyatanya kaum santri telah lebih dahulu menyatakan bahwa paham ini bukan ajaran Tuhan tanpa tau bagaimana konsep paham kesetaraaan gender yang sebenarnya. Secara umum, definisi kesetaraan gender adalah suatu paham yang memperjuangkan hak dan kewajiban kaum laki-laki dan kaum perempuan yang terbentuk oleh konstruksi sosial, dalam artian hasil dari sudut pandang masyarakat terhadap hak dan kewajibannya laki-laki dan perempuan. Secara singkat, perbedaan laki-laki dan perempuan yang dihasilkan oleh buatan manusia yang dipengaruhi oleh budaya dan tradisi, secara khusus bukan yang telah diatur oleh Tuhan atau melawan kodratnya sendiri.
Misalnya, di suatu kampung menganggap laki-laki tidak boleh sekolah, sebab kampung tersebut memiliki keyakinan bahwa hanya kaum perempuan saja yang semestinya sekolah. Nah, maka disinilah peran gerakan kesetaraan gender untuk menentang dan menantang paham yang demikian dengan upaya agar merubah sistem kepercayaan di kampung tersebut, akhirnya memperbolehkan kaum laki-laki untuk diperbolehkan sekolah sebab sekolah ialah hak semua individu tanpa ada embel-embel laki-laki atau perempuankah dia.
Begitupun dengan realita masyarakat di Indonesia, anggapan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin sktuktural negara. Anggapan ini, sudah dianggap diskriminasi terhadap kaum perempuan, sebab sudah semestinya perempuan juga boleh menjadi pemimpin dalam negara ini. Singkatnya, tidak ada hubungan dia menjadi seorang pemimpin dalam negara dengan jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuankah dia. Nyatanya perempuan boleh saja kalah dalam kompetisi PILKADA misalnya atau apapun, namun dengan catatan dia kalah sebab karna kurang berkompeten bukan karena dia berjenis kelamin perempuan.
Selanjutnya, teruntuk kaum santri yang telah dibahas sebelumnya tadi. Saya ingin bertanya, Tuhan mana yang murka sebab gerakan ini memperjuangkan hal demikian? Ajaran Nabi mana yang bertentangan dengan gerakan ini? Atau ulama mana yang mengekang hal demikian? Bukankah status kita sama di mata Tuhan tanpa dibedakan laki-laki atau perempuankah manusia tersebut?
Diskriminasi Kaum Laki-laki
Secara nyata dan jelas, dapat dimaknai bahwa gerakan kesetaran gender bukan gerakan yang menentang kodrat yang telah diciptakan Tuhan. Pun-juga gerakan ini ialah gerakan yang membuktikan bentuk kepedulian terhadap sesama tanpa melihat status sosial, budaya, ras, kaya, miskin ataupun laki-laki, perempuankah.
Selanjutnya, jika menkaji lebih dalam lagi perihal bagaimana gerakan kesetaraan gender ini, sebetulnya terdapat kerancuan sejak akar sehingga gerakan kesetaraan gender itu telah melacuri gerakannya sendiri, sangat paradoks memang. Mengapa tidak? Barangkali sudah bertebaran di media cetak ataupun online kelompok-kelompok aktivis gender selalu berbondong-bondong berada di garda terdepan jika ada masalah-masalah yang berkaitan dengan hak dan kewajiban seseorang, terkhusus terhadap kaum perempuan. Bahkan dari segi penggaungan masalah inipun, selalu yang digaungkan tentang diskriminasi perempuan, seolah-olah kaum lelaki tidak tersentuh perihal diskriminasi.
Bukankah kaum laki-laki juga butuh bantuan atas masalahnya? Bukankah kaum laki-laki juga sering dilecehkan? Ternyata budaya patriarki dimana laki-laki lebih ditonjolkan dari pada perempuan, memiliki efek domino terhadap kaum laki-laki itu sendiri. Tidak hanya perempuan yang menjadi korban ketidakadilan dan kesetaraan gender, laki-lakipun juga. Berapa banyak fakta dilapangan laki-laki menjadi korban pemerkosaan oleh perempuan, lalu ketika membuat laporan kepada pihak yang berwajib, malah dapat olok-olok dari petugas “laki-laki kok lemah, laki-laki kok diperkosa, kamu nikmatinkan?, kamu senangkan?” Akhirnya si korban malah enggan bersuara atas penganiayaan tersebut dan memilih untuk diam. Atau sebab takut terkena beban moral sosial tersebut, citra kaum laki-laki yang selalu menjadi pelaku berefek terhadap ketidakberanian mereka untuk memperjuangkan haknya.
Misalnya lagi, suatu ketika di suatu taman kota ada laki-laki dan perempuan yang sama-sama berteriak minta tolong kalau dirinya dilecehkan. Kemudian orang-orang beramai-ramai ke lokasi. Lalu, siapakah yang jadi tersangka? Siapakah yang dipercai khalayak ramai? Barangkali saya tidak perlu menjawab, silahkan pembaca jawab dan refleksikan sendiri. Selanjutnya, berapa banyak kaum laki-laki yang terdampak dari Toxic Masculinity, mereka dipaksa untuk tidak bisa mengekspresikan hidup sendiri. Mereka terbelenggu oleh norma maskulinitas yang dikontruksi oleh masyarakat, misalnya laki-laki tidak boleh berdiam diri di rumah, laki-laki tidak boleh nangis, laki-laki harus kuat, laki-laki tidak boleh curhat. Jika tidak demikian, maka kaum laki-laki akan dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Demikianlahbeberapa potret dan ungkapan-ungkapan diskriminasi terhadap kaum laki-laki.
Penutup
Saya berharapkonsep dan bentuk gerakan kesetaraan gender harus ditata ulang kembali, begitu paradoks rasanya jika melihat dan menkaji paham ini. Jangan sampai gerakan ini, melacurkan kata-katanya sendiri. Kaum laki-laki selalu menjadi korban dari sengkarut permasalahan paham dan gerakan ini. Oleh sebab itu, mari menormalisasikan bahwa laki-laki juga berhak ditolong, laki-laki juga berhak untuk menangis, laki-laki juga berhak untuk curhat, laki-laki juga berhak untuk berdiam diri di rumah, laki-laki juga berhak terlepas dari belenggu-belenggu yang dikontruksi oleh masyarakat yang menjadi pengekang untuk berekspresi secara bebas dan sewajarnya.