
BANJARMASIN – Direktur Reserse Narkoba Polda Kalimantan Selatan Kombes Pol Kelana Jaya mengatakan, hasil uji Laboratorium Forensik (Labfor) Mabes Polri Cabang Surabaya terhadap buah Kecubung positif mengandung Atropin dan Scopolamine. “Untuk narkotika, Psikotropika dan obat berbahaya lainnya negatif,” katanya, Senin (15/7).
Lantaran tak ada kandungan narkoba, ia mengaku tidak bisa menindak penggunaan buah Kecubung di masyarakat yang kini viral di media sosial, dengan beragam narasi video mengaitkan para korban teler akibat mengonsumsi Kecubung.
Meski begitu, pihaknya tetap berupaya mengambil langkah-langkah pencegahan dan edukasi berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
“Yang pasti penggunaan kecubung tidak baik berdasarkan kandungannya, apalagi sampai di campur dengan obat-obatan terlarang dan alkohol,” jelasnya.
Berkaitan para korban yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sambang Lihum yang disebut-sebut akibat penggunaan buah Kecubung, Kelana mengaku dari keterangan pihak rumah sakit mayoritas mengonsumsi obat-obatan dan mabuk minuman keras oplosan.
“Memang katanya ada juga mengaku mengonsumsi buah Kecubung, namun kita tidak bisa juga memastikan apakah itu murni dampak dari Kecubung atau ada campuran bahan lain yang di konsumsi,” ujarnya.
Sedangkan terhadap penggunaan obat-obatan terlarang yang kerap digunakan untuk efek mabuk atau pengganti narkoba, ia memastikan terus dilakukan penegakan hukum untuk memberantas peredarannya.
Sementara, Kabid Dokkes Polda Kalsel Kombes Pol dr Muhammad El Yandiko menjelaskan, kandungan Atropin dan Scopolamine pada buah Kecubung memang berbahaya bagi kesehatan jika di konsumsi.
“Terutama pada buah dan akar yang paling tinggi kandungannya, yakni 0,4 hingga 0,9 persen, di susul daun dan bunga 0,2 hingga 0,3 persen,” katanya.
Ia mengungkapkan, secara alami Kecubung juga mengandung Alkaloid, yakni dalam bahasa medis disebut golongan obat Antikolinergik yang bekerja pada sistem saraf pusat, sehingga dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung, efek anestesi, dan halusinasi yang bisa bertahan selama dua hari.
“Pengguna akan kesulitan membedakan antara realita dan delusi yang di alami. Kemudian, efek ketergantungan menyusul dan akhirnya menyebabkan keracunan jika di konsumsi berulang,” pungkasnya. ant