
Para ulama dari dulu sampai sekarang menyepakati bahwa Islam adalah agama yang moderat (Al-Islam Dhinul Wasthiyyah). Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik perkara adalah yang paling tengah.” Bukan sekedar ditengah, melainkan yang paling tengah. Agama Allah berdiri diantara beku dan mendidik; tidak ekstrim kanan dan kiri. Ini seperti yang sudah dinyatakan al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 143).
Al-Qur’an juga mengkritik sebagian tradisi orang-orang ahli kitab. Dalam Surat An-Nisa’ [4]:171 dinyatakan: “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih ‘Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, “(Tuhan itu) tiga,” berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Dia dari (anggapan) mempunyai anak. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.” (QS. An-Nisa’ [4]: 171).
Bahkan, Rasulullah Saw sendiri mewanti-wanti umatnya agar tidak jatuh pada sikap ghuluw. Sabdanya: “Wahai manusia, jauhilah berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah berlebih-lebihan dalam agama.” (HR Ibnu Majah).
Lalu bagaimana moderasi di dalam Islam ini kita pahami?
Secara sederhana, bagi publik awam memahami moderasi di dalam Islam ini harus masuk ke dalam dua kategori. Pertama, Islam bukan ini dan itu. Islam tidak mendukung Ateisme (yang menolak adanya Tuhan). Islam juga tidak menyetujui Politeisme (banyak Tuhan). Tetapi Islam adalah Monoteisme, yaitu mendukung hanya ada satu Tuhan.
Ketika orang-orang Yahudi pada zaman-zaman dahulu memvonis bahwa Nabi Isa As sebagai anak haram jadah, karena lahir dari ibu yang tidak punya suami, dan sebagian orang Nasrani memutuskan bahwa Nabi Isa adalah Ibnu Allah (anak Allah), maka al-Qur’an Surat Maryam [19]: 30-34, dengan tegas mengutip apa yang dahulu dikatakan oleh Nabi Isa As ketika masih berada dibalik gendongan ibunya, yang saat itu masih berusia tiga hari.
Di sini, al-Qur’an tidak meletakannya terlalu tinggi sebagai Ibnu Allah, juga tidak meletakannya terlalu rendah sebagai anak haram jadah, melainkan ia dinyatakan sebagai seorang Nabi. Itu sebabnya, umat Islam akan terjaga dari pandangan ekstrem di dalam memperlakukan baginda Nabi.
Nabi Muhammad Saw tidak dinyatakan sebagai anak Allah dan juga tidak dinyatakan sebagai orang yang paling rendah levelnya, melainkan beliau dinyatakan sebagai seorang Nabi, sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam al-Qur’an Surat Al-Ahqaf [46]: 9).
Karena itu, umat Islam terjaga dari sikap kultus yang melampaui batas dengan kita membaca shalawat kepada baginda Nabi Muhammad Saw. Kita mengucapkan “Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad…”. Ada peran Allah di dalamnya, sehingga Nabi Muhammad tidak mungkin diperlakukan umat Islam sebagai Ibnu Allah. Inilah cara pandangan moderat di dalam memperlakukan para Nabi.
Kedua, termasuk moderasi di dalam Islam adalah Islam yang bukan hanya ini, melainkan itu. Islam tidak hanya berbicara mengenai persoalan-persoalan ukhrawi, mengenai surga dan neraka, tetapi dalam Surat Al-Qasas [28]: 77) Islam juga bicara persoalan duniawi.
Kita boleh shalat yang diwajibkan oleh Allah. Akan tetapi, sebanyak-banyaknya melaksanakan ibadah shalat, maka kita tidak boleh mengabaikan tugas sebagai seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada anaknya, sebagai suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya.
Islam yang dinamis dan rasional
Islam tidak hanya bertumpu kepada teks, tetapi juga mempertimbangkan akal manusia. Itu sebabnya Ibnu Rusyd di dalam kitab Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmati al-Syariati min al-Ittishal menyatakan: “Syariat Islam itu ada dua, yaitu yang bertentangan dengan akal dan yang tidak bertentangan dengan akal. Jika sesuai dengan akal maka tidak ada masalah, tetapi jika bertentangan dengan akal maka teks harus ditakwilkan.”
Di dalam al-Qur’an ada ayat yang mengatakan “Allah duduk di atas Arasy”. Jika Allah duduk di Arasy berarti kita membayangkannya ada sebuah space (ruang) dan lokasi. Jangan-jangan Arasy-nya lebih besar dari Allah jika kita memaknai secara harfiyah.
Karena itu, untuk keluar dari ini, para ulama menyatakan bahwa teks “isytawa” di situ bukan bermakna duduk di Arasy, melainkan bermakna Allah menguasai Arasy. Dengan demikian, maka teks itu harus melibatkan akal ketika teks itu tidak bisa dijangkau oleh nalar publik yang awam. Al-Islam bain al-Naql wa al-Aql (Islam adalah teks dan akal).
Islam bukan hanya nushus, melainkan di dalamnya juga ada maqashid. Karena itu, memahami al-Qur’an dan hadits Nabi jika bertumpu kepada teks dan tidak menyertakan maqashid teks, maka otomatis banyak orang yang gagal untuk menangkap spirit dasar dari al-Qur’an.
Al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin menambahkan, bahwa terlampau banyak ayat-ayat Allah permukaan bumi ini yang tidak bisa dilihat hanya dengan mata kepala, tetapi juga harus ditambahkan dengan kemampuan melihat realitas itu dengan menggunakan ain al-bashirah (mata hati).
Kata Al-Ghazali: “Orang-orang yang tidak mampu membaca garis-garis ketuhanan yang tertulis dengan “tinta” Allah SWT, yang terdapat dalam lembaran-lembaran tanpa huruf dan tanpa suara, yang hanya bisa dijangkau dengan mata hati bukan dengan mata kepala.”
Itu sebabnya pula, banyak yang muncul kitab-kitab tafsir dengan corak tafsir sufi seperti yang ditulis oleh Ibnu Ajibah Al-Hasani yaitu “Bahr al-Madid fi tafsir Al-Qur’an Al-Majid”, Abdul Rahman Al-Sulami dengan kitabnya “Haqaiq Al-Tafsir”, dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dengan kitabnya tafir sufinya empat jilid.
Dari sini, tak keliru jika dikatakan bahwa, untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an membutuhkan perangkat ilmu banyak. Karena al-Qur’an bukan hanya hamparan teks semata, tetapi dibalik teks ada maqashid dan makna-makna yang terdalam.
Sayyidina Ali pernah berkata: “Di dalam al-Qur’an ada makna dhahir, bathin, had-mathla’”. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Abbas, “Jika ingin memahami serat-serat dalam dari al-Qur’an sudah pasti itu diluar kemampuan manusia, memahami ayat-ayat al-Qur’an seperti mengelupasnya, tetapi seratnya tidak sampai-sampai.”
Akhirnya, semoga kita menjadi umat yang selalu moderat serta tidak berlebih-lebihan dalam beragama, ekstrim kanan-kiri. Wallahu a’lam bisshawaab.