Kamis, Juli 3, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Pupuk Subsidi, Apakah Dinikmati Seluruh Petani?

by Mata Banua
20 Juni 2024
in Opini
0

Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)

Pemerintah menambah alokasi pupuk subsidi pada tahun 2024 dari semula 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton. Meski ada tambahan alokasi pupuk subsidi, namun petani mengaku, belum sepenuhnya terasa dampaknya ke petani. Kepala Pusat Pembenihan Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Kusnan mengatakan tambahan alokasi pupuk subsidi pemerintah belum ada realisasi yang berarti. Ia menyebut, petani masih kesulitan untuk memperoleh pupuk subsidi.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\3 Juli 2025\8\master opini.jpg

Berantas Narkoba Selamatkan Masyarakat

2 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

2 Juli 2025
Load More

“Petani juga masih sulit untuk mendapatkan pupuk subsidi jatah 1 hektare hanya 100 kg urea dan 70 kg NPK per musim tanam, jelas tidak mencukupi untuk kebutuhan tanaman,” terang Kusnan kepada Kontan, Kamis (18/4).  Kusnan menyebut, petani juga masih harus membeli pupuk nonsubsidi. Selain itu, proses untuk memperoleh pupuk subsidi mempersulit petani. ”KTP Asli, yang bersangkutan harus datang sendiri harus foto orang dan pupuk yang diambil, kemudian dimasukan aplikasi,” ujar Kusnan menyebutkan syarat-syarat penerimaan pupuk subsidi.

Menurutnya, lebih baik pemerintah mempertimbangkan pengalihan bantuan subsidi pupuk menjadi subsidi langsung tunai, supaya petani lebih leluasa untuk memilih jenis pupuk. Kusnan mengaku telah melakukan dialog dengan kementerian/lembaga terkait untuk membahas persoalan pupuk, seperti dengan Kementerian Pertanian, Pupuk Indonesia, Ombudsman. Namun hasilnya nihil. “Pernah juga organisasi petani diajak dialog akan tetapi saran dari petani tidak pernah dipakai,” imbuhnya.

Pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si. mempertanyakan benarkah pembangunan pabrik pupuk ini ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan pangan. “Pembangunan pabrik pupuk di Fakfak Papua seakan menjadi angin segar bagi pembangunan pertanian demi mewujudkan kedaulatan pangan. Di tengah produksi pupuk dalam negeri yang masih rendah, dan menjadikan Indonesia sebagai importir pupuk yang besar. Namun, patut dipertanyakan benarkah pembangunan pabrik pupuk ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan petani guna mewujudkan kedaulatan pangan rakyat?” ungkapnya kepada MNews, Selasa (5-12-2023).

Ia beralasan, pembangunan pabrik pupuk yang digawangi oleh PT Pupuk Kaltim dan berada dibawah PT Pupuk Indonesia Holding Company jelas-jelas tidak berorientasi untuk masyarakat. “Konsep reinventing government yang telah mentransformasi BUMN menjadikannya sebagai lembaga profit untuk mencari keuntungan, bukan lagi untuk melayani kebutuhan masyarakat,” kritiknya. Dengan konsep ini, lanjutnya, bisa diperkirakan penambahan produksi pupuk ini semata meningkatkan keuntungan perusahaan dan tidak untuk melayani kebutuhan petani sehingga petani tetap harus membeli dengan harga yang menguntungkan korporasi.

Termasuk jika BUMN lebih memprioritaskan ekspor dibandingkan pemenuhan dalam negeri, maka negarapun tidak kuasa menahan. “Ketika pengelolaan atau produksi pupuk tetap dikelola oleh BUMN dengan konsep ini, hampir mustahil kehadiran pabrik baru akan menjadi solusi bagi kesulitan petani mendapatkan pupuk secara mudah, berkualitas dan harga terjangkau. Karena paradigma dasarnya jelas untuk target bisnis,” ulasnya.

Begitu pula, ia menambahkan, fakta lebih sedikitnya jumlah pupuk subsidi dibandingkan pupuk nonsubsidi juga tidak terlepas dari agenda korporatisasi BUMN yang berorientasi bisnis ini dengan dicabutnya kewajiban PSO (Public Service Obligation)-nya. “Di sisi lain juga sejalan dengan upaya penguatan kapitalisasi neoliberal yang menuntut makin minimnya peran negara dalam pengurusan rakyat yang di antaranya berakibat pada pengurangan berbagai subsidi bagi masyarakat,” imbuhnya.

Di samping hal di atas, Emilda menilai, persoalan yang menyebabkan sulitnya petani mendapatkan pupuk tidak semata-mata karena problem pasokan. Namun, juga rantai distribusi yang buruk akibat berbagai faktor.

“Mulai dari proporsi pupuk subsidi yang terus dikurangi, harga pupuk non-subsidi yang sangat mahal, persyaratan administrasi untuk mendapat pupuk subsidi yang ribet, hingga masalah penyimpangan di pasar. Kondisi ini jelas menunjukkan buruknya tata kelola pupuk yang berpangkal dari abainya negara dalam mengurusi rakyat,” bebernya.

Ia yakin, jika solusinya hanya dengan meningkatkan produksi pupuk tanpa diikuti evaluasi menyeluruh terhadap konsep dan sistem distribusi, tidak akan mengatasi masalah. “Gambaran ini menunjukkan problem utama terkait pupuk saat ini bukan semata problem teknis yang bisa teratasi dengan peningkatan produksi. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah buruknya tata kelola mulai dari produksi hingga distribusi,” simpulnya.

Semua ini, sambungnya, disebabkan paradigma dan konsep yang kapitalistik neoliberal yang menyebabkan peran pemerintah makin minim sekedar menjadi regulator dan fasilitator dan minus tanggung jawab terhadap rakyat. “Kalaupun lembaga negara hadir dalam pengelolaan urusan rakyat, namun kehadirannya malah bertujuan bisnis bukan melayani,” sesalnya.

Pupuk adalah komponen yang sangat dibutuhkan pertanian. Sudah menjadi kewajiban negara untuk menyediakan pupuk yang harganya bisa dijangkau masyarakat. Pemenuhan kewajiban ini hanya ada dalam sistem Islam. Islam memberikan jaminan kepada semua rakyatnya dalam melakukan usaha, termasuk petani. Negara wajib membantu semua petani yang kesulitan, baik berupa modal maupun sarana produksi pertanian, termasuk pupuk. Ini karena petani punya posisi strategis untuk menjamin ketersediaan bahan pangan dalam negeri.

Islam memandang negara sebagai raa’in (pengurus) akan menyediakan sumber dana untuk membantu petani. Dalam aturan Islam, sumber pendapatan negara sangat banyak, seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, pengelolaan SDA, dan sebagainya. Sumber keuangan itu dapat dimanfaatkan untuk membantu petani berupa modal maupun penyediaan sarana pendukung pertanian. Negara pun akan mendorong penelitian dan memproduksi bahan baku pupuk secara mandiri sehingga tidak perlu mengandalkan impor. Negara juga punya aturan tegas.

Bagi setiap pihak yang berlaku curang (mafia pupuk) akan mendapatkan sanksi yang menjerakan sehingga tidak akan ada yang berani berlaku curang. Di luar itu semua, nuansa ketaatan yang dibangun negara dalam berbagai aspek juga menjadi perisai bagi seseorang untuk melakukan kemaksiatan, termasuk berlaku curang. Jadi, jika ingin mengurai masalah pupuk yang kian menumpuk, kembali pada aturan Islamlah jawabannya.

 

 

Tags: Nor Faizah Rahmipraktisi pendidikanPupuk Subsidi
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA