
Beberapa hari lalu, tepatnya Kamis (6/6) adalah hari lahirnya tokoh besar pendiri bangsa ini. Ya, siapa lagi kalau bukan Sukarno. Sosok yang lahir di Surabaya tersebut namanya seperti mercusar yang memancar ke segala penjuru dunia kala itu. Bahkan, berbicara tentang sejarah Indonesia, tak bisa dilepaskan dari Putra Sang Fajar (sebutan lain Sukarno). Memang, kemerdekaan yang kita raih, bukan hanya atas perannya. Tapi, mau tidak mau, diakui atau tidak, Sukarno melekat dengan nama Indonesia itu sendiri. Bahkan hingga sampai saat ini, banyak nama-nama jalan dan gedung di Indonesia, memakai namanya. Di beberapa negara lain juga demikian. Semua itu disebabkan oleh jasa-jasanya selama hidup. Sebagian besar usia hidupnya dihabiskan untuk perjuangan. Diwakafkan untuk kepentingan bangsa dan negara ini.
Perjuangan Sukarno untuk bangsanya sudah mulai nampak sejak muda. Dia tidak rela bangsa yang dicintai dibelenggu oleh kolonialisme dan imprealisme. Dia tidak sudi bangsa ini terus menerus dalam cengekraman bangsa asing. Penjajajah harus segera dihapuskan. Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa ditawar-tawar lagi. Merupakan harga mati. Sebab itulah, melalui kepiawaiannya dalam menulis dan berpidato, dia melancarkan beragam agitasi politik. diskusi, aksi massa, dan diplomasi tingkat tinggi dilancarkan hanya untuk kemerdekaan bangsa ini.
Seperti halnya ketika tahun 1926, Sukarno bersama kawan-kawannya mendirikan kelompok studi bernama Algmene Studie Club dan menerbitkan majalah Soeloeh Indonesia Moeda. Majalah ini dipimpin oleh dan diterbitkan oleh Sukarno sendiri dengan biaya yang dikumpulkannya dari honorarium sebagai seorang arsitek. Majalah ini mengupas persoalan politik kebangsaan. Selain itu, juga tulisan-tulisan di dalamnya berupaya untuk membangkitkan spirit nasionalisme di kalangan pemuda maupun pejuang kemerdekaan. Di dalam majalah ini juga kerap kali mempublikasikan pemikiran-pemikiran progresif Bung Karno.
Tidak hanya itu, pergerakan Sukarno sebagai aktivis muda juga meninggalkan jejak di Kota Pahlawan, Surabaya. Di rumah indekos milik HOS Cokroaminoto, dia mulai belajar banyak hal. Menempa diri menjadi sosok calon pemimpin besar. Dia mereguk air keteladanan dari HOS Cokroaminoto, guru dan sekaligus mentor yang berjuluk Raja Jawa Tanpa Mahkota. Didikan Cokro ternyata sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan Sukarno muda. Bibit dan talenta Sukarno sebagai calon pemimpin besar barangkali sudah diketahui oleh Cokro. Tak heran jika, rumah kos Cokro menjadi kawah candradimuka bagi Sukarno untuk membangkitkan spirit nasionalismenya. Kecintaannya terhadap Tanah Air-nya mulai bergelora.
Sukarno muda tidak hanya menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu di ruang-ruang kelas. Lebih dari itu, dia sangat aktif berorganisasi. Dia mulai menyelami denyut nadi kehidupan rakyat. Cita-cita luhurnya untuk kemerdekaan Indonesia sudah tertanam kuat sejak usianya masih belasan tahun. Tekadnya mulai terbentuk untuk membebaskan rakyat dari eksploitasi penjajah. Salah satu contoh agitasi politik yang dilakukannya yaitu melalui pena. Tak kurang 500 tulisan ditulisnya di Oetoesan Hindia, koran milik Cokro. Dalam koran tesebut, Sukarno memakai Bima sebagai nama samaran. Semasa di Surabaya pula Sukarno juga aktif sebagai dewan redaksi Bendera Islam, yang kemudian hari berganti nama menjadi Fadjar Asia. Koran yang terbit tiga kali seminggu tersebut memiliki semboyan: Melawan imprealisme Barat! Berjuang untuk kebebasan bangsa dan Tanah Air.
Mungkin kita sedikit penasaran, apa sebab nasionalisme Bung Karno sudah bergelora sejak usianya masih muda. Hemat saya selaku penulis, salah satunya faktornta yaitu kepekaan Sukarno membaca realitas zaman. Dia mengerti dan memahami betul keadaan bangsanya yang memang sedang dijajah. Buku-buku yang dibacanya juga membentuk kepribadian Putra Sang Fajar. Apalagi Sukarno dikenal sebagai seorang pecandu buku kelas berat. Selain itu, peran besar para gurunya juga membentuk jiwa nasionalismenya. Sejak muda dia sudah kerap kali bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti halnya HOS Cokromanito, Haji Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Ahmad Hasan, dan lain sebagainya. Lingkungannya juga dikelilingi oleh aktivis-aktivis pergerakan yang memiliki kepedulian tinggi terhadap nasib rakyat. Hal itulah yang juga membentuk kesadaran Sukarno muda terhadap kondisi bangsanya. Tidak hanya sadar, dia juga mengambil inisiatif untuk ikut menceburkan diri dalam hiruk-pikuk pergerakan nasional kala itu.
Lambat laun kepiawaiannya dalam berpolitik mulai terasah dan semakin matang. Pada 4 Juli 1927, dia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Berdirinya partai ini dilandasi spirit dalam meraih kemerdakaan dari penjajah Belanda. Ideologi yang diusungnya yaitu nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Kemunculan PNI menarik perhatian banyak orang. Apalagi pendirinya adalah sosok kharismatik yang dikenal luas sebagai orator ulung. Melalui pidato-pidatonya, Sukarno mulai melancarkan propaganda untuk melawan penjajahan. Melalui PNI, Sukarno mulai memercikkan spirit nasionalisme di tengah-tengah rakyat. Bahkan, saat itu, oleh penjajah Belanda, Sukarno dicap sebagai sosok yang berbahaya. Segala aktivitas dan pergerakannya dianggap menjadi sebuah ancaman. Tak heran jika dia sering kali diintai oleh mata-mata penjajah.
Buntut dari aksi dan gerakan politiknya tersebut, pihak penjajah Belanda tidak tinggal diam. Pada tahun 1929, Sukarno ditangkap dan dijebloskan di penjara Banceuy, Bandung. Dia mendekam di dalamnya selama sekitar 8 bulanan. Di dalam penjara, spirit perlawanan Sukarno semakin menjadi-jadi. Tidak ciut, apalagi putus harapan. Nyalinya semakin bergelora. Dia justru menyusun siasat politik untuk menyerang balik penjajah Belanda. Hal itu terbukti, ketika sidang pengadilan di Landraad, Bandung, tahun 1930, Sukarno membacakan pledoi (pidato pembelaan) berjudul “Indonesia Menggugat”. Naskah pidato tersebut disusun ketika di penjara. Isinya tenang pembelaan sekaligus kritik terhadap sistem kolonial Belanda.
Seiring berjalannya waktu, Sukarno mulai sering keluar masuk penjara. Pernah juga mendekam di penjara Sukamiskin. Tidak hanya dalam jeruji besi, Sukarno juga pernah diasingkan ke Kota Ende, Pulau Flores, sebeum akhirnya dipindahkan ke Bengkulu. Penjara dan pembuangan lagi-lagi tidak bisa memadamkan nasionalisme yang telah berkobar dalam jiwanya. Dia rela nelongso alias hidup prihatin demi masa depan bangsanya yang cerah. Demi menghapuskan penghisapan manusia atas manusia lainnya. Hingga pada akhirnya, apa yang diharapkannya tercapai. Bangsa ini terbebas dari jerat penjajahan. Proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustul 1945. Namun, kemerdekaan Indonesia bukanlah akhir dari segalanya. Perjuangan kita masih panjang. Kini, kita sebagai generasi penerus sudah semestinya berkaca pada perjuangan Sukarno. Menghidupkan lagi spirit nasionalisme dalam jiwa. Sejauh mana Indonesia ada dalam hati kita? Apa kontribusi nyata kita untuk negeri ini? Sekali lagi, nyala api nasionalisme Putra Sang Fajar mesti tetap berkobar dari waktu ke waktu.