Sabtu, Juli 12, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Neoliberalisme dalam PTN-BH, World Class University, dan Gerakan Mahasiswa

by Mata Banua
30 Mei 2024
in Opini
0
D:\2024\Mai 2024\31 Mei 2024\8\8\Robbi Herfandi.jpg
Robbi Herfandi Pemerhati Pendidikan Indonesia. (foto:mb/ist)

 

Gagasan Neoliberalisme adalah gagasan liberal baru yang memberikan kebebasan kepada individu, perusahaan, dan organisasi yang basis ekonomi politik minimum di intervensi oleh negara, dengan landasan free trade dan free market. Namun, pandangan-pandangan neoliberalisme sebelum nya kebanyakan dibahas dan berkiprah kepada lingkup negara, masyarakat atau negara dengan pasar, di mana campur tangan negara diminimalisasi dan peran pasar diperbesar.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\11 Juli 2025\8\8\master opini.jpg

Menuju Negeri Bersih dan Berdaya

10 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\11 Juli 2025\8\8\Nur Alfa Rahmah.jpg

Indonesia Darurat Perundungan Anak: Mencari Solusi Sistemik

10 Juli 2025
Load More

Sejalan dengan itu mari kita lihat PTN-BH. Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan tinggi dalam sistem pendidikan nasional dan merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah atas, yang berorientasi untuk mengembangkan kadar intelektual menjadi sumber daya manusia unggul yang mempunyai kemampuan jurusan spesifik, mengembangkan, dan menciptakan ilmu pengetahuan bahkan teknologi berdasarkan keilmuannya. Jenis perguruan tinggi antara lain perguruan tinggi negeri (PTN) atau perguruan tinggi swasta (PTS). Di Indonesia, perguruan tinggi dapat berbentuk lembaga akademik, perguruan tinggi teknik, sekolah kejuruan, universitas, dan lain-lain, salah satunya adalah perguruan tinggi berbadan hukum (PTN-BH). Istilah perguruan tinggi yang berbadan hukum dikumandangkan pertama kali disematkan di dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012. Pasal tersebut menguraikan bahwa penerapan otonomi perguruan tinggi diperbolehkan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri yang bertanggung jawab di PTN. Pola pengelolaan keuangan di lembaga publik Untuk mencapai pelatihan yang lebih berkualitas, diperkenalkan lembaga layanan atau PTN yang didirikan sebagai badan hukum. Melihat Neoliberalisasi sudah banyak mengakar kepada Universitas berlomba-lomba untuk menjadi PTN-BH, sekitar 21 perguruan tinggi di Indonesia yang telah menclaim diri nya sebagai berbadan hukum.

Dilihat dari narasi diatas, dapat dipahami bahwa perguruan tinggi negeri yang berstatus berbadan hukum mempunyai kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi secara mandiri untuk menghasilkan pendidikan tinggi yang berkualitas. Kedua, dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembiayaan Perguruan Tinggi, pengertian PTN sebagai badan hukum adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah dan mempunyai otonomi ditetapkan sebagai bentuk dari kemandirian dan memiliki daulat atas diri nya sendiri, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI, kata “otonom” berarti kelompok sosial yang mempunyai hak dan kekuasaan untuk menentukan arah tindakannya sendiri. Artinya perguruan tinggi negeri yang berstatus PTN-BH memiliki daulat dalam menentukan arah penyelenggaraan pendidikan tinggi. Di sini arah penyelenggaraan pendidikan tinggi yang dimaksud adalah sebagai kelanjutan pelaksanaan tridharma perguruan tinggi.

Dengan diterbitkannya PP 58/2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), perguruan tinggi negeri yang berbadan hukum dapat menggunakan pendanaan yang bersumber dari masyarakat, biaya pendidikan, pengelolaan dana abadi dan usaha-usaha PTN-BH, kerjasama Tri Dharma atau dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang diberikan oleh Pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi (Menristekdikti, 2014).

Untuk itu mari kita elaborasi ini perlahan-lahan. Dengan perubahan bentuk menjadi badan hukum, maka dalam kondisi yang paling buruk dapat terjadi 2 kemungkinan yaitu: perguruan tinggi menjadi bangkrut secara teknis dan jika demikian perlu ditetapkan bagaimana penanganannya, atau perguruan tinggi menjadi unit komersial yang menyimpang dari tugasnya dalam bidang pendidikan dan penelitian serta pengabdian pada masyarakat (Brodjonegoro, 2012).

Berangkat dari narasi diatas, keresahan terjadi akibat beralihnya perguruan tinggi ke badan hukum pendidikan, komersialisasi biaya masuk ke pendidikan tinggi, sampai eskalasi kenaikan biaya pendidikan di universitas mengalami harapan masyarakat bawah menjadi pudar, setelah status beroperasinya perguruan tinggi berbadan hukum berjalan seolah-olah mencerahkan sehingga lama menunggu penantian panjang tak kunjung tiba. Hingga kini, belum jelas bentuk perguruan tinggi ini menjadi pola sama seakan-akan PTN menjadi PTS.

Konsepsi PTN-BH terus digadang-gadang kan menciptakan ekonomi yang dinamis dan Inovasi teknologi yang berakhir pada kesimpulan membawa masyarakat dalam kemakmuran yang lebih besar, namun, menurut penulis itu hanyalah harapan parsial yang membuat ketimpangan semakin tidak terkendali, dapat kita logikakan ketika suatu Universitas beralih kepada PTN-BH, yang dimana intervensi pemerintah berkurang dan universitas memiliki kekuatan otonom untuk mengendalikan ekonomi nya sendiri, dalam menyongsong dogma world class university, yang tentunya universitas akan mencari income untuk kemandirian nya, sehingga yang terjadi universitas akan membangun unit-unit usaha, bekerja sama dengan korporasi, dan menaikkan tingkat UKT ketika asumsi dari world class university tidak terpenuhi karena asumsi nya memerlukan investasi fasilitas yang besar, teknologi dan penelitian yang menjadi beban secara finansial apalagi bersifat kompetitif, sehingga berdampak kepada;

Ketimpangan Sosial

Ketika UKT dinaikan yang akan terjadi ialah termarjinalkan nya kelompok kelas bawah akibat tidak bisa membayar ketentuan pendidikan tersebut, sehingga konsekuensinya adalah kelompok kelas bawah itu akan berhenti menikmati bangku perkuliahan, berhutang untuk pendidikan, dan terjerat pinjol, meskipun banyak beasiswa pendidikan hal itu tidak bisa mengcover biaya secara keseluruhan, bahkan anak-anak yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi enggan untuk mengecap ikhtiar yang telah sama-sama kita lihat realitanya. melihat kelas bawah tidak bisa melanjutkan atau mengecap perguruan tinggi, kemudian yang akan terjadi ialah mendominasi kelompok majikan di lingkungan universitas, sehingga pendidikan menjadi ajang bisnis dan menghilangkan basis nilai-nilai pendidikan itu sendiri, menjadi logis ketika Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah tertiary education yang sifatnya tidak wajib.

Karena Mengutip laman Online Etymology Dictionary, tersier berasal dari kata “tertiarius” atau “tertius” yang dalam bahasa Latin berarti “peringkat ketiga”. Kata tersebut dipopulerkan oleh Giovanni Arduino, seorang geolog asal Italia. Maka dapat dipahami kuliah hanya untuk orang yang mampu membayar seperti kebutuhan tersier kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, perhiasan emas, iPhone, Rumah mewah, dan berlian dll. Namun, pertanyaannya adalah apakah dalam konteks pendidikan hal itu berlaku?

Dan realitas diatas juga sama dengan wajah pendidikan di negara Chili, dimana pendidikan dijadikan komoditas dan investasi korporat masuk, akibatnya pendidikan jadi hanya diakses oleh kelompok majikan dan menjadi alat untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga biaya pendidikan sangatlah mencekik bagi kelas bawah. Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Chili ditempatkan negara dengan pendidikan yang termahal di dunia, yakni mencapai 3.400 dolar per tahun. Padahal gaji rata-rata pekerja di Chili hanya 8.500 dolar. Dapat dipahami setiap keluarga membayar biaya pendidikan 75% dari total pendapatan. Hal itu menyebabkan banyak sarjana lulusan perguruan tinggi di Chili terjerat utang untuk membiayai pendidikannya, serta tidak sedikit pula mahasiswa dari keluarga kelas bawah yang harus putus sekolah karena tidak cukup memiliki uang.

Hal itu juga senada dan pola nya tidak jauh berbeda dengan kasus Indonesia seperti kenaikan level UKT akhir-akhir ini yang mencekik, terlebih lagi ada keluar Permendikbud no 2 tahun 2024 perihal eskalasi tersebut. Dan kemudian hal itu juga berimbas kepada MABA 2024 dan menjadi warisan untuk mahasiswa selanjutnya. Meskipun penggolongan UKT bertambah, namun, yang dikhawatirkan golongan bawah dihantarkan ke golongan UKT tertinggi, maka hal itu perlu ditinjau kembali terkait porsi yang harus diberikan.

Demokrasi Luntur

Ketika UKT yang dibayarkan oleh mahasiswa tidak cukup ada 2 kemungkinan logika yang akan hadir, yang pertama Menaikan jumlah UKT yang telah dijelaskan diatas dan Bekerja sama dengan korporasi, kerjasama universitas dengan korporasi tentu hal itu akan menjadi buah yang manis, namun kalau dirasakan manis nya keseluruhan belum tentu, kenapa penulis menganalogikan semacam itu, ketika suatu institusi bekerjasama dengan perusahaan maka investasi akan masuk ke dalam nya dan membuahkan pembangunan untuk pembuatan alat produksi sendiri, seperti yang dilakukan kebanyakan universitas yang telah menganut PTN-BH. Ketika konsep itu berulang dan ketagihan maka dapat dimungkinkan universitas akan mengalami ketergantungan kepada korporasi.

Sehingga kebijakan-kebijakan universitas berarah kepada kepentingan korporasi yang jauh dari kepentingan khalayak ramai, kalau tidak berarah otomatis universitas akan potensial mengalami kebangkrutan dan ketergantungan, Karena melihat belum ada keberhasilan dan potensi keberhasilan setiap universitas di Indonesia yang mampu menerapkan PTN-BH ini secara ideal, meskipun sudah banyak mendirikan usaha-usaha tapi eskalasi UKT juga semakin tinggi setiap kampus berbadan hukum dan hal itu ketika belum mencukupi asumsi-asumsi world class university, sehingga untuk memenuhi asumsi tersebut universitas akan tergoda oleh budaya korporat dan meningkatnya UKT menjadi jalan alternatif untuk memenuhi asumsi tersebut. Sejalan dengan ketergantungan tadi, Reasoning independensi universitas dan intelektual juga terancam. Kenapa independensi universitas penulis katakan karena universitas tidak boleh di intervensi oleh perusahaan dan di ancam oleh siapapun, berdirinya universitas Berdasarkan “kemandirian” yang merdeka secara intelektual berasaskan adil bagi semua, karena basis dari kaum intelektual dalam universitas itu adalah nilai bukan transaksional dan komersial.

Karena penulis melihat ketika suatu negara menerapkan prinsip neoliberalisme ini yang akan terjadi ialah kemerosotan demokrasi, kebijakan-kebijakan yang diucapkan tidak melihat rakyat, tapi, melihat kepada kepentingan korporasi dan pertumbuhan ekonomi, maka dari itu penulis menulis tulisan ini sebagai dilema praksis yang telah dilakukan oleh negara.

Pendistorsian Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan yang selalu berbicara metode untuk meraih ilmu pengetahuan yang berlandaskan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, namun kini sudah jauh dari hal demikian, karena Ketergantungan, Orientasi Ekonomi, Fanatik terhadap world class university, dan tunduk pada persaingan; Hal ini mendistorsi filsafat pendidikan itu sendiri, Penilaian dilakukan untuk tujuan pemeringkatan, Universitas menjadi tergoda untuk mengadopsi budaya perusahaan, Pendidikan sebagai bentuk membudaya kemudian diartikan sebagai perolehan modal sosial dan manusia. Berimplikasi kepada Pendidikan yang menjadi instrumen nilai-nilai bisnis.

Mantra neoliberal bersifat meresap, berulang, dan terus-menerus ditegaskan: jika suatu negara baik (rata-rata), maka warga negaranya pasti baik meskipun mereka sangat miskin”. dan keinginan untuk terpandang di kancah dunia dengan label World Class University.

Jikalau kita selalu di dogma kan dengan perguruan tinggi sekelas dunia yang akan terjadi adalah Tri Dharma Perguruan tinggi menjadi tidak berkualitas dan menyimpang, karena kita terus sibuk dengan pertumbuhan ekonomi dan maka manfaat kualitas penelitian pada awal nya diharapkan substansial tapi, akhirnya tidak menghasilkan apa yang di harapkan contoh nya penelitian yang tidak substansial cenderung penghamba Scopus semuanya itu demi mengejar pemeringkatan, pun sejalan dengan itu pemahaman tentang etika, berpikir kritis dan pemahaman sosial menjadi terdegradasi. Melihat kasus di Indonesia perihal plagiarisme oleh dosen, jual beli ijazah kepada mereka yang tidak berhak/tanpa proses belajar mengajar, manipulasi data mahasiswa, pembelajaran fiktif, penyalahgunaan KIP Kuliah sehingga 23 kampus ditutup. memang harus diakui konsep neolib ini banyak pembangunan, tapi, kalau dalam pepatah minang nya “Rancak di Labuah” lagak gayanya saja yang ditonjolkan tapi, tidak sesuai dengan reasoning akademica nya.

Gerakan Mahasiswa Seharusnya

Sudah tampak yang terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, melihat ketimpangan sosial, demokrasi Luntur dan pendistorsian Filsafat pendidikan sehingga itu akan terus berulang-ulang seperti mantra neoliberalisme. Meminjam perkataan karl marx “Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon”. maka apa langkah mahasiswa selaku generasi penerus?

Satu-satu nya jalan agar kejadian hari ini tidak menjadi lolucon di masa depan ialah Gerakan menentang, gerakan menentang neoliberalisme ini sudah pernah juga dilakukan oleh swiss, dimana swiss melakukan gerakan politis yang tidak main-main dengan menggaung agar pendidikan gratis menjadi kebijakan pemerintah dan gerakan politis itu berhasil.

Gerakan ini bermula di tahun 2006 dan itu belum berhasil, sehingga gerakan ini menginspirasi di tahun 2011 yaitu gerakan masa lebih besar yang diberi nama “Chilean Winter”

Namun, hal ini menjadi sedikit pro-kontra UKT secara langsung di gratiskan atau diangsur perlahan-lahan. penulis setuju dengan UKT ini diturunkan perlahan-lahan hingga cita-cita kemerdekaan dapat diperoleh dan dipenuhi, namun penulis sedikit terganggu oleh sebuah artikel yang penulis baca, di dalam artikel itu dijelaskan dan berargumentasi, pendidikan gratis tidak ada gunanya karena lapangan pekerjaan sempit, namun penulis tidak setuju dengan pendapat itu, karena tujuan pendidikan itu bukan hanya menjadi budak korporat, tapi tujuan pendidikan adalah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperluas perasaan (Tan Malaka).

Kembali kepada aksi Swiss yang dapat menginspirasi dari gerakan Chilean Winter mulai dari pemogokan kuliah, pendudukan gedung-gedung kampus dan sekolah hingga pertunjukan seni. Gerakan ini tidak dilabeli dengan mahasiswa meskipun menginisiasi adalah mahasiswa, tapi dilabeli dengan rakyat yang tertindas seperti buruh yang menjadi korban neoliberalisme yang melukai hati rakyat dengan kesamaan rasa, gagasan ini perlu untuk dicoba di Indonesia. Dan kalau secara lebih halus, apakah pemerintah akan mau menuruti nya?

Tak hanya itu gelombang solidaritas di Indonesia, oleh manusia berkesadaran dan paham seharusnya diikutsertakan, berapa banyak mahasiswa kelas atas, bawah, menengah dan manusia berkesadaran lainya seperti Dosen, Rektor Indonesia yang menganggap kebijakan itu keliru sudah semestinya. Jikalau solidaritas itu terjadi, berkemungkinan akan muncul kekuatan politik yang sangat dahsyat untuk mengubah paksa kebijakan pemerintah yang berideologi neoliberalisme itu tadi. karena semua orang berhak untuk mendapatkan akses pendidikan, karena Pendidikan merupakan Hak Azasi Manusia (HAM) yang harus dipenuhi, karena HAM itu harus ditafsirkan sebagai hak Universal bagi semua orang. Harapan itu termaktub didalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Dan itu juga ditegaskan sebagai cita-cita kemerdekaan Indonesia yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Penulis memberikan saran kajian berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan diatas

1. Kalau menjadikan pendidikan sebagai ajang komersialisasi dan hanya diperuntukan hanya kelas majikan, kenapa tidak mengganti sistem PTN-BH ini dengan sistem yang lebih adil, seperti pendidikan gratis yang dapat diakses bagi semua kalangan.

2. Jikalau alasan nya berkompetisi dalam pemeringkatan world class university sehingga UKT naik, potensial ketergantungan kepada perusahaan, pertumbuhan ekonomi, penelitian tidak subtansial dan orientasi laba, sehingga mengakibatkan ketidaksesuaian dengan filsafat pendidikan, Reasoning akademika, dan Cita-cita kemerdekaan, kenapa kita tidak keluar dari pemeringkatan tersebut?

 

 

Tags: Gerakan MahasiswaPTN-BHRobbi Herfandi
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA