
“The foundation of every state is the education of its youth’’, mencatut kutipan seorang Filsuf Yunani bernama Diogenes Laertius yang mempunyai makna bahwa dasar dari setiap negara adalah pendidikan para pemuda. Kutipan tersebut menunjukkan betapa fundamentalnya pendidikan bagi suatu negara, pendidikan yang berkualitas akan membentuk sumber daya manusia yang unggul, mendorong inklusi sosial dan kesetaraan, mendorong inovasi dan pembangunan ekonomi, mempertahankan budaya dan identitas bangsa, serta modal menghadapi tantangan global dengan tangguh, sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan jika suatu negara ingin maju.
Hal tersebut yang telah dipikirkan oleh para pendiri bangsa Indonesia, sehingga menitahkan secara tegas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa salah satu tujuan bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Malangnya, cita-cita luhur tersebut harus terganjal dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud) nomor 2 tahun 2024. Regulasi yang mengatur tentang biaya operasional pendidikan tinggi tersebut disinyalir menjadi pemicu beberapa Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk mengeluarkan kebijakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Kebijakan ini menuai respon negatif dari masyarakat, khususnya para mahasiswa yang merasakan dampak secara langsung kenaikan UKT dan IPI, pasalnya kenaikan besaran UKT dan IPI sangat signifikan. Berdasarkan keterangan perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang diundang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR RI, kenaikan UKT dan IPI di beberapa PTN-BH dan PTN bahkan mencapai 5 (lima) kali lipat, selain itu tidak ada transparansi penentuan UKT menjadi poin yang disampaikan dalam rapat audiensi tersebut, lebih ironi lagi diungkapkan bahwa terdapat puluhan calon mahasiswa baru di salah satu PTN yang batal masuk buntut UKT naik.
Merujuk Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, diperjelas dengan ayat (2) bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, jika melihat pasal tersebut pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tidak terbatas pada apapun termasuk keterbatasan ekonomi, namun yang perlu dipahami bahwa kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan bagi warga negara adalah sampai pada tingkatan pendidikan dasar hingga menengah yakni mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat sesuai dengan amanat nawacita Presiden Jokowi yakni wajib belajar 12 (dua belas tahun).
Disisi lain pendidikan tinggi tidak termasuk dalam program wajib belajar 12 tahun, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran Pemerintah acuh terhadap isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan tinggi termasuk kenaikan UKT dan IPI yang menuai polemik, jika merujuk pasal 8 (delapan) Permendikbud nomor 2 tahun 2024 tentang Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, bahwa penetapan tarif UKT dilakukan setelah PTN Badan Hukum melakukan konsultasi dengan Kementerian dan bagi PTN non berbadan hukum penetapan UKT dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Kementerian.
Merujuk pada regulasi tersebut Pemerintah melalui Kemendikbud memiliki andil dalam kenaikan UKT dan IPI yang terjadi di beberapa PTN maupun PTN-BH, hal tersebut tentu mencederai Undang-Undang Dasar 1945. Jika berkaca pada pelayanan publik, pendidikan merupakan layanan publik dasar dimana negara dalam hal ini Pemerintah harus hadir untuk memastikan layanan telah terpenuhi bagi setiap warga negaranya.
Walaupun pendidikan tinggi tidak termasuk dalam program wajib belajar 12 tahun, namun alangkah eloknya jika Pemerintah dapat memfasilitasi setiap warga negara Indonesia untuk dapat mengakses pendidikan termasuk pendidikan tinggi, hal ini tentunya sejalan dengan cita-cita Pemerintah untuk mewujudkan Indonesia Emas pada tahun 2045, dimana cita-cita tersebut telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, salah satu kunci utama untuk mewujudkanya adalah pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas melalui pendidikan yang berkualitas dan merata.
Munculnya polemik kenaikan UKT dan IPI, tentunya harus mendapatkan atensi penuh dan solusi dari Pemerintah, mengingat pendidikan merupakan kebutuhan dasar dan aspek fundamental suatu negara. Beberapa mahasiswa mengeluhkan bahwa tidak ada transparansi dalam penentuan UKT dan IPI, sehingga perlu bagi PTN-BH dan PTN sebelum melakukan konsultasi ke Kementerian, dapat melakukan public hearing atau audiensi yang melibatkan mahasiswa dan wali mahasiswa untuk menampung aspirasi kemampuan dalam membayar UKT/IPI, hal ini pun sebagai wujud transparansi, sehingga outputnya ketika kebijakan kenaikan UKT/IPI dinaikkan tidak menjadi polemik karena mahasiswa dan wali mahasiswa dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, perlu dilakukan monitoring berkala oleh Kemendikbud kepada PTN-BH/PTN seluruh Indonesia untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di lapangan.
Perlunya Kementerian atau Perguruan Tinggi membuka ruang pengaduan publik, hal ini dilakukan sebagai salah satu bentuk komitmen Pemerintah untuk menampung setiap pengaduan dan bentuk upaya peningkatan trust masyarakat, terakhir Permendikbud nomor 2 tahun 2024 juga mengatur terkait peninjauan keringanan (PK) UKT dan IPI, diperlukan prosedur yang jelas dan tidak berbelit dalam PK tersebut.
Pendidikan tinggi di Indonesia memang bukan termasuk program wajib belajar yang dibiayai Pemerintah, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan pendidikan tinggi dianak tirikan. Pembukaan UUD 1945 alinea 4 (empat) menegaskan bahwa salah satu tujuan bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan menilik kembali bahwa pendidikan merupakan layanan dasar dimana negara harus hadir untuk memastikan bahwa layanan tersebut sudah terfasilitasi bagi seluruh warga negaranya.