Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Tunjangan Hari Raya (THR) yang diberikan pekerja swasta dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai Pasal 21. Pemotongan ini dilakukan langsung perusahan kemudian disetorkan ke kas negara. Penghitungan pajak dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata (TER) mulai (1/1/2024). 3 Hal tentang Pajak THR: 1. Pajak THR Pegawai Ditanggung Pribadi (pegawai swasta), 2. Pajak THR PNS Ditanggung Pemerintah, 3. Penghitungan Pajak THR Digabung Penghasilan Lain.
Menurut buku Cermat Pemotongan PPh pada Pasal 21/26 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bahwa penghitungan PPh Pasal 21 pegawai tetap adalah menghitung semua penghasilan bruto yang diterima satu bulan terakhir.
Penghasilan yang dimaksud yaitu keseluruhan gaji, seluruh jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya. Selain itu, termasuk bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan tidak teratur lainnya. Potongan Pajak THR Berdasarkan buku cermat pemotongan PPh Pasal 21/26 DJP, Kemenkeu RI mengatur mengenai penghasilan yang dipotong PPh adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, yang bersifat teratur dan tidak teratur.
Penghasilan tersebut berupa, seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan penghasilan sejenisnya. Termasuk bonus, tunjangan hari raya, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan lain yang bersifat tidak teratur; Pemotongan PPh Pasal 21 menggunakan dua tarif pemotongan yakni tarif umum dan tarif efektif (TER). TER terdiri dari Tarif Efektif Bulanan dan Tarif Efektif Harian.
Tarif Efektif Bulanan dikategorikan berdasarkan besaran penghasilan tidak kena pajak sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan wajib pajak ketika tahun awal pajak. Skema baru ini menggunakan tarif efektif rata-rata (TER) yang terbagi menjadi dua jenis: tarif efektif bulanan untuk pegawai tetap dan pensiunan serta tarif efektif harian untuk pegawai tidak tetap. Di skema lama, seorang wajib pajak mesti menghitung jumlah total pemasukan bersihnya selama setahun, lalu menguranginya dengan angka penghasilan tidak kena pajak (PTKP), agar mendapat besaran penghasilan kena pajak (PKP).
Tarif pajak dengan lima lapisan berbeda lantas dikenakan ke PKP itu untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar dalam setahun. Angka setahun itu lalu dibagi 12 untuk mendapat angka potongan PPh bulanan. Di skema baru yang menggunakan TER, potongan PPh dihitung tiap bulannya dari Januari hingga November alih-alih mencari rata-rata setahun. Semakin besar penghasilan bruto bulanan, kian tinggi pula persentase TER yang digunakan dalam perhitungan.
Jadi, angkanya bisa berbeda dari satu bulan ke bulan lain tergantung besaran pemasukan bruto seseorang. Karena itu, potongan PPh di bulan Maret atas pemasukan yang mencakup THR jadi lebih besar dibandingkan Februari yang tanpa THR. Jadi, pada Desember, perusahaan-perusahaan akan menggunakan skema lama untuk menghitung total PPh yang harus dibayar selama setahun. Lalu, hasilnya akan dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong dengan skema TER pada Januari-November.
Hasil pengurangan terakhir akan menjadi angka PPh Desember. Bila angkanya minus, yang berarti ada kelebihan bayar dari karyawan, perusahaan terkait diharapkan segera mengembalikannya ke karyawan. Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, mengatakan bahwa ujung-ujungnya beban pajak kumulatif seseorang selama setahun akan tetap sama. “TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak,” kata Dwi. “Beban pajak yang ditanggung wajib pajak [selama setahun] akan tetap sama.”
Peraturan Pemerintah No. 58/2023 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 168/2023 yang menjadi dasar penerapan skema TER masing-masing terbit pada 27 dan 29 Desember tahun lalu, hanya beberapa hari jelang implementasinya pada 1 Januari. Pemerintah, utamanya pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, berulang kali mengatakan bahwa skema TER bertujuan mempermudah penghitungan PPh pasal 21, dan ia diadopsi dari best practice yang telah dijalankan secara global.
Banyak orang terkejut saat melihat potongan pajak untuk gaji dan tunjangan hari rayanya terpotong besar di bulan Maret 2024, yang terjadi karena penerapan skema penghitungan pajak baru bernama tarif efektif rata-rata (TER). Menurut Dwi Astuti dari Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, skema TER memudahkan perusahaan menghitung dan memotong pajak penghasilan karyawan. Selain itu, katanya, karyawan juga bisa lebih mudah menghitung jumlah kredit pajaknya di akhir tahun dan melakukan koreksi bila ada kesalahan perhitungan.
“Kemudahan penghitungan pajak terutang melalui penerapan tarif efektif diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pelaporan SPT masa PPh pasal 21 oleh pemberi kerja,” kata Dwi. Sebagai catatan, hanya ada 11,6 juta wajib pajak orang pribadi yang melaporkan perhitungan dan pembayaran pajaknya untuk tahun 2022, merujuk data pemerintah per Maret 2023. Padahal, pada tahun yang sama ada 135,3 juta penduduk Indonesia yang bekerja, menurut data Badan Pusat Statistik per Agustus 2022. Berarti, hanya 8,6% dari seluruh orang Indonesia yang bekerja yang melaporkan pajaknya pada saat itu.
Suryo Utomo, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, sebelumnya sempat mengatakan ada sekiranya 400 skenario pemotongan pajak penghasilan di skema lama, mengindikasikan kerumitan yang harus dihadapi berbagai perusahaan saat memotong pajak karyawannya. Dengan TER, perusahaan sebagai pemotong pajak memang akan lebih mudah melakukan penghitungan untuk periode Januari-November. Namun, pada Desember perusahaan tetap harus kembali menggunakan skema lama untuk mencari angka PPh pada bulan terakhir.
Penerapan pajak atas THR merupakan praktik perekonomian khas kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara. Hal ini tampak pada besarnya porsi penerimaan pajak dibandingkan dengan penerimaan dari sumber lainnya. Pada 2023, realisasi pendapatan negara mencapai Rp2.774,3 triliun. Adapun penerimaan perpajakan mencapai Rp2.155,4 triliun atau 77%. Sedangkan nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada 2023 hanya Rp605,9 triliun atau 21%. (Katadata, 3-1-2024).
Di dalam PNBP tersebut terdapat Pos Pendapatan SDA yang jumlahnya tentu lebih kecil lagi. Ini tentu miris, mengingat kekayaan alam Indonesia yang luar biasa besarnya, tetapi penerimaan dari SDA minim, sedangkan mayoritas penerimaan justru dari pajak. Pajak sendiri adalah setoran rakyat pada negara. Dominasi pajak pada penerimaan di APBN ini menunjukkan bahwa rakyat tengah membiayai negara ini secara mandiri.
Ironisnya lagi, hasil uang pajak berupa pembangunan dan layanan publik juga ternyata tidak leluasa dinikmati rakyat. Terbukti, layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan nyatanya makin mahal. Untuk menikmati hasil pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, kereta cepat, dan sebagainya pun rakyat harus merogoh kantong dalam-dalam.
Menyoroti hal di atas, pengamat ekonomi Islam Nida Saadah, S.E., M.E.I., Ak. berkomentar bahwa pungutan dalam demokrasi menurunkan kualitas hidup manusia. “Secara keseluruhan, sistem fiskal atau pungutan di dalam negara demokrasi sekuler itu berdampak pada menurunkan kualitas hidup manusia secara keseluruhan,” tuturnya kepada MNews, Kamis (11-4-2024).
Ia menjelaskan, ada dua aspek yang berpengaruh dalam eksistensi satu negara, yaitu politik dan ekonomi. Menurutnya, aspek ekonomi adalah sistem keuangan negara. Sistem keuangan negara yang baik akan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi eksistensi atau keberlangsungan suatu negara. Pos penerimaan utama dalam sistem keuangan negara demokrasi, ucapnya, adalah pajak.
“Pajak dalam sistem demokrasi adalah pungutan wajib yang harus dibayarkan oleh penduduk kepada negara sebagai sumbangan wajib,” jelasnya. Subjek pajak atau orang yang terkena wajib pajak, sambungnya, bisa semua kalangan sehingga orang miskin pun bisa terkena pajak. ”Kalau kita analisis dampaknya terhadap perekonomian, pajak dalam sistem negara demokrasi berdampak menurunkan produktivitas ekonomi,” ulasnya.
Ia mencontohkan PPh. PPh dikenakan terhadap pendapatan seseorang. Artinya, pendapatan seseorang akan berkurang pada saat dialokasikan untuk membayar pajak sehingga berkurangnya pendapatan seseorang pasti akan berpengaruh pada tingkat konsumsinya. “Tingkat konsumsinya berpengaruh pada tingkat permintaan barang di pasar sehingga akan berpengaruh pada menurunnya produksi barang,” jelasnya.
Kondisi yang berbeda terwujud dalam Khilafah. Sistem pemerintahan Islam ini tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara yang utama. Sebaliknya, Khilafah memiliki banyak pemasukan. Pos pendapatan Khilafah meliputi Pertama, bagian fai dan kharaj. Mencakup seksi ganimah (ganimah, fai, dan khumus), seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai, dan seksi dharibah (pajak).
Kedua, bagian pemilikan umum, meliputi seksi migas, seksi listrik, seksi pertambangan; seksi laut, sungai, perairan, dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; dan seksi aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Ketiga, bagian sedekah, meliputi seksi zakat uang dan perdagangan, seksi zakat pertanian, dan seksi zakat ternak.
Khilafah akan mengoptimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam milik umum dan pungutan yang tidak memberatkan seperti zakat mal, jizyah, kharaj, dan lainnya. Dari semua pos pemasukan itu, Khilafah akan mendapatkan pemasukan yang besar sehingga tidak perlu utang dan menarik pajak.
Dharibah (pajak) hanyalah pemasukan yang bersifat insidental, tidak terus-menerus. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya ketika kas negara sedang kosong, sedangkan ada kebutuhan yang mendesak yang harus dipenuhi. Oleh karenanya, pajak bukanlah sumber pendapatan negara yang utama.
Dengan pengaturan APBN yang bagus dalam Khilafah, akan terwujud kemandirian ekonomi sehingga tidak butuh penarikan pajak. Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, tiap-tiap orang, sepanjang waktu, bukan hanya dengan memberikan THR setahun sekali.
Khilafah akan menggratiskan layanan pendidikan dan kesehatan sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan uang untuk memperolehnya. Khilafah juga akan menerapkan sistem pengupahan yang adil, yaitu pekerja mendapatkan upah yang makruf (layak) sesuai hasil kerjanya sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbagai fasilitas publik, seperti transportasi dan sebagainya; serta hasil pengelolaan SDA, seperti BBM dan gas, bisa rakyat akses dengan harga murah. Serangkaian kebijakan ekonomi inilah yang akan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi rakyat. Kesejahteraan yang terus-menerus, bukan hanya THR setahun sekali.