Oleh : Nur Atika Rizki, M.Pd (Praktisi Pendidikan)
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno menargetkan pembentukan 6.000 desa wisata selama tahun 2024 untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Usai mengisi kuliah umum Blue Ocean Strategy Fellowship (BOSF) di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Ahad (18/2/2024) menjelaskan bahwa dari 80 ribu lebih desa di Indonesia, terdapat sekitar 7.500 desa yang memiliki potensi wisata. Ia menerangkan, 6.000 desa wisata tersebut nantinya dapat berkontribusi sekitar 4,5 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) secara nasional karena penambahan sekitar 4,4 juta lapangan kerja di bidang ekonomi kreatif. “Karena di desa itu lah generasi muda kita bisa menciptakan inovasi-inovasi, termasuk produk-produk kreatif (www.republika.com, 18/2/2024).
Pengembangan wisata sektor ini dilakukan karena terdapat tren positif kunjungan ke desa wisata di Indonesia sebesar 30 persen setelah pandemi Covid-19. Sandiaga menyebutkan saat ini sudah ada dua desa wisata di Indonesia yang dinilai terbaik di tingkat dunia, yakni Desa Wisata Nglanggeran di Yogyakarta dan Desa Wisata Panglipuran di Bali (www.antaranews.com, 18/02/2024)
Peluang ini juga dimiliki Provinsi Kalsel, pasalnya pada tahun 2020 dengan 13 kabupaten/kota dalam wilayahnya, Kalsel memiliki 1.864 desa. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kalsel, Zulkifli mengatakan setidaknya terdapat 70 desa yang berpotensi dikembangkan menjadi desa wisata. Namun tidak bisa ditetapkan sebagai desa wisata karena bukan dikelola Bumdes. Syarat utama bisa ditetapkan sebagai desa wisata oleh Kemendes harus dikelola sendiri oleh Bumdes, bukan dikelola pihak ke tiga. Tujuan utama dibentuknya desa wisata adalah menggerakkan perekonomian melalui Bumdes (www.banjarmasinpost.co.id, 20/10/2020)
Kekayaan Alam dan Keragaman Budaya di pedesaan yang dimilki Indonesia menjadi potensi sebagai destinasi wisata. Tren perjalanan wisatawan saat ini mengalami perubahan yaitu dari wisata massal (mass tourism) ke arah wisata alternatif (alternative tourism). Perubahan ini mengarah pada jenis kegiatan wisata yang berorientasi pada wisata alam atau budaya lokal dengan tujuan untuk meningkatkan wawasan, petualangan, dan belajar, seperti wisata petualangan (adventure tourism) – mendaki gunung (hiking), berjalan (trekking), dan juga wisata yang menawarkan pengalaman langsung kepada wisatawan seperti wisata perdesaan (village tourism), dan sebagainya.
Munculnya Desa Wisata dilatarbelakangi oleh tingkat kemiskinan yang dominan terjadi di desa. Tingginya angka kemiskinan menyebabkan angka pengangguran juga meningkat. Sementara itu, kondisi pedesaan sangat jauh berbeda dengan perkotaan, yakni tidak ada aktivitas pengembangan ekonomi yang bisa membuka lapangan kerja. Dengan adanya pengembangan desa wisata diharapkan dapat mengurangi permasalahan urbanisasi dan membuka lapangan kerja.
Namun, di balik potensi yang dianggap mampu mengentaskan kemiskinan, Desa Wisata memiliki dampak negatif sehingga dapat menimbulkan bencana. Pengembangan Desa Wisata akan membuka peluang masuknya nilai-nilai liberal, maraknya minuman keras, mengumbar aurat, liberalisasi seks, dan sebagainya. Begitu pula dengan pengembangan wisata culture tourism, berpotensi merusak kultur masyarakat yang ada serta kembalinya budaya jahiliah yang bertentangan dengan syariat Islam. Alam yang diolah menjadi tempat wisata yang tidak terjaga membuat kerusakan yang juga berdampak pada kehidupan masyarakat, seperti sumber air yang tercemar, berubahnya fungsi lahan yang menimbulkan rawan bencana.
Salah satu dampak real digiatkannya industri pariwisata adalah di desa-desa di Bali. I Ngurah Suryawan mengungkapkan dalam hasil penelitiannya bahwa penetrasi global melalui investasi pariwisata menjadi pemantik perubahan sosial budaya paling nyata di Bali. Tanah-tanah orang Bali telah lama tergerus oleh rakusnya industri pariwisata untuk pembangunan infrastruktur. Alih fungsi lahan dan hilangnya kepemilikan tanah-tanah Bali dari masyarakat setempat karena telah dikuasai oleh investor pariwisata.(JURNAL KAJIAN BALI Volume 01, Nomor 01, April 2011)
Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan merupakan program pembangunan global yang diinisiasi oleh PBB mengarahkan seluruh anggotanya untuk mengikuti keputusan lembaga tersebut sebagai konsekuensi atas keanggotaannya. Dengan demikian, pariwisata didorong untuk pembangunan di desa melalui UU Desa sehingga kemandirian desa sebagaimana arahan global bisa terwujud. Padahal sistem ekonomi kapitalis globalah yang membuat ketidaksejahteraan masyarakat melanda di segala penjuru dunia, termasuk Indonesia. Kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat akibat penerapan kapitalisme menjadikan pariwisata sebagai angin baru untuk pengentasan kemiskinan sehingga proyek ini pun diadopsi menjadi agenda nasional.
Pariwisata sebagai penggerak ekonomi sudah lama diwacanakan, bahkan di PBB, terdapat badan khusus yang membahas tentang pariwisata dunia. Ini menunjukkan bahwa pariwisata merupakan agenda global yang orientasinya mencari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi sebuah negara. Oleh karenanya, destinasi wisata akan mengikuti lifestyle mereka. Bahayanya lagi kendati diwacanakan dikelola sendiri oleh desa bukan pihak ketiga, namun destinasi wisata menjadi incaran para investor yang justru mengeksploitasi sumber daya alam dan sumbet daya manusia. Dilakukan dengan sangat massif oleh perusahaan transnasional dalam bentuk jejaring kuasa kapitalisme global. Alih-alih mensejahterakan rakyat, yang ada justru negara dan pemilik modal berkolaborasi untuk mengusai jaringan-jaringan ekonomi makro yang merangsek ekonomi rakyat hingga ke titik nadir.
Bertumpu pada desa wisata sebagai sektor pendapatan masyarakat desa tidak akan dapat meningkatkan kesejahteraannya secara berkesinambungan, sebab permasalahan ekonomi tidak sekedar mencarikan alternatif lapangan pekerjaan. Apalagi banyak sedikitnya kunjungan wisata juga tergantung kondisi keuangan masyarakat yang menjadi para wisatawan. Sebab dengan harga barang kebutuhan masyarakat yang tinggi, mereka tentu akan cenderung terlebih dahulu memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan dibandingkan bepergian untuk wisata.
Dalam sistem politik ekonomi Islam, negara berkomitmen mengoptimalkan sumber-sumber perekonomian dan strategi jaminan kebutuhan dasar. Dalam Islam, sumber-sumber perekonomian adalah pertanian, perikanan, perkebunan, industri barang, pertambangan, perdagangan, dan jasa. Inilah yang secara nyata dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga tercapai kesejahteraan.
Adanya pengaturan kepemilikan sumber perekonomian dalam Islam yakni individu, umum dan negara memberikan kemudahan dalam distribusinya. Pada sistem ekonomi kaptalis saat ini sumber ekonomi milik umum diserahkan kepada individu sehingga terjadi monopoli termasuk permainan harga di pasar dan kelangkaan. Sistem politik ekonomi Islam juga mencegah adanya intervensi asing yang menguasai sumber-sumber perekonomian dalam negeri.
Sedangkan wisata dalam pandangan Islam sebagai sesuatu yang dibolehkan dalam rangka rihlah atau tadabur alam, namun bukan sebagai pengembangan ekonomi. Islam tidak pula melakukan pemaksaan terhadap alam dengan mengubah fungsinya menjadi tempat wisata sehingga dapat merusak ekosistem yang ada di lingkungan tersebut.
Hanya dengan sistem Islam secara keseluruhan dalam mengatur kehidupan individu, masyarakat dan negara serta meninggalkan cengkraman sistem kapitalis masyarakat dan negara dapat memperoleh kesejahteraan. Wallahu’alam bishowab.

