
Global Governance merupakan suatu rangkaian tujuan untuk mengelola global yang bersifat politis dan solutif dalam menghadapi permasalahan yang sangat kompleks di dunia ini. Dengan adanya sebuah konstruksi Global Governance yang mengarah kepada institusi formal seperti United Nations (UN), World Trade Organization (WTO) dan Non Governmental Organization (NGO) lainnya berdasarkan bidang kajian, baik basis internasional maupun domestik, karena ada pergeseran paradigma di dalam hubungan internasional akhir-akhir ini, kini dunia tidak bisa hanya dipandang sebagai isu perang dan damai saja lagi, melainkan berbagai pokok-pokok permasalahan yang mengahantui dunia, yaitu: isu kemiskinan, pengetahuan, pembagunan, ketimpangan, dan lingkungan yang telah hadir sebagai bukti nyata betapa kompleks nya permasalahan yang muncul. di dalam institusi tersebut terdapat berbagai norms dan law yang perlu diperhatikan bahkan dipatuhi untuk meciptakan tata kelola global yang lebih stabil.
Salah satu gagasan kongret yang dapat kita lihat dan kita rasakan hadir ditengah-tengah hingar-bingar dunia hari ini adalah Suistainable Development Goals (SDGs) yaitu gagasan yang berorientasi kepada pembagunan berkelanjutan, pemikiran ini baru ditayangkan pada 25 September 2015, Namun, Gagasan Kongret ini tidak menjadi yang perdana, pada tahun 1972 di bumi Stockholm di adakan konferensi lingkungan yang terkait dengan pembagunan berkelanjutan.
Pada tahun 1993 diadakan pula di brazil dengan mengusung tema “think globaly act locally”. dan pada tahun 2000 baru lah gagasan pembangunan berkelanjutan itu dapat dimaksimalkan atau diimplementasikan, sama-sama cukup tahu, bahwa gagasan ini tidak terdengar nyaring, Sehingga banyak orang yang tidak mengenal gagasan Kongret yang satu ini, yaitu Milenium Development Goals (MDGs) Fokus utama nya adalah 8 Point seperti Memberantas kemiskinan dan kelaparan, Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan. Menghapus ketidaksetaraan gender dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005, di semua pendidikan pada tahun 2015 bahkan huga salah satu nya ada masalah lingkungan.
Menjadi poin menarik bagi kita bahwa gagasan MDGs senada dengan SDGs hanya saja jumblah fokus yang bertambah banyak, dikarenakan SDGs memiliki 17 Consern Utama salah satu nya ialah masalah lingkungan hidup, jika kita mengkaji lebih dalam lagi masalah lingkungan tidak pernah usai, sampai-sampai antonio gutteres sekjend PBB mengumumkan bahwa Dengan narasi lebih kurang seperti ini “ Kita tidak di era pemanasan global, melainkan di era pendidihan global. Maka dari itu kita semua bertindak secara kolektif dalam upaya aksi-aksi perjuangan ini.
“Bagi sebagian besar Amerika Utara, Asia, Afrika, dan Eropa, ini (global boiling) menjadi musim panas yang kejam. Bagi seluruh planet, ini menjadi bencana. Dan bagi para ilmuwan, hal ini jelas akibat ulah manusia” (António Guterres, Sekjen PBB).
Di dalam Global Governance disematkan tidak ada sistem hierarki didalam nya, melainkan, kekuatan besar lah yang dapat menjadi pengendali untuk tata kelola global yang berorientasi kestabilan, menurut teori hegemoni gramscy lebih kurang seperti ini “Sebuah konsensus di mana penaklukan dicapai oleh kelas hegemonik yang menerima ideologi kelas hegemonik. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi berdasarkan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan berdasarkan kepemimpinan politik dan ideologi”
Kacamata Realisme
Realisme merupakan sebuah pandangan yang tidak lekang oleh waktu yaitu kontras dengan liberalisme sehingga perdebatan duo keyakinan ini sangat lah terpopuler dilingkungan hubungan internasional, Realisme menekankan aktor hubungan internasional adalah Negara, realisme juga berpandangan bahwa Sistem internasional itu adalah anarki, bisa dimaknai menolak hierarki.
Semenjak Hadir nya Global Governance dalam hal ini penulis berasumsi secara signifikan, memang benar NGO memiliki peran penting untuk tata kelola global, ketika suatu negara sudah meratifikasi suatu perjanjian dan memasuki institusi maka penulis berasumsi kembali bahwa, semenjak itu pula Kedaulatan negara tidak utuh, karena terikat perjanjian dan hukum, sehingga memberikan setengah kedaulatan negara nya kepada institusi.
Di dalam kacamata realisme, Good Governance masih utopia dikarenakan kekhawatiran realisme peran negara tidak mendominasi lagi ketika Global Governance hadir, dan itu juga berkesinambungan dengan sistem hierarki yang dibuat oleh global governance ketika kita bernalar dan merujuk kepada teori hegemon gramscy, maka disitulah secara tidak langsung hierarki itu ada, karena kekuatan yang mengatur berasal dari negara kuat atau adikuasa dan adidaya seperti Amarika Serikat, Russia, dan Tiongkok, padahal realisme berpandangan untuk menciptakan ke stabilan dunia ini harus menganut anarkisme.
Contoh kasus masalah lingkungan yang penulis telah uraikan, dimana kita semua bertindak secara kolektif dalam krisis iklim, namun pertanyaan nya adalah kenapa negara-negara pengahasil emisi yang tidak seberapa juga ikut berpartisipasi, padahal merekalah negara-negara penghasil emisi gas terbesar yang harus bertanggung jawab, Maka disitulah ketidaksukaan realisme dalam memandang Global Governance sebagai solusi untuk saat ini yaitu adanya kepentingan negara kelas atas kepada negara subordinat.
Melihat realitas semacam diatas dapat kita simpulkan bahwa Good Governance dan Teori Gramscy memberikan konsep imajinasi yang amat menyenangkan, namun sekiranya kalau dapat itu bukan menjadi kebenaran yang mutlak, melainkan kita jadikan diskursus agar potensi penghianatan itu tidak terjadi karena terselamatkan oleh pandangan sinsime dari kaum realis.