
Sejatinya, jika kita merenung dan merefleksikan pidato Bung Karno tentang pemuda, maka jumlah besar saja tidaklah cukup untuk bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan diperhitungkan di kancah dunia. Bung Karno tidak perlu menunggu bonus demografi untuk bisa memberikan kehormatan yang layak bagi bangsa dan negaranya. Melainkan, Bung Karno hanya membutuhkan pemuda-pemudi unggul yang memiliki kualitas dan visi yang besar dalam menatap dunia.
Iya. Begitu pentingnya peran pemuda. Dengan tegas di dalam al-Quran surat An-Nisa’ dinyatakan yang artinya: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 9).
Jelasnya, kita sebagai orang tua, sebagai pimpinan di dalam sebuah negara, harus khawatir sekiranya kelak akan meninggalkan generasi yang lemah, tidak bermutu-kualitas dan tidak bertumpu kepada pengembangan ilmu-ilmu Allah Swt. Termasuk ilmu pengetahuan modern. Karena itu, peran yang dimainkan oleh Nabi Saw. di dalam mendidik generasi muda-mudi adalah selalu bertumpu pada pendidikan, pengajaran dan peningkatan mutu moral anak-anak muda.
Empat Abdullah yang cerdas
Jika kita menelisik sejarah Nabi Saw. akan perhatiannya terhadap anak-anak muda, maka dikenallah dalam studi-studi hadits yang disebut al-abadillah al-arba’ah (empat Abdullah). Siapakah empat Abdullah yang keren dan terdidik itu? Adalah Abdullah bin Umar, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Mas’ud.
Misalnya, Abdullah bin Umar, anaknya sahabat Umar ibn Al-Khattab. Dari tangannya, ilmu-ilmu keislaman bisa tumbuh dan berkembang. Tak seperti ayahnya yang menjadi khalifah (berpolitik), hidupnya didedikasikan hanya dan untuk mengembangkan ilmu-ilmu studi keislaman.
Kemudian, Abdullah Ibn Abbas, sepupu dari Nabi dan anak dari paman Nabi yaitu Sayyidina Abbas yang kuburannya berada di Thaif. Dari Abdullah Ibn Abbas banyak tafsir-tafsir al-Quran yang berkembang melalui riwayatnya. Hingga Nabi sendiri mendoakan secara khusus “Ya Allah berilah kemampuan kepada Abdullah ibn Abbas untuk memahami ajaran agama, dan ajarkan kepadanya kemampuan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran.”
Mereka adalah anak-anak muda yang di didik oleh Nabi untuk menjadi soko guru ilmu pengetahuan. Kita tahu, Abu Hurairah, bukanlah orang yang lahir dari sahabat besar, melainkan ia berasal dari Thaif. Dan negeri Thaif sendiri pernah mengusir Nabi, tetapi sebaliknya beliau Nabi justru berdoa kepada Allah Swt. agar kelak dari Thaif ada anak-anak yang lahir dari tulang punggung ayah-ayah mereka orang yang menyembah kepada Allah. Hingga akhirnya datanglah seorang anak muda bernama Abu Hurairah yang darinya ribuan hadits diriwayatkan.
Belajar dari tanggung jawab Nabi inilah, maka tanggung jawab orang tua, guru dan pemimpin agar menyiapkan generasi-generasi muda. Ada banyak anak-anak muda yang perlu kita didik dan perkuat secara moral, tangguh secara keilmuan.
Bukankah al-Quran surat Al-Baqarah ayat 151 susah menegaskan yang artinya: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 151).
Sederhananya, tugas Nabi adalah mengenalkan dan membacakan kepada seluruh umat-umat manusia, termasuk di dalamnya adalah anak-anak muda. Bukan hanya berisi ibadah dan persoalan akhirat, al-Quran juga berbicara mengenai ilmu pengetahuan.
Ini juga sebagaimana diungkapkan al-Qur’an yang artinya: “Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Naml [27]: 88).
Pentingnya ilmu pengetahuan
Syahdan. Jauh sebelum ilmu pengetahuan berbicara bumi, justru al-Quran sudah berbicara bumi terlebih dahulu, bahkan alam semesta. Dalam hal ini, ayat-ayat Tuhan bukan hanya aksara dan huruf, melainkan juga hamparan semesta. Allah Swt. berfirman: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fussilat [41]: 53).
Kata Al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin: “Orang-orang yang tidak mampu membaca garis-garis ketuhanan yang tertulis dengan “tinta” Allah SWT, yang terdapat dalam lembaran-lembaran tanpa huruf dan tanpa suara, yang hanya bisa dijangkau dengan mata hati bukan dengan mata kepala.”
Pendek kata, ada banyak orang yang tidak mampu untuk menangkap ayat-ayat Allah yang bukan hanya berupa huruf dan aksara, melainkan ayat-ayat Allah terbentang tidak dalam bentuk huruf dan aksara, bisa dicapai bukan dengan mata kepala akan tetapi bisa diperoleh dengan mata kesadaran (hati).
Melalui riset-riset ilmu pengetahuan, maka generasi muda muslim harus di didik dan dikembangkan agar cinta terhadap ilmu pengetahuan, tidak membenci ilmu-ilmu pengetahuan. “Dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Quran) dan hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 151).
Itu sebabnya, tugas mereka yang berilmu dan mengerti adalah mengajar, dan yang awam belajar. Kenapa demikian? Karena ilmu tidak diwariskan secara biologis, melainkan ilmu diperoleh melalui ketekunan belajar dan belajar. Wallahu a’lam bisshawab.