
BANJARMASIN – Sidang lanjutan Peninjauan Kembali (PK) Mardani H Maming dengan agenda mendengarkan keterangan ahli, kembali bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin, Senin (4/3).
Kedua ahli yang dihadirkan Penasihat Hukum Mardani H Maming itu, yakni dosen Hukum Administrasi Negara Prof Dr Ridwan dan dosen hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Dr Muhammad Arif Setiawan.
Doktor Arif Setiawan merupakan salah satu akademisi yang turut terlibat dalam proses eksaminasi atau pengujian terhadap putusan perkara Mardani H Maming.
Alasan dilakukan eksaminasi terhadap putusan itu selain di latarbelakangi guna keperluan akademik, juga lantaran putusan cukup menarik untuk di uji.
“Eksaminasi dilakukan terhadap perkara menarik,” ujarnya yang hadir secara virtual dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat.
Berdasarkan hasil eksaminasi itu, muncul kesimpulan adanya kehilafan yang dilakukan hakim dalam memutus perkara korupsi yang dilakukan mantan Bupati Tanah Bumbu tersebut, yakni tidak ditemukannya meeting of mind yang semestinya menjadi alasan kuat untuk di pertimbangkan hakim dalam memutuskan perkara.
“Setelah membaca putusan, ahli tak menemukan adanya meeting of mind dalam pemberian, hanya satu pihak. Itulah yang menjadi kehilafan hakim,” katanya.
Selanjutnya, adanya hukuman tambahan berupa uang pengganti (UP) Rp 110 miliar lantaran di nilai adanya kerugian negara yang muncul akibat perkara korupsi tersebut, Arif mengatakan dari hasil eksaminasi, uang yang di terima Maming adalah hasil dari bisnis perusahan yang dijalankan pihak keluarga.
“Sebagian putusan hakim mengakui itu perusahan keluarga. Pemberian itu dari saudaranya. Bagaimana itu disebut sebagai suap,” jelasnya.
Semantara itu, Prof Dr Ridwan menjelaskan, pemindahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) memang kewenangan seorang bupati.
“Yang tidak boleh melakukan pengalihan itu pemilik IUP. Itu jelas di atur dalam undang undang. Kalau bupati yang melakukan memang kewenangannya,” terangnya.
Menanggapi keterangan ahli, Jaksa KPK RI Greafik Loserte mengatakan, dalam konteks membuktikan ada tidaknya perbuatan korupsi, yang pertama pihaknya lakukan yakni ada atau tidak meeting of mind nya.
Namun, memang dari sisi akademisi untuk menilai ada dan tidak meeting of mind nya berbeda-beda cara pandangnya, tapi itu hal yang biasa.
“Kami selaku penuntut umum sedari awal menyakini bahwa meeting of mind dalam perkara ini tidak terwujud dalam bahasa terang-benderang, tapi dalam sembunyi-sembunyi. Itu lah yang dimaksud dalam konteks kesepakatan diam-diam,” ujarnya.
Ia menyebutkan, pihaknya menyampaikan bukti-bukti yang mendukung atas tuduhan, di antaranya keterangan saksi, ahli, bahkan alat bukti surat dalam bentuk rekening koran. “Itu sama-sama kita lihat dalam persidangan terdahulu, itulah meeting of mind nya,” tegasnya.
Kemudian kalau dikatakan bahwa perjanjian bisnis tidak dapat di kategorikan sebagai tindak pidana, lanjut dia, pertanyaannya adalah bagaimana dengan perjanjian bisnis yang digunakan sebagai modus operandi tindak pidana.
“Itu hal biasa kita temui dalam tindak pidana apapun, apalagi tindak pidana korupsi. Ketika ahli mengatakan perjanjian bisnis tidak ada urusannya dengan tindak pidana, nanti dulu. Kita buktikan bahwa perjanjian bisnis itu hanyalah sebagai cara untuk menutupi tindak pidana asalnya, apa itu? Ya suap,” katanya.
Begitu juga dengan keterangan ahli yang menyatakan bahwa uang pengganti hanya dapat dikenakan dalam tindak pidana yang hubungannya dengan kerugian keuangan negara, pihaknya tidak sependapat dengan hal itu.
“Kami berpendapat, terhadap hasil suap yang diperoleh oleh terdakwa maka dalam tuntutan kami harus di ajukan uang pengganti terhadap hasil tindak pidana yang di peroleh dari suap itu yang nilainya Rp 110 miliar, dan ketika terdakwa mengatakan tidak setuju terhadap putusan itu, lalu kenapa uang penggantinya di bayar Rp 10 miliar,” ucapnya.
Berarti, tambahnya, itu wujud mengikuti putusan, mengakui bahwa uang pengganti itu adalah bagian tindak pidana yang dia lakukan, begitu juga dengan kewajiban pejabat, yakni bupati yang tidak punya kewenangan untuk menolak menandatangani peralihan IUP OP, karena sudah di setujui oleh Kepala Dinas dan Tim Verifikasi.
“Kita memandang pasal 93 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, subyek hukumnya bukan hanya pihak yang memiliki permohonan pengaju dalam hal ini adalah pengusaha, tapi juga mengikat terhadap pejabat pemerintah yang karena kewenangannya bisa memindahkan IUP OP itu kepada pihak lain,” jelasnya.
Sementara, Kuasa Hukum Mardani H Maming, Yasir Arafat menambahkan, dengan mendengar keterangan ahli tersebut, bisa dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam putusan PK.
“Penjelasan meeting of mind, kami kira itu hal yang sangat wajar. Ahli menjelaskan itu karena memang sesuai dengan keahlian dia sebagai ahli hukum pidana,” ujarnya.
Majelis Hakim yang dipimpin Suandi kemudian menunda sidang. Adapun sidang selanjutnya akan digelar pada Kamis (14/3), dengan agenda mendengarkan pendapat Jaksa KPK RI atas penjelasan ahli. jjr