Oleh :Al Muslimah Prihatin (Ibu Rumah Tangga)
Konflik agraria satu keniscayaaan dalam sistem kapitalisme. Apalagi kebebasan kepemilikan menjadi salah satu hak yang diakui. Sistem ini memungkinkan pengusaha atau pemilik modal berkuasa menentukan kebijakan negara yang menguntungkan kelompoknya.
Dari katadata.id 2023/11/06. berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 212 konflik agraria yang terjadi di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah konflik itu bertambah 2,36% dibanding tahun lalu (year-on-year/yoy) yang totalnya 207 kasus. Seluruh konflik agraria di Indonesia pada 2022 melibatkan lahan seluas 1,03 juta hektare (ha), serta berdampak pada 346.402 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 459 desa/kota. Konflik agraria pada 2022 paling banyak terjadi di sektor perkebunan, yakni 99 kasus, dengan luas wilayah konfllik 377,19 ribu ha dan korban terdampak 141.001 KK. Dari jumlah tersebut, 80 kasus di antaranya terjadi di perkebunan sawit. “Tingginya letusan konflik agraria di sektor perkebunan dan bisnis sawit merupakan persoalan klasik yang tidak kunjung terpecahkan oleh pemerintah. Hambatan utamanya dikarenakan bisnis persawitan masih menjadi ‘anak emas’ pemerintahan dalam menggenjot perekonomian nasional,” tulis KPA dalam laporannya.
Konflik agraria juga banyak terjadi di sektor pembangunan infrastruktur, yaitu 32 kasus. Luas lahan konfliknya mencapai 102,75 ribu ha yang berdampak pada 28.795 KK. Konflik di sektor infrastruktur berasal dari proyek pembangunan pariwisata, bendungan, jalan tol, pembangkit listrik, hingga fasilitas umum. Berikutnya ada 26 kasus konflik agraria di sektor properti, dengan luas konflik 4,57 ribu ha dan 15.957 KK yang terdampak. “Konflik di sektor ini (properti) didominasi oleh klaim aset pemerintah di tanah dan permukiman masyarakat, di mana letusan konfliknya mencapai 13 kali. Selanjutnya konflik masyarakat dengan para perusahaan pengembang perumahan sebanyak 8 kali letusan konflik,” papar KPA dalam laporannya.
Ada pula kasus agraria yang terjadi di sektor pertambangan (21 kasus), kehutanan (20 kasus), fasilitas militer (6 kasus), pertanian (4 kasus), serta pesisir dan pulau-pulau kecil (4 kasus). Jika dilihat berdasarkan wilayah, konflik agraria paling banyak terjadi di Jawa Barat (22 kasus), Sumatra Utara (22 kasus), Jawa Timur (13 kasus), dan Kalimantan Barat (13 kasus).
Dalam situasi seperti ini, negara selayaknya segera menyelesaikan konflik agraria secara adil dan tidak memihak korporasi yang menjadi lawan petani dalam kasus sengketa/konflik agraria. Dalam hal ini, Islam telah memberikan solusinya. Islam memiliki konsep kepemilikan yang jelas, dan menjadikan negara sebagai pelindung dan pengurus rakyatnya Islam mewajibkan negara menghormati dan melindungi kepemilikan individu dan melarang negara semena-mena apalagi dikuasai oleh pengusaha. Negara dan aparat pemerintahan wajib berpihak pada syariat Islam dan tidak mengambil untung dari proses melayani rakyat. Untuk menyelesaikan kasus ini, negara bisa menanyakan kepada masyarakat setempat dan juga kepada korporasi terkait tentang luas lahan yang mampu mereka garap, lalu memberikannya pada mereka.
Negara akan mencegah salah satu pihak menzalimi pihak lain. Negara akan menindak apabila terjadi pelanggaran hukum berupa kekerasan. Pada lahan yang tidak (mampu) dikelola/digarap kedua belah pihak, negara bisa menyerahkannya kepada pihak lain karena termasuk tanah mati. Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat) adalah mengolahnya, menanaminya, atau mendirikan bangunan di atasnya. Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun yang bisa menjadikan tanah tersebut hidup.
Ini berlaku secara umum dan mencakup semua bentuk tanah-tanah di Negara Islam ataupun tanah Negara Kufur, baik tanah tersebut berstatus usyriyah (dikuasai negara Islam tanpa melalui peperangan) ataupun kharajiyah (ditaklukkan Negara Islam melalui peperangan). Namun, kepemilikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan cara digarap atau dimanfaatkan. Apabila tanah tersebut belum pernah dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka atau setelah dibuka, malah dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut, maka hak kepemilikan orang yang bersangkutan atas tanah tersebut telah hilang.
Di dalam Sunan Al-Bayhaqi, dari penuturan Amr bin Syu’aib, juga terdapat riwayat bahwa Umar telah menjadikan masa pemagaran (penguasaan tanah) oleh seseorang adalah selama tiga tahun. Jika tanah itu dibiarkan hingga habis masa tiga tahun, lalu tanah itu dihidupkan oleh orang lain, orang yang terakhir ini lebih berhak atas tanah tersebut. Umar ra. menyatakan sekaligus melaksanakan tindakan semacam itu dengan disaksikan dan didengar oleh para sahabat. Mereka tidak mengingkarinya. Dengan demikian ketetapan ini menjadi ijmak sahabat.
Dalam Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi—termasuk tanah—hakikatnya adalah milik Allah Swt. semata. Firman Allah Swt., “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24]: 42). Allah Swt. juga berfirman, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57]: 2). Adapun tentang kepemilikan tanah dalam syariat Islam adalah hak yang ditetapkan oleh Allah Swt. bagi manusia untuk memanfaatkan tanah.
Menurut Abdurrahman al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), (6) iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hlm. 51). Seorang pemilik tanah boleh menanami tanahnya dengan alat benih, hewan, dan para pekerjanya. Ia juga boleh mempekerjakan para pekerja yang ia sewa untuk menanaminya. Jika ia tidak mampu untuk mengusahakannya, ia akan dibantu negara dengan dana dari kas negara (Baitulmal). Akan tetapi, jika tanah tersebut tidak ditanami oleh pemiliknya, tanah tersebut akan diberikan kepada orang lain untuk ia garap sebagai pemberian cuma-cuma dari negara tanpa kompensasi apa pun.
Apabila pemiliknya tidak menggarapnya dan tetap menguasainya, ia dibiarkan selama tiga tahun. Apabila setelah tiga tahun tersebut tanah tersebut tetap dibiarkan atau ditelantarkan, negara akan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya dan memberikannya kepada yang lain.
Yunus menuturkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdullah bin Abu Bakar yang berkata, “Bilal bin al-Harits al-Muzni pernah datang kepada Rasulullah saw. lalu ia meminta sebidang tanah kepada beliau. Beliau kemudian memberikan tanah yang berukuran luas kepadanya. Ketika pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Umar, beliau berkata kepadanya, ‘Bilal, Engkau telah meminta sebidang tanah yang luas kepada Rasulullah saw., lalu beliau memberikannya kepadamu. Rasulullah saw. tidak pernah menolak sama sekali untuk diminta, sementara Engkau tidak mampu menggarap tanah yang ada di tanganmu.’ Bilal menjawab, ‘Benar.’ Khalifah Umar berkata, ‘Karena itu, lihatlah mana di antara tanah itu yang mampu kamu garap lalu milikilah. Mana yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami dan kami akan membagikannya kepada kaum muslim.’ Bilal berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan apa yang telah Rasulullah berikan kepadaku.’ Khalifah Umar kembali berkata, ‘Demi Allah, kalau begitu Engkau harus benar-benar menggarapnya.’ Kemudian Umar mengambil tanah yang tidak mampu ia garap dari Bilal lalu membagikannya kepada kaum muslim.” (HR Yahya bin Adam dalam Al-Kharaj).
Sistem kapitalisme yang ada pada saat ini membuka peluang terjadinya konflik agraria yang sangat kompleks dan meluas. Hal ini disebabkan karena ketakjelasan status kepemilikan lahan yang ada. Adanya mafia-mafia tanah yang tidak tersentuh hukum makin membuat ketimpangan penguasaan lahan yang makin tajam. Siapa yang bermodal, berduit, dan memiliki akses kepada kekuasaan, bisa menguasai lahan dengan leluasa. Dengan demikian, hanya Islam jawaban untuk menyolusi segala konflik agraria dan hanya bisa berlaku dalam negara yang menerapkan Islam, bukan kapitalisme. Wallahualam.