Oleh: Muhammad Habibullah (Sarjana Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya)
Pilpres 2024 sudah semakin dekat. Kendaraan-kendaraan politik melanglang buana menyisir penduduk-penduduk lokal mulai dari jantung kota hingga sela-sela jari jemari negara. Setiap paslon mengklaim dan optimis bahwa mereka akan game pada satu putaran. Perlu diketahui bahwa satu putaran atau dua putaran terjadi apabila hal-hal berikut sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017. Satu putaran apabila salah satu paslon memperoleh lebih dari 50% suara dari setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia. Minimal memperoleh 20% suara dari setiap provinsi. Jika tidak, maka pilpres putaran kedua diselenggarakan. Apabila ada perolehan suara yang sama, contoh: Paslon 01 mendapat suara 38%, paslon 02 mendapat suara 31%, dan paslon 03 mendapat suara 31%, maka dipilihlah paslon berdasarkan persebaran wilayah.
Political Money
Setiap dimana ada pemilu sudah pasti tidak asing dengan fenomena serangan fajar atau yang disebut political money. Dari perspektif agama ada yang keras sekali menentang bahkan mengharamkan political money tersebut. Namun juga ada yang masih melegalkan dalam artian untuk membeli kebenaran sebagaimana yang disampaikan oleh gus Baha’. Beliau mencontohkan bahwa seandainya ada calon pemimpin yang dalam tujuan sebenarnya itu mau berbuat buruk atau tidak lurus dalam niatnya, maka wajib hukumnya kita yang memiliki niat lurus untuk membeli suara rakyat agar kepemimpinan itu tidak jatuh kepada orang yang mau berbuat jahat. Maka dari itulah yang disebut sebagai membeli kebenaran versi gus Baha’.
Fikih tidaklah statis sebagaimana syariat. Fikih dapat diartikan sebagai hukum yang mengikuti perubahan zaman dan budaya yang berkembang di masyarakatnya. Tonggak dari hukum fiqih itu sendiri adalah logika. Dan tentu saja tidak terlepas dari sumber-sumber pakem yakni Al-qur’an dan Sunnah. Bagi saya, sangat menarik jika menelisik lebih dalam logika yang dipakai oleh gus Baha’ terkait political money. Persoalan semacam ini memang sudah tidak lagi terhindarkan di masyarakat. Dengan mengarahkan atau mengakali political money sebagai membeli kebenaran, maka dapat dianggap masuk akal. Dari perspektif tasawuf misalnya, uang itu juga tetap haram apabila masuk kedalam tubuh kita, karena akan mengotori batin kita. Menurut guru saya, demi menjaga itu maka tidak apa-apa diambil saja, namun dipakai untuk hal lain, misalnya beli bensin dan sebagainya yang bukan untuk membeli makanan atau minuman.
Sehubungan dengan pemerintahan, kekuasaan lekat sekali dengan perebutan kursi-kursi strategis di dalam pemerintahan. Maka tidak heran apabila ada penggelontoran political money yang begitu besar demi meraih tujuan-tujuan tersebut. Saya kira bukan hanya masalah ekonomi (material) saja yang dapat terbeli atau terpengaruhi, sebagaimana pemikiran Karl Marx. Akan tetapi juga dapat mengintervensi psikologi (non-material) seseorang, sebagaimana pandangan Michel Foucault. Tentu ini bukan berangkat dari ruang kosong. Kita dapat melihat bagaimana terpengaruhnya psikologi seseorang yang ngotot sekali membela paslon tertentu di komen-komen media sosial. Maka dengan demikian dapat lihat bahwa ini merupakan sebuah realitas fakta bahwa political money tidak hanya mempengaruhi ekonomi seseorang, melainkan juga psikologinya. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana kompleksitas persoalan yang terjadi di masyarakat saat ini.
Foucault menggarisbawahi bahwa kekuasaan berkaitan erat dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah konsep baik dan jahat yang dihasilkan oleh kelompok yang berkuasa. Sebagaimana diungkapkan gus Baha’ diatas, Foucault juga meyakini bahwa pengetahuan tentang kebaikan tidak selalu harus dimaknai sebagai moralitas seperti yang dikenal dalam etika atau agama. Konsep normal dan tidak normal hanyalah ideologi yang dirancang untuk mengatur pola perilaku sosial yang dikonstruksi oleh mereka yang berkuasa. Dalam hal ini gus Baha’ sebagai yang berkuasa atau yang memiliki pengetahuan mendalam di bidang fikih, beliau mengkonstruksi makna political money yang dalam agama adalah buruk atau tidak normal dirancang sedemikian rupa menjadi kebaikan untuk membeli kebenaran.
NU Sebagai Gula Politik
Masihkah NU menjadi golden ticket paslon? Pertanyaan ini memang tampak klasik. Tapi penting untuk dibahas dan selalu menjadi pembicaraan hangat di ranah perpolitikan. Banyak analisis yang mengatakan bahwa ceruk suara NU adalah gula politik yang mampu mendongkrak elektabilitas. Tidak dipungkiri bahwa organisasi yang begitu besar dan memiliki pengaruh signifikan bagi bangsa ini menjadi perebutan. NU dan masyarakat Nahdliyin memiliki suara sekitar lebih dari 50% yang tersebar di seluruh Indonesia. Maka tidaklah mengherankan apabila menjadi ajang perebutan terkhusus wilayah Jatim sebagai sentralnya.
Pada tahun-tahun politik seperti ini, NU selalu saja digoda untuk dapat memberikan suaranya pada paslon tertentu. Terlepas dari itu, NU tetap konsisten dan tegas bahwa apabila ada anggotanya yang ikut berpolitik praktis maka harus bersedia di nonaktifkan selama periode tertentu. Misalnya saja yang baru-baru ini ramai diperbincangkan yakni Ketum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa menjadi TKN paslon 02 Prabowo-Gibran. Tentu saja ini sangat tendensius mengingat kebesaran namanya di organisasi ke NU-an. Tidak hanya Khofifah saja, Erick Thohir juga dinonaktifkan dari ketua Lakpesdam NU. Hal ini menunjukkan bahwa sikap PBNU tegas dan konsisten agar NU tetap netral dan tidak semena-mena dijadikan pemanis dalam perpolitikan.
Kemudian yang juga sedang ramai yakni ungkapan Sekjen PBNU gus Ipul yang mengatakan bahwa “Jangan kita mendukung pasangan yang didukung oleh orang-orang yang berseberangan dengan cara berpikirnya orang NU. Seperti calon yang didukung Abu Bakar Ba’asyir misalnya, apalagi ada Amien Raisnya juga”. Baik pandangan pribadi atau tidak, ungkapan seperti ini menjadi ancaman bagi paslon bersangkutan. Dan tentu saja ini juga menyangkut naik dan turunnya elektabilitas paslon.
Terlepas dari hal ini semua, siapapun presidennya nanti, rakyatlah yang tetap menjadi pemegang suara tertinggi. Rakyat yang akan menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpinnya. Baik political Money ataupun tokoh-tokoh penting yang digandeng apabila rakyat tidak menginginkan, maka tidak akan pernah mencapai tujuan. Untuk itu mari gunakan hak pilih masing-masing yang terbaik secara kritis demi nasib dan arah bangsa selama lima tahun kedepan. (*)