Kamis, Agustus 21, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Peran Intelektual dalam Menyuarakan Dampak Politik Oligarki

by Mata Banua
18 Januari 2024
in Opini
0

Oleh : Almeera Abidah Az-zahra (Pengajar dan Aktivis Dakwah Muslimah Muda)

Kita lihat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, intelektual diartikan sebagai cerdas, berakal, dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Seorang individu dikatakan memiliki kemampuan intelektual jika mempunyai kecerdasan tinggi atau mereka yang disebut sebagai cendekiawan. Bagamana peran intelektual sekarang ini bagi masyarakat dan negara?

Artikel Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Krisis Gaza (Pelaparan Sistemis) dan Momentum Kebangkitan Umat

20 Agustus 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Wisata Gunung Kayangan: Pesona Alam Terbengkalai

20 Agustus 2025
Load More

Menurut buku yang berjudul The Vortex of Power, Intellectuals and Politics In Indonesia’s Post-Authoritarian Era yang dikarang oleh Airlangga Pribadi Kusman. Buku The Vortex of Power yang terdiri dari tujuh bab ini menganalisis peranan kaum intelektual di dalam “pusaran arus politik” di Indonesia melalui proses politik lokal di Jawa Timur di era pasca-otoritarian Orde Baru. Kajian kualitatif ini berbasis pada hasil wawancara mendalam dengan intelektual yang berprofesi sebagai akademisi, aktivis sosial, dan teknokrat. Selain itu juga tokoh partai politik, pejabat daerah, dan birokrat.

Buku ini menjelaskan secara historis jaringan kuasa oligarki turunan Orde Baru berhasil beraliansi dengan intelektual di era pasca-reformasi. Aliansi tersebut dipakai oligarki predator untuk berkuasa dalam dunia politik dan ekonomi di Indonesia.

Mereka mendistorsi pengetahuan good governance, demokrasi, liberalisme, dan neo-liberalisme sebagai legitimasi kuasa mereka di tingkat nasional dan lokal (hlm. 129-138). Intelektual kemudian tersedot dalam pusaran kekuasaan dan melayani oligarki predator mewarnai politik lokal-nasional di era demokratisasi.

Pusaran kekuasaan tersebut menjadi ruang perselingkuhan antara pengetahuan good governance (neo-liberal) dan pengetahuan kuasa yang diproduksi oleh oligarki. Intelektual kemudian kehilangan kemampuan mengembangkan pengetahuan good governance walau mereka menerimanya.

Selain kasus lumpur Lapindo, buku ini pun menyebut kasus Pilkada DKI tahun 2017 yang menunjukkan aliansi bisnis-politik oligarki dengan intelektual bergerak melalui ruang agama untuk memperoleh kekuasaan di Jakarta (hlm. 117-122). Kajian ini menunjukkan bahwa intelektual memperkuat hegemoni oligarki dengan mendistorsi good governance.

Kasus lumpur Lapindo menjadi bukti empirik yang tragis dari persekutuan antara kaum intelektual dan kuasa predator. Mereka membangun legitimasi yang merugikan warga di sekitar limpahan lumpur Lapindo (hlm. 193-226).

Fenomena lumpur Lapindo dan Pilkada DKI menunjukkan bawa kepentingan neo-liberal global justru dihambat oleh kekuatan aliansi intelektual dan kuasa oligarki predator yang menonjolkan kepentingan mereka.

Mengapa intelektual di tingkat nasional dan lokal tidak atau belum mampu membangun nalar pengetahuan yang bebas nilai kepentingan kapitalis neoliberal global maupun kepentingan oligarki predatoris? Mungkin jawabannya terdapat di balik pandangan nasionalisme semu “bahwa lebih baik melayani oligarki predator lokal-nasional daripada melayani kepentingan predator kapitalis global”.

Akibat oligarki

Walhi Kalimantan Selatan tutup Tahun 2023 dengan mengadakan diskusi publik. Diskusi ini diisi oleh narasumber dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan dan Prof. Ir. H. Luthfi Fatah, M.S., PhD sebagai akademisi. Kegiatan ini diselenggarakan pada 9 Desember 2023 bertempat di Hotel Lerina In, Banjarbaru.

Walhi Kalimantan Selatan dalam diskusi publik ini berkesempatan untuk menyampaikan kondisi lingkungan dalam perspektif masyarakat sipil. Setidaknya ada tiga kasus konflik sumber daya alam dan lingkungan di Kalsel. Di antaranya kasus longsornya Kilometer 171, kasus banjir di Kecamatan Jejangkit dengan perusahaan sawit, dan kasus sengketa lahan tambang batubara yang mengakibatkan satu orang warga terbunuh.

Kondisi tersebut juga memperlihatkan kekuasaan korporasi seperti setara dengan negara. Sebab upaya hukum yang dilakukan terlihat tidak signifikan dan sangat tumpul. “Kita seperti tidak benar-benar bernegara, padahal kita ini bukan negara kesatuan republik investor tetapi negara kesatuan republik Indonesia” tegas Kisworo Dwi Cahyono Direktur Eksekutif Walhi Kalsel.

Sejak ditetapkannya Jejangkit sebagai lokasi Hari Pangan Sedunia (HPS) Tahun 2018, Jejangkit kini cenderung mengalami penurunan produktifitas pangan yaitu padi sawahnya. Bukan hanya gagal panen, petani di Jejangkit bahkan mengalami gagal tanam dalam tiga tahun terakhir.

Pada momentum HPS Tahun ini, Walhi Kalimantan Selatan ingin mengingatkan kepada Pemerintah bahwa HPS yang dilaksanakan Tahun 2018 lalu jangan hanya menjadi proyek seremonial saja. Bahkan dalam pelaksanaannya menimbulkan korban meninggal dunia, yaitu ASN asal Papua yang diduga meninggal dunia akibat kelelahan berjalan sejauh tiga kilometer. Artinya tidak ada persiapan yang matang dalam kegiatan seremonial tersebut.

HPS Tahun 2018 yang berada di Desa Jejangkit Muara, Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan kini telah menjadi lahan tak berdaya. Beberapa warga mengeluhkan air terlalu lama merendam daerah HPS tersebut sehingga sulit untuk menanam padi pada waktu yang seharusnya.

Hasil analisis Walhi Kalimantan Selatan bahwa produktifitas pertanian di Kecamatan Jejangkit terus menurun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Pada Tahun 2020 produksi tanaman padi mencapai seluas 2.879 hektar. Namun di Tahun 2021 produksi padi menurun menjadi 2.127 hektar, begitu juga di Tahun 2022 produksi padi semakin menurun drastis hanya seluas 1.104 hektar

Awal tahun 2023 juga menjadi ujian bagi petani Jejangkit untuk mempertahankan lahan pangan mereka. Pasalnya banjir yang tidak kunjung surut di Kecamatan Jejangkit diduga akibat pompanisasi dari perusahaan sawit di wilayah tersebut.

Ada setidaknya dua perusahaan yang diduga menjadi sumber penyebab parahnya banjir tersebut di antaranya PT. Putra Bangun Bersama dan PT. Palmina Utama yang merupakan perusahaan asal China yaitu Julong Group. Kedua perusahaan ini dilaporkan warga Jejangkit kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan baik itu eksekutif maupun legislatif. Namun, sampai saat ini perusahaan masih bebal dan dianggap tidak memenuhi tuntutan masyarakat Jejangkit.

Intelektual harus paham Islam

kepemilikan lahan dalam Islam adalah mendudukkan bahwa lahan adalah milik Allah Taala.

Firman-Nya, “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24]: 42).

Berdasarkan petunjuk wahyu tersebut, pengelolaan lahan wajib menggunakan hukum Allah, Sang Pemilik lahan secara hakiki. Menurut Abdurrahman al-Maliki, tanah atau lahan dapat dimiliki dengan enam cara menurut hukum Islam, yaitu melalui jual beli, waris, hibah, ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).

Syariat Islam mengizinkan individu muslim maupun orang kafir untuk memiliki lahan, baik untuk keperluan tempat tinggal, usaha, maupun pertanian. Kepemilikan lahan dalam Islam tidak ditentukan oleh surat kepemilikan tanah, tetapi diukur dari caranya menghidupkan atau mengelolanya di atas lahan yang memang tidak ada pemiliknya.

Sabda Rasulullah saw., “Barang siapa terlebih dahulu (mengelola atau mengerjakan tanah yang mati) yang belum dimiliki (didahului) oleh seorang muslim, maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR Thabrani dalam Al-Kabîr).

“Barang siapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu (menjadi) miliknya.” (HR Bukhari).

“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

“Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ath-Thabrani).

Selanjutnya, syariat Islam juga menetapkan ambang batas penelantaran lahan. Apabila lahan yang telah dimiliki dengan cara dipagari, misalnya, tetapi tidak dikelola, maka negara bisa menyita lahan tersebut dan memberikannya pada individu ataupun perusahaan yang mampu mengelolanya. Ketetapan ini didasarkan pada ijmak sahabat yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khaththab.

Imam Abu Ubayd dalam kitab Al-Amwal meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. mengambil lahan milik Bilal bin Al-Harits al-Mazani yang merupakan pemberian dari Rasulullah (saw.). Amirulmukminin Umar bin Khaththab berkata kepada Bilal, “Sesungguhnya Nabi saw. tidaklah memberikan lahan ini padamu sekadar untuk dipagari dari orang-orang, tetapi beliau memberikannya padamu untuk dikelola. Maka ambillah yang sanggup engkau kelola dan kembalikan sisanya.”

Adapun batas waktu penelantaran tanah sampai akhirnya nanti akan ditarik oleh penguasa untuk diberikan pada pihak lain adalah setelah tiga tahun. Amirulmukminin Umar ra. juga mengatakan kepada kaum muslim, “Tidak ada hak (kepemilikan) bagi orang yang memagari (lahan) setelah tiga tahun.”

Berdasarkan hal tersebut, negara tidak berhak merampas lahan milik warga muslim maupun nonmuslim sekalipun ketika mereka tidak memiliki surat kepemilikan lahan, selama ia bisa membuktikan bahwa tanah itu telah dipatok atau dikelolanya, serta tidak ditelantarkan lebih dari tiga tahun.

Sangat kontras dengan yang terjadi sekarang ini, kepemilikan lahan ditekankan pada kepemilikan sertifikat. Menjadi sangat wajar ketika kasus perampasan lahan kian masif terjadi, padahal perampasan lahan adalah kezaliman yang terkategori dosa besar, apalagi jika spiritnya untuk mengenyangkan oligarki.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang pernah berbuat aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah), maka nanti ia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh petala bumi.” (HR Bukhari).

 

Tags: Aktivis Dakwah Muslimah MudaAlmeera Abidah Az-zahraPengajarPolitik Oligarki
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA