Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Utang negara-negara berkembang menggelembung. Bank Dunia atau World Bank pun mengingatkan resiko utang yang semakin menggunung dikhawatirkan membuat negara tersebut mengalami krisis, khususnya negara yang perekonomiannya belum stabil. Namun Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, sejauh ini rasio utang Indonesia masih terbilang cukup aman. Rasio utang pemerintah kini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,11% (kontan.co.id).
Adapun jika mengacu pada Undang-Undang 1/2003 tentang Keuangan Negara, batas maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB ditetapkan sebesar 60 persen. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menilai, utang pemerintah yang mencapai Rp8.041 triliun masih terkendali (antaranews.com). Bahkan, ekonom Universitas Brawijaya Malang memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang produktif, karena digunakan untuk infrastruktur yang memberikan dampak positif jangka panjang (republika.co.id).
Statement utang terkendali dan berdampak positif merupakan statement berbahaya. Sebab, PDB sejatinya tidak menggambarkan kemampuan pemerintah dalam membayar utang. Jadi, alasan yang mengatakan rendahnya rasio terhadap PDB sehingga dikatakan utang itu aman adalah salah dan menyesatkan. Bahkan, ekonom kapitalisme sendiri menyalahkan teori tersebut.
Banyak juga yang beralasan utang tersebut masih jauh di bawah negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang dengan rasio utang terhadap PDB lebih dari 200 persen. Hal ini menjadi justifikasi negara lain termasuk Indonesia yang rasio utangnya jauh di bawah negara-negara maju tersebut. Bahwa tidak ada masalah berutang selama posisinya masih aman. Padahal, tentu saja kondisinya berbeda. Pasalnya negara-negara maju selain memiliki utang juga memberikan utang kepada negara lain, yang itu terjadi pada Indonesia sebagai negara berkembang.
Demikian juga yang mengatakan utang tersebut digunakan untuk biaya produktif cenderung aman terbantahkan. Pasalnya, Indonesia sudah masuk jebakan utang (debt trap) yang utang itu bukan untuk pembiayaan produktif, tetapi didapatkan untuk membayar utang. Mirisnya, bukan untuk membiayai pokoknya tetapi bunga utang.
Utang luar negeri sudah dilakukan negeri ini sejak masa kemerdekaan. Bahkan, disinyalir kuat kemerdekaan yang didapatkan bangsa ini berupa pengakuan kedaulatan dari negara penjajah hanya berupa bebasnya negeri ini dari penjajahan fisik. Sebab, penjajah Belanda mensyaratkan kemerdekaan tersebut dengan kewajiban menanggung utang Belanda. Inilah utang pertama negeri ini. Padahal, utang itu adalah utang Belanda yang digunakan untuk menjajah negeri ini. Dari filosofis utang negeri ini saja, nampak utang luar negeri sejatinya tidak aman karena hanya dijadikan sebagai alat penjajahan ekonomi atas negara pengutang. Memasuki orde baru utang negeri ini semakin masif. Pasalnya, mulai hadir investasi-investasi asing terhadap sumber daya alam yang berbasis utang hingga memasuki era reformasi hari ini.
Utang dalam sistem Kapitalisme meniscayakan bunga utang. Hal ini pula yang menjadikan utang tidak akan pernah dalam posisi aman. Apalagi pembayaran utang dibebankan pada APBN, yang sumber APBN berasal dari pajak rakyat. Rakyat sendiri tidak menikmati utang tersebut. Hidup mereka semakin sulit, sebab pemerintah semakin mengurangi subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk, dan lain-lain. Sementara utang yang semakin meroket pokok dan bunganya mutlak dibayarkan APBN.
Inilah gambaran sistem ekonomi Kapitalisme yang hanya menjadikan negara miskin dan berkembang mengalami ketergantungan pada negara asing. Hal ini tentu membahayakan kedaulatan negara. Dunia akan terus memberikan penilaian positif terhadap utang suatu negara selama paradigma yang dipakai adalah kapitalisme. Sementara yang diuntungkan hanya negara pemberi utang.
Hal ini karena watak kapitalisme sekuler memaksa menstrerilkan peran agama dalam kehidupan. Sehingga kehidupan pemerintahan tidak dilandaskan nilai ketaatan kepada Allah SWT. Sistem ini hanya membawa kesengsaraan bagi umat.
Seharusnya, negara mandiri secara ekonomi. Namun, kemandirian negara dalam ekonomi hanya terwujud dalam penerapan Islam kaffah dalam institusi Khilafah. Hal ini telah terbukti secara historis. Negara yang dibangun Rasulullah Saw memiliki sistem keuangan yang kokoh dan sistem politik yang kuat. Sehingga bisa menjadi negara yang berdaulat dalam menyejahterakan setiap rakyatnya. Karena kesejahteraan dalam Islam dipandang per individu rakyatnya.
Kesejahteraan rakyatnya terealisasi melalui sistem Keuangan Daulah Islam dalam Baitul Maal. Baitul Maal berfungsi mengatur harta yang diterima negara dan alokasi (distribusi) kepada yang berhak menerimanya. Ada tiga sumber pemasukan Baitul Maal. Pertama, pos fa’i, kharaj, dan jizyah. Kedua, hasil pengelolaan aset kepemilikan umum, seperti barang tambang, hutan, dan lainnya. Ketiga, sumber pendapatan lain, seperti zakat harta, zakat ternak, zakat pertanian, perniagaan, emas, dan perak. Tiga pos ini akan mengalirkan harta ke Baitul Maal karena bertumpu pada sektor produktif. Harta Baitul Maal selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Rakyat juga tidak terbebani karena negara Khilafah tidak menetapkan sistem pungutan pajak di berbagai sektornya.
Sistem ekonomi Islam membagi harta kekayaan menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Semuanya memberikan kontribusi terhadap Baitul Maal, dan terbesar adalah harta milik umum yaitu sumber daya alam (SDA) yang dikelola negara dan harta milik negara yang dikelola negara. Jika sistem Khilafah diterapkan, maka APBN bisa surplus.
Pada masa Harun al-Rasyid terjadi surplus yang jumlahnya setara jumlah penerimaan APBN Indonesia. Inilah bukti keadilan pengelolaan harta dalam sistem Islam. Sekaligus bukti kekokohan dan kemandirian sistem keuangan negara Islam.
Hal tersebut tidak akan bisa terwujud selama negeri ini masih menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang menghalalkan riba serta membolehkan swasta dan asing aseng mengeruk SDA milik rakyat. Rusaknya ekonomi dan jeratan utang ribawi yang mencekik tidak akan selesai hanya dengan pergantian kepemimpinan. Diperlukan pula perubahan ke arah penerapan syariah Islam dalam semua aspek kehidupan. Islam akan mendorong negara menjadi adidaya dan terdepan. Sehingga penguasa benar-benar dapat mengurus rakyat dengan baik.[]