Selasa, Agustus 19, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

ODGJ Diberi Hak Nyoblos?

by Mata Banua
28 Desember 2023
in Opini
0

Oleh: Nor’alimah, S.Pd

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) juga memiliki hak yang sama sebagaimana pemilih lainnya dalam hari pemungutan suara Pemilu 2024 yang digelar pada tanggal 14 Februari 2024. Ketua KPU Hasyim Asya’ri menyampaikan, hal ini merujuk dengan adanya perubahan perundang-undangan terkait Pemilu 2024. Dalam perubahan ini, tidak ada lagi kategorisasi yang diperbolehkan atau tidak untuk menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara. (SINDOnews.com, 22/12/2023)

Artikel Lainnya

D:\2025\Agustus 2025\20 Agustus 2025\8\8\Gennta Rahmad Putra.jpg

Dua Sisi Artificial Intelligence dalam Pembangunan Berkelanjutan

19 Agustus 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Indonesia Masih Dijajah

19 Agustus 2025
Load More

KPU DKI Jakarta memberikan kesempatan kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai pemilih atau memiliki hak suara pada Pemilu 2024. Ribuan ODGJ di DKI Jakarta yang berhak mencoblos pada Pemilu 2024 akan didampingi KPU.

Berdasarkan data dari KPU DKI Jakarta, tercatat DPT untuk Pemilu 2024 berjumlah 8.252.897 pemilih. Dari total keseluruhan 8,2 juta jumlah pemilih, 61.747 di antaranya merupakan penyandang disabilitas termasuk 22.871 disabilitas mental atau ODGJ.

(detiknews, 16/12/2023)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat (Jabar) mencatat, sebanyak 32.712 penyandang disabilitas mental masuk ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Nantinya, mereka akan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024. Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat (Kadiv Sosdiklih Parmas) KPU Jabar, Herdi Ardia mengatakan, para penyandang disabilitas mental yang dimaksud adalah mereka yang tidak bergejala berat serta memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Herdi menjelaskan, dalam pelaksanaan pencoblosan, KPU Jabar akan memberikan pendampingan melalui petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ada di lokasi masing-masing daerah. (SINDOnews.com,23/12/2023)

Kebijakan semacam ini tentu menjadi pertanyaan, mengapa ODGJ diberikan hak memilih. Padahal kita mengetahui, orang dalam gangguan akalnya tidak bisa berpikir secara sempurna. Dalam sistem politik demokrasi pemilih menjadi faktor yang sangat diperhitungkan. Sebab suara mereka menentukan nasib kontestan pemilu. Pemenang pemilu adalah kontestan yang mendapatkan suara terbanyak.

Pada awalnya pemilih di negeri ini tidak memasukkan ODGJ sebagai pemilih berdasarkan UU Pemilu. Dalam UU tersebut ada 6 syarat yang harus dipenuhi oleh pemilih. Salah satunya adalah “ tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan”. Menjelang pemilu 2014 syarat tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan menimbulkan polemik. Menjadi perbincangan publik jelang pemilu 2019.

Pada pemilu 2019 Mahkamah Konstitusi menegaskan syarat “ tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan” bertentangan dengan konstitusi sepanjang frase “terganggu jiwa atau ingatan” tidak dimaknai sebagai gangguan jiwa atau ingatan permanen, menurut professional bidang kesehatan.

Keputan MK inilah yang menjadi pedoman KPU untuk menetapkan ODGJ sebagai pemilih. Perubahan peraturan hak pilih dalam sistem demokrasi sejatinya menunjukkan sesuatu yang wajar. Bahkan regulasi pemilih ODGJ ini diduga kuat dimanfaatkan oleh pihak2 tertentu untuk meraup suara.

Ketetapan ODGJ boleh menggunakan hak pilihnya menunjukkan bahwa negara memiliki standar ganda dalam menetapkan kebijakan- kebijakan. Sebab negara memberikan perlakuan berbeda terhapad ODGJ dalam perkara lain. Seperti kasus kriminalisasi ulama yang banyak terjadi beberapa tahun terakhir. Pelakunya kebanyakan berasal dari ODGJ, yang justru dibebaskan oleh negara atau tidak diberi sanksi.

Sikap semacam ini menunjukkan bahwa negara mengakui bahwa ODGJ tidak memahami konsekuensi atas aktivitas- aktivitasnya. Karena ia tidak mampu berfikir benar. Sehingga, masalah ini tidak hanya berakaitan dengan penghormatan atas hak politik dan kewarganegaraan ODGJ. Lebih dari itu berkaitan dengan kebijakan politisasi ODGJ, yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu demi meraih kekuasaan atau memenangkan pemilu.

Sistem demokrasi telah membuka celah bagi orang yang memiliki kekuatan dan modal untuk melakukan politisasi terhadap ODGJ. Apalagi kekuasaan yang mereka bukan untuk mensejahterakan rakyat, tapi untuk memperkaya diri. Inilah tabiat buruk sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Selain itu, sistem ini adalah sistem batil yang berasal dari akal manusia yang lemah. Sehingga tidak layak diterapkan dalam mengatur kehidupan umat.

Berbeda dengan sistem politik islam, yang memandang bahwa Allah adalah pencipta sekalugus pengatur kehidupan. Oleh karenanya praktik politik pun wajib dijalankan di atas syariat (aturan) Allah. Aturan yang berasal dari Allah ini wajib dilaksanakan semua pihak, baik penguasa maupun rakyat. Politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan umat dengan syariat Islam.

Politik tidak hanya dimaknai dengan kekuasaan sebagaimana dlm politik demokrasi. Islam memandang kekuasaan hanya sarana menerapakan hukum-hukum Islam. Sebab, kedaulatan hanya berada di tangan Allah sebagai pembuat hukum. Dalam sistem Islam rakyat dilibatkan dalam memilih pemimpin/khalifah. Hanya saja Islam telah menetapkan syarat-syarat sah kepemimpinan, yakni muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu melaksanakan kewajiban.

Islam telah menetapkan metode baku pengangkatan pemimpin adalah dengan baiat. Sedangkan pemilihan langsung oleh rakyat hanyalah salah satu cara memilih pemimpin. Setelah mahkamah madzholim menetapkan calon khalifah yang lulus verifikasi. Para pejabat yang terpilih pun adalah orang-orang yang taat kepada Allah. Mereka menyadari kelak kepemimpinan itu akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.

Islam memfungsikan akal sebagaiman tujuan diciptakannya, yaitu untuk memahami hakikat hidup sebagai hamba Allah dan memahami Islam sebagai petunjuk hidup. Islam mengakui ODGJ sebagai hamba Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya. Namun, tidak mendapatkan beban/amanah termasuk dalam memilih pemimpin. Sebagaimana sabda Nabi SAW : “Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan:yaitu orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh (mimpi basah), dan orang gila sampai ia sadar (berakal)”. (HR Abu Dawud)

ODGJ dalam sistem Islam sangat jarang ditemukan. Mengingat kesejahteraan dan keadilan dirasakan oleh umat manusia. Islam mampu menghindarkan rakyat dari kemiskinan dan kezholiman, yang dalam sistem hari ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa. Tidakkah, kita menginginkan sistem ini kembali? Wallahu’alam.

 

 

Tags: KPUNor’alimahODGJ
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA