
Guru, memiliki peran sentral dalam proses menyampaikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya di sekolah. Berbagai macam metode dan strategi yang digunakan, para guru harus belajar kembali untuk mengupdate kemampuan mengajarnya supaya relevan dengan kondisi para peserta didik saat ini. Hal ini bertujuan agar ilmu yang disampaikan sampai kepada mereka bisa paham dan dimengerti, sehingga terwujudnya tujuan pendidikan kita yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam hal ini, negara juga ikut mengambil andil dalam proses pelaksanaannya dengan memfasilitasi berbagai pelatihan dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, mengembangkan metode pengajaran, dan mengatur strategi pembelajaran. Bahkan, transformasi status kurikulum juga menjadi bagian dari upaya mencari formula yang tepat agar proses belajar-mengajar dapat sepenuhnya dipahami oleh peserta didik.
Meskipun telah dilakukan berbagai upaya oleh pihak terkait agar ilmu atau mata pelajaran yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh peserta didik, namun terkadang hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Tidak jarang guru telah berusaha maksimal untuk memberikan pengajaran yang optimal di kelas, tetapi masih ada peserta didik yang belum mengerti dan kurang memahami.
Menyikapi persoalan seperti ini, saya teringat kisah seorang mufti besar agama Islam sekaligus imam mazhab dalam ilmu Fikih yang paling banyak diikuti oleh umat Muslim di Indonesia. Yakni imam Syafi’i.
Imam Syafi’i memiliki seorang murid yang bernama Ar-Rabi’ bin Sulaiman. Dalam manaqib Imam Syafi’i diceritakan bahwa Sulaiman ini berbeda dengan murid-murid yang lain, ia sangat begitu susah dalam menangkap dan memahami pelajaran yang diajarkan oleh Imam Syafi’i. Ketika Imam Syafi’i selesai menerangkan pelajaran, kemudian bertanya kepada murid-murid apakah sudah paham? Maka semua muridnya menjawab paham, kecuali Ar-Rabi’ bin Sulaimani. Ia begitu susah menangkap pelajaran yang diajarkan oleh gurunya.
Kejadian seperti ini berlanjut setiap hari, bahkan Imam Syafi’i pernah menerangkan berulang-ulang sampai 40 kali. Akan tetapi, muridnya tersebut belum mengerti dan tidak paham. Segala metode dan strategi pembelajaran hingga membuat privat khusus diupayakan untuk muridnya yang satu ini. Bahkan Imam Syafi’i pernah menerangkan berulang-ulang sampai 40 kali, tapi hasil tetap nihil jua.
Akan tetapi, apakah Imam Syafi’i’ berputus asa? Menghakimi Rabi’ bin Sulaiman sebagai murid bodoh? Sekali-kali tidak. Sang guru sabar dan tetap mengajari sepenuh hati.
Hingga pada suatu hari Imam Syafii memanggil Sulaiman Arrabi dan berkata, “Muridku, sebatas inilah kemampuanku mengajarimu. Jika kau masih belum paham juga, maka berdoalah kepada Allah agar berkenan mengucurkan ilmu-Nya untukmu. Saya hanya menyampaikan ilmu. Allah-lah yang memberikan ilmu. Andai ilmu yang aku ajarkan ini sesendok makanan, pastilah aku akan menyuapkannya kepadamu,” ujar Imam Syafi’i.
Setelah itu, Rabi’ bin Sulaiman rajin sekali bermunajat kepada Allah dalam kekhusyukan. Ia juga membuktikan doa-doanya dengan kesungguhan dalam belajar. Keikhlasan, keshalihan, dan kesungguhan, inilah amalannya Rabi’ bin Sulaiman.
Alhasil Rabi’ bi Sulaiaman tidak hanya pada tingkatan paham saja terhadap apa yang dijelaskan oleh gurunya, lebih dari itu, keberkahan senantiasa dirasakan dalam hidup atas saran yang disampaikan oleh gurunya, kelak dikemudian hari ia menjadi seorang ulama Hadist dan fiqih dimasanya, dan orang yang paling banyak meriwayatkan ucapan maupun karya-karya al-Imam Syafii. Tidak kurang dari 200 orang dari berbagai negeri berguru kepada ar-Rabi’ bin Sulaiman untuk mengambil riwayat ilmu al-Imam asy-Syafii.
Dalam perjalanan sebagai seorang guru, kita sering kali menemui titik di mana segala kemampuan dan kompetensi kita telah dikerahkan sepenuhnya dalam usaha menyampaikan ilmu kepada murid-murid. Namun, terkadang terlupakan satu aspek yang krusial, yaitu dimensi keagamaan.
Pada saat proses mengajar kita cenderung terfokus pada teknik, strategi, dan materi pembelajaran tanpa mempertimbangkan dimensi spiritual. Kita mungkin merasa telah berupaya sekuat tenaga, namun ada kebenaran yang mendasar yang perlu kita ingat: izin dari Allah SWT. Kadangkala, ada dimensi yang tidak dapat kita jangkau dengan kemampuan dan usaha kita sendiri.
Sebagaimana kisah Imam Syafi’i dan muridnya Sulaiman Ar-rabi’, terdapat hikmah bahwa ketika segala upaya telah dijalankan namun hasilnya tidak juga didapat, kita perlu merenung pada dimensi keagamaan. Mengingatkan diri kita bahwa di balik usaha keras kita, izin dan pertolongan Allah adalah kunci utama.
Kisah Imam Syafi’i dan Sulaiman Ar-rabi’, memberikan kita pelajaran, bahwa menjadi guru tidak hanya tentang memberikan pengetahuan, tetapi juga tentang membimbing dan menjadi teladan dalam perjalanan spritual siswa-siswa kita. Melalui kesadaran akan keagamaan, kita dapat menguatkan ikatan antara pembelajaran dan nilai-nilai spiritual, menciptakan ruang di mana ilmu dan keberkahan beriringan.
Setelah ini menjadi pengingat bagi kita sebagai pengajaran bahwa sebelum dan sesudah memberikan pelajaran kepada murid-murid, mari mengajak dan mengingatkan kepada peserta didik bahwa segala usaha yang kita lakukan hanya akan memberikan hasil yang sebenarnya jika diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah pengingat yang sederhana namun sangat mendalam, bahwa kita sebagai guru adalah alat yang Allah SWT pilih untuk menyampaikan ilmu-Nya.