Oleh:Maulinda Sari
Kenaikan harga beras lokal yang cukup tinggi, membuat masyarakat memilih mengonsumsi beras jawa. Menurut pantauan data harian komoditas bahan pokok dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga beras kualitas super II di Kalimantan Selatan mulai bergerak naik 5,81% dalam sepekan.
Hal ini tentu meresahkan ibu – ibu belum lagi harga bawang dan telur yang juga ikut naik, ditambah kebutuhan lainnya yang juga memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Mengapa harga pangan terus naik?
Menurut analisa para ahli, ada beberapa faktor yang berperan, sehingga membuat harga pangan terutama beras di indonesia mengalami kenaikan. Salah satunya adalah keputusan beberapa negara untuk berhenti mengekspor beras untuk amankan stok pangan mereka. Selain itu, ada fenomena cuaca El Nino yang mempengaruhi hasil panen secara luas di seluruh dunia, khususnya Indonesia.
Pemerintah Indonesia pun berupaya mengatasi meningkatnya harga beras dengan meluncurkan program bantuan sosial (Bansos), menyediakan beras sebanyak 10 kilogram kepada 21.3 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
(Liputan6.com 5/10/2023)
Sedangkan pemerintah Kalsel sendiri mengupayakan pasar murah dengan skema subsidi untuk menekan angka inflasi di beberapa daerah baik di Banjarmasin maupun di banjar baru. Berupa beras, gula, minyak goreng dan telor disubsidi sebesar lima ribu per kilogram atau per liternya.
Namun yang jika kita cermati lebih dalam selain perubahan iklim ada hal yang sangat mendasar dari persoalan pangan ini. Semua ini adalah dampak perampasan ruang dan konflik agraria.
Dosen Pertanian di Universitas Lambung Mangkurat, Muhammad Fauzi, Selasa (7/11/2023) mengatakan jika 6000 Ha lahan pertanian hilang, maka potensi kehilangan padi mencapai 25.200 ton bahkan lebih karena rata – rata sawah di KalSel bisa menghasilkan 4,2 – 4,6 ton per Ha(Banjarmasinpost.co.id )
Rakyat tumbang oligarki melenggang
Ya lagi – lagi rakyatlah yang menjadi korban. Lahan yang beralih fungsi , membuat harga pangan semakin sulit dijangkau rakyat. Sehingga para ibu menjerit, anak – anak terdampak mengalami gizi buruk merupakan rentetan masalah yang akan terus ada di negeri ini. Akibat sistem hidup kapitalisme yang diterapkan, melahirkan oligarki di negeri tercinta kita ini.
Sudah menjadi rahasia umum, sebagian masyarakat menyadari bahwa negeri ini sedang dikuasai segelintir elite borjuis bernama oligarki. Dalam kamus oligarki, tidak ada nama rakyat dalam kepentingan mereka. Dalam hal ini, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Berlindung di balik proyek-proyek negara, oligarki kekuasaan menggarong hak dan tanah rakyat. Mereka bekerja sama dengan investor mendanai proyek-proyek strategis. Siapakah investor yang dimaksud? Tidak lain adalah para pemilik modal (kapitalis) dan korporasi.
Solusi Islam
Islam mengharuskan pentingnya keterikatan terhadap syariat, karena akan berpengaruh terhadap kebijakan yang dibuat. Termasuk pengurusan tanah/lahan, Islam mengatur bahwa tanah dalam konteks kepemilikan dapat menjadi tiga bagian yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan Negara.
Menurut hukum Islam, tanah dapat dimiliki dengan enam cara, yakni melalui (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan (6) iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).
Islam menetapkan setiap individu rakyat bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni tanah tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya.
Rasulullah úý bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Menghidupkan tanah mati yang dimaksud ialah memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan seorang pun, yakni dengan cara menanaminya dengan pohon, bercocok tanam, atau membangun bangunan di atasnya.
Islam menetapkan hak kepemilikan tanah akan hilang jika tanah tersebut dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang mampu mengelolanya. Hal ini sebagaimana Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah berkata, “Orang yang memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja tanahnya), tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga tahun.”
Tanah-tanah milik umum meliputi hutan, padang rumput, sungai, lautan, tanah-tanah tambang yang sangat besar, jalan-jalan umum dan lain sebagainya. Seseorang tidak boleh melarang orang lain mengakses dan memanfaatkan tanah milik umum secara alami, negara membiarkan hal itu berlangsung secara alami dan wajar biasa untuk kemaslahatan umat.
Namun, jika pemanfaatan tanah-tanah milik umum
oleh seseorang atau sekelompok orang menimbulkan persoalan dan kesulitan bagi yang lain, negara wajib melakukan pengaturan hingga setiap orang memiliki akses dan hak yang sama pada tanah-tanah milik umum.
Namun, jika tidak termasuk kepemilikan umum, misalnya milik individu, negara tidak boleh mengambil alih, termasuk tidak boleh secara mutlak merampas dari pemiliknya, kecuali pemiliknya rela menjualnya kepada negara sebagaimana ia rela menjualnya kepada orang lain. Dengan ini, negara dapat membelinya sebagaimana individu-individu lain juga bisa membelinya.
Atas dasar ini, negara tidak boleh memiliki harta kepemilikan individu demi kemaslahatan umum, selama kepemilikan individu tersebut tetap demikian keadaannya, meski negara membelinya dengan membayar harganya secara baik, pantas, dan tidak merugikan pemilik sebelumnya. Ini di sebabkan kepemilikan individu dihormati dan dilindungi oleh syariat, tidak boleh dilanggar oleh siapa pun, bahkan oleh negara sekalipun.
Karena Islam menegaskan bahwa setiap pelanggaran atas kepemilikan individu adalah
tindakan zalim. Islam menetapkan negara adalah pengurus rakyat, sehingga proyek apapun harus berpihak pada kepentingan rakyat dan untuk kemaslahatan rakyat. Penggunaan tanah rakyat pun akan ada ganti untung yang sepadan.
Dengan demikian, hanya Islam jawaban untuk solusi atas semua problematika , segala konflik agraria. Dan hanya bisa berlaku dalam negara yang menerapkan Islam, bukan kapitalisme. Wallahualam