Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I ((Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Pinjaman online belakangan kian ramai jadi pembahasan. Terlebih setelah beberapa kasus bunuh diri mencuat dengan latar belakang pinjaman online. Tidak hanya masyarakat umum, realitasnya, pinjaman online juga banyak digunakan anak muda. Data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengungkap, 60% pengguna pinjol adalah anak muda berusia 19-24 tahun.
Tercatat sudah ada 12 warga bunuh diri akibat tercekik utang pinjol. Maraknya penyedia jasa pinjol tidak lepas dari kondisi masyarakat yang membutuhkan pinjaman untuk kebutuhan sehari-hari. Ada yang karena tekanan ekonomi. Ada pula yang memang untuk membiayai gaya hidup. Keadaan ini ditangkap oleh para pengusaha berotak kapitalis sebagai peluang investasi pinjol.
Memanfaatkan platform digital yang mudah di akses, iklan pinjaman online berseliweran di layar ponsel. Cukup dengan menggerakkan jari di aplikasi, pinjaman cair secara cepat tanpa banyak syarat. Anak muda yang banyak menghabiskan waktu di ruang digital ternyata mudah tergiur berbagai iklan komersial. Asyik berselancar di media sosial lalu tidak sedikit berujung mengeklik “keranjang kuning”. Berdasarkan pembacaan perilaku konsumen di media sosial, berbagai pinjaman online hadir mengukuhkan hasrat belanja. Pada akhirnya, lilitan pinjaman online menjadi bumerang. Pada hakikatnya, teknologi hanyalah sarana. Oleh karena itu, mengoreksi perilaku konsumtif adalah perkara mendasar. Ini karena sifat konsumtif seiring sejalan dengan munculnya berbagai tawaran pinjaman online.
Pinjol juga menguntungkan para investor. Pada 2020, Pemerintah mengumumkan data putaran uang dalam bisnis pinjol legal dan ilegal mencapai Rp260 triliun. Namun, maraknya praktik pinjol malah membuat rakyat makin sengsara. Pemerintah menilai dampak buruk pinjol adalah akibat maraknya pinjol ilegal. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk menutup praktik pinjol ilegal.
Warga dianjurkan untuk berhati-hati menggunakan jasa pinjol dan hanya memanfaatkan pinjol yang legal saja. Faktanya, masalah sebenarnya adalah praktik ribawi pada pinjol, baik yang ilegal maupun yang legal. Praktik pinjol yang berjalan selama ini mengandung unsur riba nasî’ah. Dalam skema pinjaman online, pihak OJK menetapkan bahwa penyedia jasa pinjol boleh memungut bunga pinjaman sampai batas tertentu.
Gaya hidup kapitalistik telah mengantarkan manusia untuk hidup konsumtif, entah dalam bentuk food, fashion, maupun entertainment. Kapitalisme dengan visi pertumbuhan ekonominya, mendorong manusia untuk selalu berbelanja. Konsep memaksimumkan produksi, berimplikasi pada keharusan untuk meningkatkan konsumsi agar barang laku dan untung. Di sinilah konsep marketing didesain sekreatif mungkin untuk memengaruhi orang-orang agar membeli, mulai dari iklan, endorsement, hingga konsultan.
Alhasil, masyarakat diaruskan untuk selalu belanja, menyebabkan masyarakat berperilaku konsumtif mengikuti nafsu belanja. Konsumerisme ini telah membius miliaran orang yang hidup di dunia, baik yang kaya maupun menengah ke bawah. Liberalisasi perdagangan (pasar bebas) adalah khitah (strategi) kapitalisme untuk memfasilitasi gaya hidup ini. Barang branded menjadi pilihan orang kaya, barang murah juga tersedia sebagai pilihan kalangan menengah ke bawah, seperti produk-produk Cina.
Gaya hidup konsumtif telah membuat manusia berlomba-lomba untuk mengikuti tren, akhirnya berimplikasi pada alokasi pendapatan yang dimiliki. Bagi kalangan ekonomi menengah ke atas, nafsu belanja mereka bisa difasilitasi dengan harta (uang) yang mereka miliki. Namun, bagi kalangan menengah ke bawah, di sinilah pinjol dan paylater menjadi pilihan. Akses mudah dan tanpa jaminan sering kali menggiurkan generasi muda. Tidak heran jika pinjol makin menjamur, sebagaimana OJK ungkapkan bahwa mayoritas pengguna pinjol dan paylater adalah generasi muda.
Bukan hanya gaya konsumtif, kapitalisme juga menyebabkan merebaknya perjudian yang makin difasilitasi oleh digitalisasi dengan judol, bahkan menipu orang-orang dengan istilah “trading”. Banyak anak muda terjebak judol ini. Mereka yang terjerat judol pada akhirnya akan lari meminjam uang ke pinjol. Sungguh, jebakan pinjol akan membuat masa depan generasi muda makin suram. Apalagi utang ini hanya untuk memenuhi gaya hidup ala kapitalisme.
Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan pinjol kian meningkat dan meresahkan. Pertama adalah faktor tidak terpenuhinya kebutuhan hidup. Deputi Komisioner Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Perlindungan Konsumen OJK Sarjito mengatakan sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan layanan pinjol legal untuk kebutuhan mendesak, seperti biaya berobat saat sakit ataupun keperluan lainnya. (Detik, 27-6-2023).
Tidak adanya jaminan kesehatan pada warga menjadikan warga miskin kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan sehingga harus meminjam sejumlah uang. Nahasnya, sering kali berakhir pada kredit macet lantaran pemasukan yang pas-pasan. Bukan hanya kebutuhan kesehatan yang tidak terpenuhi, tetapi juga pendidikan, tempat tinggal, bahkan sandang pangan. Negara seharusnya hadir menyelesaikan urusan rakyatnya. Namun, bukan rahasia lagi jika negara demokrasi kapitalistik abai atas nasib warganya.
Para pejabatnya malah hidup bermewah-mewahan dan kebijakannya pro pada pengusaha. Alhasil, rakyat yang seharusnya diselesaikan kebutuhan hidupnya, harus berjuang sendiri di tengah ketidakadilan hukum dan ekonomi. Faktor kedua adalah gaya hidup. Peminjam pinjol bukan hanya untuk kebutuhan mendesak, melainkan juga untuk gaya hidup, seperti fenomena pembelian tiket konser Coldplay atau Black Pink dari pinjol yang menyibak hedonisme di kalangan anak muda beberapa waktu lalu.
Manusia sibuk mengejar kebahagiaan jasadinya, mengejar karier, lalu memiliki sejumlah fasilitas hidup dan melakukan apa pun semaunya. Ini menjadi dambaan setiap orang. Di sisi lain, mereka sangat jauh dari agama sehingga tidak memahami tujuan dari penciptaan manusia. Tujuan hidup sebagai hamba Allah Taala adalah beribadah, juga sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama, tidak ada dalam kamus kehidupan mereka. Faktor ketiga adalah sistem kehidupan kapitalistik saat ini seolah-olah menjadikan utang sebagai “solusi dewa” dalam menyelesaikan persoalan kehidupan.
Akhirnya, utang menjadi hal yang pertama kali tebersit di pikiran masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, baik mendesak ataupun tuntunan gaya hidupnya. Stereotipe buruk bagi para pengutang kini makin pudar. Hari ini, justru manusia modern adalah ia yang tidak takut berutang. Dengan berutang, ia dianggap memiliki plan untuk bisa melunasinya. Ia tidak akan malas bekerja sebab memiliki utang menuntutnya untuk bekerja lebih giat. Begitu pun dalam mengembangkan ekonomi, salah satu andalannya adalah dengan berutang.
Menurut teori ekonomi kapitalisme, akumulasi modal adalah faktor terpenting dari pertumbuhan ekonomi, sedangkan pendanaan yang mudah dan cepat pada era digitalisasi ini ya melalui pinjol. Inilah yang pada akhirnya menjadikan pelaku UMKM terjerat pinjol sehingga tidak jarang berakhir dengan kebangkrutan dan utang yang kian menggunung.
Saat ini riba adalah bagian dari sistem ekonomi kapitalisme. Para kapitalis, seperti para pemilik bank, menjadikan pinjaman sebagai investasi untuk memperkaya diri dengan mengeksploitasi ekonomi orang lain dengan pinjaman berbunga yang mencekik. Meski sudah banyak menelan korban, karena tidak ada pilihan lain, jumlah orang yang terjerat pinjol semakin bertambah setiap tahunnya.
Islam mengharamkan riba dengan cara apa pun. Dalam hal ini, pinjol termasuk aktivitas pinjam-meminjam online yang disertai bunga, artinya merupakan aktivitas ribawi yang telah jelas keharamannya. Walhasil, negara akan melarang praktik tersebut. Tidak seperti saat ini yang justru malah mendukung adanya pinjol. Negara akan memberikan sanksi dalam bentuk takzir (hukum yang disyariatkan atas tindakan maksiat atau kejahatan lainnya yang tidak ada ketentuan hududnya atau kifaratnya) kepada pelaku riba, baik itu peminjam, yang meminjamkan, penulis transaksi, maupun saksi.
Rasulullah saw. melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Beliau saw. berkata, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR Muslim, no. 1598).
Islam memandang pentingnya memahami hal-hal yang menjadi kebutuhan, begitu pula yang menjadi keinginan. Di sisi lain, Islam mengajarkan manusia untuk menjauhi sifat boros dan foya-foya. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra: 27).
Meski Islam tidak melarang manusia untuk kaya, tetapi kekayaan tersebut tidak boleh menjadikan seorang mukmin berfoya-foya. Membeli sesuatu, tetapi bingung saat akan menggunakannya adalah ciri manusia konsumtif. Islam jelas memerintahkan kaum muslim untuk menjauhi hal ini. Dengan sendirinya, konsumerisme sulit berkembang dalam masyarakat Islam. Dalam mengelola marketplace, sistem Islam akan mengontrol pasar digital selayaknya mengelola pasar pada umumnya.
Solusi atas muamalah ribawi hari ini tidak hanya sebatas individu. Ini karena muamalah ribawi telah menjadi persoalan sistemik yang menjerat banyak pihak di negeri ini. Oleh karena itu Islam mewajibkan negara untuk melindungi rakyat dari praktik muamalah ribawi. Munculnya aplikasi pinjaman yang menjerat masyarakat adalah wujud lepas tangannya pemerintah dalam mengontrol muamalah rakyatnya.
Selain melakukan tindakan preventif agar masyarakat menghindari konsumerisme, Islam juga akan menghilangkan praktik utang piutang dengan skema riba. Pinjaman berbasis riba terbukti berkontribusi dalam menambah beban mental masyarakat. Tidak sedikit kasus utang piutang berujung depresi hingga bunuh diri. Anehnya, pemerintah terkesan diam, padahal kasus ini bukan satu dua kali terjadi.
Dalam Islam, Khilafah akan menghapuskan praktik ribawi karena haram, termasuk dosa besar, dan menghancurkan ekonomi. Selanjutnya Khilafah akan menata mekanisme proses utang-piutang yang sedang berjalan agar terbebas dari riba, dengan tetap menjaga hak-hak harta warga negara. Selain menindak tegas pelaku ribawi, negara juga berkewajiban memenuhi seluruh kebutuhan hidup warganya.
Negara akan sangat perhatian kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Negara akan menyediakan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang bisa diakses seluruh warga. Begitu pula kebutuhan primer individu rakyatnya, negara akan mempermudah rakyatnya untuk memiliki rumah. Untuk itu, Khalifah akan menetapkan bahwa yang wajib dibayar hanyalah utang pokoknya.
Adapun riba/bunga yang telah diambil oleh para pihak pemberi piutang wajib dikembalikan kepada pihak yang berutang. Khalifah juga akan menjatuhkan sanksi terhadap warga yang masih mempraktikkan muamalah ribawi. Sanksi yang dijatuhkan berupa ta’zîr yang diserahkan pada keputusan hakim, bisa berupa penjara hingga cambuk. Sanksi dijatuhkan kepada semua yang terlibat riba; pemberi riba, pemakan riba, saksi riba dan para pencatatnya.
Jerat pinjol yang kian meresahkan ini sejatinya lahir dari sistem kehidupan sekuler kapitalisme. Sistem sekulernya menyebabkan orang-orang hidup serba bebas dan tidak mau terikat syariat-Nya. Sistem ekonominya bertumpu pada utang sebagai penggerak pertumbuhannya. Tidak ada solusi lain untuk memadamkan akar masalah dari karut marutnya sistem hidup saat ini, selain berjuang mengembalikan Islam. Dengan standar hidup Islam, akan terwujud sistem sosial masyarakat yang berkah dan sejahtera.