
Perpisahan sekolah merupakan masa yang dinanti-nanti, tak jarang para siswa sangat menunggu momentum ini untuk dirayakan dengan membuat pesta perpisahan. Acara perpisahan sendiri tidak termasuk dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga sekolah tidak diperbolehkan untuk memfasilitasi. Kegiatan ini biasanya akan difasilitasi oleh pihak Komite Sekolah selaku pihak eksternal dengan mengumpulkan sejumlah dana yang berasal dari wali murid atau sektor lain seperti sponshorship. Beberapa waktu lalu Perwakilan Ombudsman Provinsi Kalimantan Selatan menerima laporan pengaduan masyarakat terkait acara perpisahan sekolah. Adapun inti laporan pengaduan tersebut, Pelapor merasa keberatan dengan adanya sejumlah nominal yang harus dibayar untuk kegiatan perpisahan sekolah. Tidak hanya itu, Penulis juga pernah menerima konsultasi pengaduan pengutan sejumlah uang perpisahan sekolah di salah satu Sekolah Menengah Atas di Banjarmasin. Sejumlah siswa tersebut mendatangi Kantor Perwakilan Ombudsman Perwakilan Kalimantan Selatan untuk menginformasikan bahwa Pihak Sekolah telah melakukan pungutan untuk acara perpisahan sekolah. Pungutan tersebut dirasa sangat memberatkan para siswa karena nominal yang cukup besar serta adanya konsukuensi jika tidak membayar uang perpisahan sekolah maka ijazah akan ditahan.
Berdasarkan pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, menyatakan bahwa Peserta didik atau orang tua/walinya dapat memberikan sumbangan pendidikan yang sama sekali tidak mengikat kepada satuan pendidikan secara sukarela di luar yang telah diatur dalam Pasal 52. Merujuk pada kutipan pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa sumbangan pendidikan diperbolehkan, akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa sumbangan tersebut tidak bersifat mengikat dan diberikan secara sukarela. Berbeda dengan pungutan, dalam pasal ayat (4) Peraturan Menteri Pendidikan No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, berbunyi bahwa Pungutan Pendidikan, yang selanjutnya disebut dengan Pungutan adalah penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orangtua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.
Merujuk pada peraturan diatas, terdapat perbedaan mendasar tentang definisi sumbangan dan pungutan. Sumbangan bersifat sukarela dan tidak mengikat, sedangkan pungutan merupakan penarikan uang orangtua kepada peserta didik yang bersifat mengikat, wajib, serta terbatas pada jumlah dan jangka waktu. Sumbangan pendidikan diperbolehkan sepanjang sesuai dengan regulasi, sedangkan pungutan mutlak tidak diperbolehkan dalam dunia pendidikan. Seringkali, Pihak Sekolah ataupun Orangtua Wali Murid siswa salah kaprah dalam memahami keduanya, beberapa oknum bahkan cenderung “mengakali” agar pungutan terdengar seperti sumbangan, sedangkan secara jelas pihak sekolah mewajibkan, membatasi sejumlah nominal dan jangka waktu bahkan terdapat beberapa laporan bahwa penarikan uang diiringi dengan konsekuensi tertentu seperti penahanan ijazah.
Hal tersebut tentunya tidak diperbolehkan karena secara tegas pemerintah melalui Permendikbud nomor 44 tahun 2012 melarang satuan pendidikan untuk memungut biaya. Pungutan pendidikan nyatanya masih ada disekitar kita, hal tersebut dapat dilihat dari substansi pengaduan terkait pungli satuan pendidikan yang masuk di Ombudsman Perwakilan Kalimantan Selatan. Beberapa hal yang menyebabkan pungutan ini terjadi diantaranya ketidaktahuan sekolah untuk mendefinisikan sumbangan/pungutan, disisi lain beberapa orangtua juga tidak mengetahuinya sehingga perlu disosialisasikan oleh Dinas Pendidikan terkait definisi sumbangan/pungutan dan sejauh mana sumbangan itu dapat diberlakukan. Selain itu, guna meminimalisir bahkan menghilangkan pungutan satuan pendidikan perlu adanya komitmen yang kuat dari Dinas Pendidikan untuk menindaklanjuti laporan terkait pungutan satuan pendidikan.