
Profesi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), hingga saat ini masih menjadi primadona sebagian besar masyarakat Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari antusiasme masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong melamar ketika pembukaan Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (SCASN) setiap tahunya. Menjadi ASN pun tentunya memiliki hak-hak tersendiri yang membedakanya dengan pekerja lain disektor swasta, mulai dari pekerjaan yang stabil, gaji, tunjangan, fasilitas, jaminan pensiun, jaminan hari tua, cuti hingga jaminan dan perlindungan. Namun, disisi lain merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, seorang ASN juga memiliki kewajiban yang harus dipatuhi yakni keharusan mematuhi nilai dasar, kode etik dan perilaku guna menjaga martabat dan kehormatan ASN.
Permasalahan rumah tangga termasuk perselingkuhan merupakan salah satu bentuk pelanggaran kode etik yang kerap kali dilakukan oleh ASN. Data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2020-2023 setidaknya terdapat 172 atau 14,9 persen dari total pengaduan yang diterima oleh KASN, melaporkan terkait dugaan perselingkuhan yang dilakukan oleh oknum ASN baik di instansi pusat maupun daerah, tren ini meningkat sejak tahun 2018. Dalam tataran Provinsi Kalimantan Selatan, berdasarkan data registrasi laporan masyarakat Ombudsman Perwakilan Kalimantan Selatan juga menunjukkan adanya tren yang cukup menarik, dimana laporan pengaduan yang berkaitan dengan kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh oknum ASN mengalami kenaikan. Beberapa laporan pengaduan, bahkan sampai pada tingkat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga penelantaran istri dan anak.
Fungsi Ombudsman berdasarkan pada Undang-Undang Ombudsman Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia adalah mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara. Ombudsman, tidak memiliki kewenangan dalam memeriksa, mengadili hingga menegakkan hukum disiplin bagi ASN yang melanggar kode etik. Namun, Ombudsman memiliki kewenangan untuk memeriksa instansi pemerintah apabila dilaporkan oleh masyarakat diduga telah melakukan maladministrasi. Laporan yang teregistrasi di Ombudman Perwakilan Kalimantan Selatan terkait dengan kasus perselingkungan yang dilakukan oleh oknum ASN, melaporkan terkait dugaan maladministrasi berupa tidak memberikan layanan atau penundaan berlarut yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian terhadap laporan perselingkuhan yang diduga dilakukan oleh oknum ASN.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menjelaskan bahwa kode etik dan kode perilaku harus dipatuhi oleh seluruh ASN guna menjaga martabat dan kehormatan ASN. Dalam pasal pasal 4 huruf g menyatakan bahwa seorang ASN harus memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur, lebih lanjut dalam pasal 5 huruf g menyatakan bahwa seorang ASN harus memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN. Perselingkuhan yang dilakukan oleh oknum ASN juga melanggar pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, yang berbunyi bahwa Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah. Adapun yang dimaksud dengan “hidup bersama” adalah melakukan hubungan suami istri diluar ikatan perkawinan yang sah. Lebih lanjut dalam regulasi ini juga mengatur hukuman disiplin bagi oknum PNS yang terbukti berselingkuh dapat dijatuhi hukuman disiplin mulai penurunan pangkat stingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun hingga pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Tentunya hukuman disiplin tersebut layak didapatkan karena perselingkuhan merupakan tindakan amoral yang tidak patut untuk dilakukan ASN serta secara langsung dapat merusak citra ASN dan instansi pemerintah dimata masyarakat.
Bagi sebagian masyarakat umum, perselingkuhan merupakan ranah privasi seseorang. Namun bagi ASN secara tegas kasus perselingkuhan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, sehingga negara melalui instansi terkait memiliki kewenangan dalam menegakkan peraturan tersebut. Disisi lain, kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh oknum ASN nyatanya telah mencederai kode etik dan perilaku ASN sebagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, karena perselingkuhan merupakan penyakit yang dapat menggerogoti integritas, moral, reputasi serta merupasak reputasi instansi, tidak hanya berdampak pada individu atau keluarga, juga berdampak pada pekerjaan sehari-hari serta merusak citra korps ASN.
Tingginya kasus perselingkuhan yang dilakukan oknum ASN harusnya menjadi catatan tersendiri bagi instansi yang berwenang dalam melakukan pembinaan terhadap ASN. Hal itulah yang sedang diperjuangkan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) selaku pembina ASN tingkat pusat dalam menyikapi permasalahan ini. Beberapa program yang dilakukan mulai dari pencegahan dengan membuat sosialisasi, kemudian dari segi penanganan kasus, KASN selalu menindaklajuti laporan yang ada berdasarkan dasar regulasi yang berlaku. Hal ini juga tentunya perlu untuk diadopsi oleh Biro Sumber Daya Manusia dan Kepegawaian Daerah, karena menurut Ketua KASN Agus Pramusinto, penanganan kasus perselingkuhan ASN di daerah cenderung lamban. Beberapa laporan yang masuk ke Ombudsman Perwakilan Kalimantan Selatan, menunjukkan adanya perilaku kurang responsif yang dilakukan oleh Badan Kepegawaian Daerah. Upaya pencegahan pun seharusnya dapat dilakukan oleh Instansi Pembina Kepegawaian Daerah, misalnya melakukan sosialisasi, membangun karakter ASN-BERAKHALAK sesuai dengan core value ASN, serta mitigasi lain dalam perceraian, seperti menghadirkan Psikolog dalam setiap Instansi Kepegawaian Daerah.