Kamis, Juli 31, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Hantu Buzzer Menjelang Pemilu 2024

by matabanua
13 Agustus 2023
in Opini
0
D:\2023\Agustus 2023\14 Agustus 2023\8\8\moh khoirul umam.jpg
Moh Khoirul Umam (Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya)

Ancaman buzzer di dalam politik selalu menghantui pelaksanaan Pemilu. Dalam pereode pemilihan, buzzer seringkali muncul melakukan propaganda dan menyebarkan berita yang belum tentu kebenarannya. Keberadaannya sengaja dipasang untuk mendongkrak elektabilitas kandidat atau partai politik. Inilah yang menyebabkan pelaksanaan pesta demokrasi seringkali gagal melahirka pemilu yang substantif. Di mana pemilu bukan lagi sebagai forum untuk mendiskusikan masalah publik, ekspresi gagasan, tempat berunding, berempati dan pemenuhan hak-hak pemilih.

Fenomena buzzer yang menguasai ruang politik media sosial seperti You Tube, Twitter, dan Facebook sebenarnya muncul sudah lama. Di Indonesia buzzer muncul sejak Pilgub di DKI Jakarta 2012, Pilpres 2014, Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 (Tirto.id: 2021). Bisnis buzzer telah memanfaatkan ruang digital yang bersentuhan langsung dengan masyarakat pemilih, terutama pemilih melenial. Kemudian, secara bersamaan ditopang oleh populasi pengguna media sosial masyatakat Indonesia yang mencapai 60,4% atau 167 juta orang (Survey We Are Sosial: 2022). Pada tahun 2014 bisnis buzzer digunakan partai politik atau orang untuk mempromosikan kandidat yang mencalonkan diri agar dikenal masyarakat (Kompatv.2014). Sementara di Pilpres 2019 buzzer semakin terlihat setelah mewarnai isu politik identitas yang melahirkan rivalitas antara cebong dan kampret.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\31 Juli 2025\8\saudah.jpg

Stop Normalisasi Merokok di Depan Orang yang Tidak Merokok

30 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kesetaraan Dosen PPPK: Bukan Bom Waktu, Tapi Keniscayaan

30 Juli 2025
Load More

Para buzzer in, di hampir setiap momentum politik akan terus menemukan marketnya (marketable), terutama sebagai alat kampanye kritik, menyebarkan hoax (black campcign), dan memprovokasi (negatif campaign), hingga menciptakan pertikaian antar pendukung dalam memengaruhi emosi publik. Di dunia digital prilaku mereka ini disebut political cyber troops ialah suatu operasi pasukan dunia maya untuk memanipulasi opini publik dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari algoritma politik media.

Fenomean pasukan media maya menggunakan buzzer dalam politik pernah ditulis dalam laporan penelitian The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation University of Oxford. Penelitian ini mengungkap bahwa 45 negara dari 70 negara di dunia ditemukan fakta, bahwa partai politik atau politisi telah menggunakan alat dan teknik propaganda komputasional sebagai cara kampanye untuk memenangkan pemilihan. Mereka mencontohkan Miltt Romney di Amerika Serikat (Carrol 2012), Geert Wilders di Belanda ( Blood 2017) dan Tony Abbott di Australia (Rofle 2013).

Di Amerika Serikat fenomena tersebut mengemuka di Pimilu 2020 di mana Rusia dituding menjadi pelaku pemroduksi 80.000 postingan bernuansa kebencian di lini masa konten Facebook (BBC Indonesia; 2017). Laporan Amerika Serikat Washington Post menyebut 80.000 unggahan berisi pesan-pesan memecah belah rakyat AS dibuat dari tahun 2015 hingga 2017 yang disebar melalui akun-akun Facebook, Twitter, dan Youtube.

Buzzer dalam beroperasi melakukan beberapa strategi saat berkomunikasi dengan pengguna media online diantaranya, ialah mendiskreditkan, mendorong ketidakpercayaan, menghalangi dan menggangu, menyebarkan disinformasi, menyerang oposisi dengan melakukan kampanye kotor, mengalihkan percakapan dari masalah penting, mendorong perpecahan dan polarisasi hingga dorongan untuk melakukan pelecehan pribadi (bullying).

Penulis melihat, jika pelaksanaan Pemilu 2024 nanti diwarnai kampanye buzzer atau political cyber troops, maka Pemilu cenderung menjadi tidak sehat, antagonestik dan menimbulkan pertikaian atau pecah belah sesama pendukung. Demikian konsekuensi jika ruang demokrasi di media sosial dijuru_kampanyei buzzer.

Pertunjukan demokrasi seperti (kampanye visi, misi dan program) akan selalu digiring oleh buzzer ke arah yang cenderung peyoratif, menyesatkan yang pada gilirannya memiliki daya rusak bagi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia.

Harus di akui, kampanye menggunakan cyber troops menjadi trend di setiap pelaksanaan Pemilu di Indonesia sebagaimana disebutkan. Pelaku cyber troops ini tidak lain adalah agen-agen kampanye politik bayaran. Tujuan mereka ialah untuk memproduksi pesan-pesan ajakan memilih, prrovokasi dan hujatan. Padahal, kampanye politik digital menggunakan cyber troops yang cenderung negatif ini menimbulkan pengkaburan nilai-nilai demokrasi (blury velues of democracy) yaitu kaburnya misi substantif kampanye program dan gagasan. Pada gilirannya fenomena ini akan menjadi pukulan moral bagi kesakralan demokrasi di Pemilu Indonesia. Di tangan para buzzer pertarungan gagasan menjadi tidak berarti karena yang berarti bagi mereka adalah mencari keuntungan dari algoritma media agar menjadi trending dengan kata kunci- kata kunci yang telah mereka buat.

Mengapa ada buzzer?

Sebenarnya, bila dicari akar penyebab masalah tersebut ialah ada dua hal:

Pertama, model kampanye media sosial yang menggunakan agen-agen politik bayaran seperti buzzer didorong digitalisasi marketing politik. Tujuannya ialah untuk mempengaruhi opini pemilih. Mereka para buzzer ini sebenarnya bukan pemilih tetapi seperangkat akun-akun palsu dengan nama anonim yang dibuat secara sengaja untuk menciptakan keriuahan politik dan menggiring opini di media sosial. Buzzer umumnya dibekali pengetahuan tentang teknologi media, teknologi informasi dan kemampuan menulis dan menyebar narasi secara rasional yang olehnya virus virtual politik diciptakan. Prilaku cyber troops menggunakan buzzer bisa diditeksi dengan melihat kecenderungan pilihan-pilihan bahasa yang diulang-ulang di media yang dilakukan ribuan akun-akun palsu.

Kedua, sekenario kampanye media sosial yang masih mengedepankan teknik kampanye propaganda media. Suatu teknik kampanye yang boleh disebut paling tua dikenal dalam sejarah komunikasi politik (Harold Lasswell;1927, Severin Tankard; 2007). Meskipun demikian, model propaganda masih banyak digunakan sebagai strategi kampanye di Pemilu karena dianggap masih relevan untuk menghipnotis pemilih terutama pemilih dengan kadar pengetahuan politik yang masih terbilang rendah . Propaganda biasanya bertujuan untuk: 1) menumbuhkan kebencian kepada musuh, 2) mempererat pertalian dukungan afiliasi, dan, 3) untuk menghancurkan semangat lawan politik. Model skenario propaganda ini pernah dilakukan Donald Trump di Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2020. Di mana ada 80.000 unggahan berisi pesan-pesan memecah belah rakyat AS (BBCIndonesia; 2017: Amerika Serikat Washington Post). Tentu, kampanye menggunakan teknik propaganda komputasional atau propaganda cyber troops di media maya tersebut tidak boleh terjadi di Pemilu 2024.

Sementara berdasarkan pengamatan penulis, situasi tersebut tercipta karena tiga faktor utama: Pertama, ketidak mampuan kandidat untuk menciptakan isu kebijakan yang populis sehingga mencari cara dengan menggunakan buzzer. Kedua, kampanye menggunakan cyber troops dinilai sebagaia cara yang mudah memengaruhi masyarakat media sosial agar memiliki kecenderungan politik yang sama. Ketiga, kampanye cyber troops digunakan untuk mendapatkan keuntungan popularitas dari algoritme politik media.

Obat Literasi Politik

Obat penangkal untuk menjaga eksistensi Pemilu substantif dari blury velues of democracy yang dilakukan buzzer adalah literasi politik. literasi politik merupakan keniscayaan bagi masyarakat Inodnesia. Literasi politik bisa dilakukan oleh penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu melalui political education kepada anak-anak muda. Partai politik melalui pendidikan kader politik. Dan, terakhir literasi marketing politik melalui kampany visi misi dan program, membangun literasi politik pemilih di media maya, memulai kampanye bersih sara, mengedepankan isu bukan sentimen dan memperbanyak konten-konten kampanye yang positif. Semakin tinggi literasi politik masyarakat semakin baik kualitas demokrasi suatu bangsa. Sebaliknya, bila suatu negara literasi politiknya rendah akan menimbulkan masalah-masalah baru pada setiap helatan politik.

Masalah-masalah baru yang timbul akibat rendahnya literasi politik pemilih adalah prilaku bullying dan caci maki antar pendukung kandidat. Para pendukung kandidat di Indonesia rasanya masih belum memasuki babak pencerahan. Di mana egoisme dan fanatisme menghantui mereka sehingga terjebak pada tindakan sarkasme bahkan pencemaran. Sementara masalah lain juga terjadi terhadap media. Di mana media pemberitaan sulit dikenali objektivitasnya karena agen-agen kampanye bayaran secara bersamaan dapat mengendalikan media.

Terhadap masalah penggunaan cyber troops dalam kampanye yang cenderung bermakna negatif ini, sudah saatnya para kandidat mengurangi praktik kampanye tersebut dan mulai beralih kepada kampanye yang lebih programatik.

 

 

Tags: Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Ampel SurabayaHantu BuzzerMoh Khoirul UmamPemilu 2024
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA