
Kontroversi Al-Zaytun kembali mencuat diranah publik setelah sekian tahun belakangan tidak terdengar lagi rumornya. Bukan kali pertama kabar miring dialamatkan kepada Ma’had Al-Zaytun yang diduga memiliki ajaran menyimpang. Sejarah mencatat, isu-isu miring mulai dialamatkan kepada Al-Zaytun serta pimpinannya, dua tahun setelah peresmian berdirinya pada tahun 2001 silam.
Majalah Gatra, 15 Desember 2001 mengangkat laporan khusus dengan tema “Al-Zaytun, Misteri Panji Bertopeng”. Dalam laporanya, Gatra menyebut sosok Panji Gumilang (PG) adalah sosok misterius, identitas, dan jati diri yang sebenarnya disembunyikan dihadapan publik. Selain daripada itu, masih banyak lagi hasil penelitian dan pengkajian terkait Al-Zaytun misalnya, Al-Chaidar menulis buku “ Sepak Terjang KW 9 Abu Toto Syekh A.S. Panji Gumilang Menyelewengkan NKA-NII Pasca Kartosuwirjo” (2000), Umar Abduh menulis buku “Pesantren Al-Zaytun Sesat? Investigasi Mega Proyek dalam Gerakan NII” (2001), dan Amin Djamaludin menulis buku berjudul “Penyimpangan & Kesesatan Ma’had Al-Zaytun” (2001).
Selain itu, Balitbang dan Kemenag juga meneliti terkait Al-Zaytun dan menyimpulkan beberapa hal, pertama, komunitas Al-Zaytun dalam memahami Al-Qur’an dan Hadist bercorak rasional dan kontekstual. Kedua, interaksi sosial eksternal cenderung tertutup, baik dengan masyarakat sekitar maupun dengan pemerintah daerah setempat. Dari penelitian ini juga ditemukan adanya beberapa aktivis NII KW 9 yang menjadi pengajar di Al-Zaytun (Abdul Jamil, 2019: 139-140).
MUI juga menyimpulkan beberapa hal atas temuannya, yaitu (1) adanya hubungan antara Al-Zaytun dengan NII KW 9 yang bersifat historis, finansial, dan kepemimpinan. (2) Adanya konsep ajaran agama Islam yang diselewengkan, serta terjadinya eksploitasi dan pemaksaan, sehingga anggota tergiring untuk melakukan tindak kriminal. (3) Tidak ditemukannya penyimpangan ajaran Islam dalam lembaga pendidikannya, kecuali dalam masalah zakat fitrah dan qurban.
Relasi Al-Zaytun dan NII KW 9
Pada masa kepemimpinan Abdul Karim Hasan (AKH) posisi NII KW 9 dalam perkembangannya dinilai cukup strategis, menarik, dan cukup berhasil karena kegiatan-kegiatan dan program-program yang dijalankannya berjalan dengan baik. Namun pada tahun 1992, AKH meninggal dan kemudian digantikan kepemimpinan NII kepada Muhammad Rais (MR). Satu tahun kemudian, MR di tangkap dan di penjara. Pada momentum inilah PG alias Abu Toto yang merupakan anak didik AKH, melanjutkan perjuangan para pendahulunya.
PG mulai bergabung dengan NII sejak tahun 1978. Kedekatannya dengan AKH waktu itu, membuatnya dipercaya sebagai staf luar negeri. Pada tahun 1987, PG kembali ke tanah air dan bergabung dengan NII (Abduh, 2001: 26). Kemudian pada tahun 1955, NII berhasil menyempurnakan konsep “Binayatul Khomsah” (konsep yang diciptakan AKH yaitu: (1) binayatul aqidah (pembangunan aqidah), (2) binayatul al-dzharfiyah (pembangunan territorial), (3) binayatul masuliyah (pembangunan keaparatan), (4) binayatul al-maliyah (pembangunan keuangan), dan (5) binayatul silah wal muwasholah (pembangunan komunikasi) (Abdul Jamil, 2019: 128).
Konsep “binayatul Khomsah” ini dijabarkan dalam enam program yaitu, hujumah tabsyiriyah (perekrutan), tarbiyah (pendidikan), iqtishodiyah (ekonomi), shihah (kesehatan), ad-difa’ (keamanan), dan maliyah (keuangan). Pada masa PG ini pula program NII berhasil dijalankan dan menarik banyak massa, dan juga berhasil mengumpulkan dana umat dalam jumlah yang sangat besar, sehingga dapat mendirikan Pesantren Al-Zaytun di Kabupaten Indramayu dengan luas total tanah 1.400 ha. 200 ha tanah digunakan untuk kegiatan pembelajaran, dan sisanya untuk pengembangan ekonomi dibanyak sektor strategis seperti, penanaman kayu jati, peternakan sapi, tambak ikan, hortikultura, industri kecil dan berbagai jenis ternak dan komoditas perkebunan lainnya.
Pada masa kepemimpinan PG, ada banyak perubahan manajemen dan sistem dalam tubuh NII, sehingga diterima oleh masyarakat dan tidak dicurigai sebagai kelanjutan dari NII yang telah dibubarkan oleh Pemerintah. Program-program terutama penggalangan dana, terus digalakkan demi memajukam Al-Zaytun seperti, progam aliran dana yang disebut Sembilan Pos Keuangan, yaitu: Nafaqoh Daulah (Infaq dan Tazkiyatun Nafs), Harakah Qiradh, Harakah Idikhor, Harakah Ramadhan, Harakah Qurban, Shadaqah Khos, Shadaqah minal Shadaqah seperti Shadaqah Istidzan, Shadaqah Munahakat,, dan Shadaqah Hijrah (Kontraz, 2011:17).
Dramaturgi Al-Zaytun
Dalam menganalisis fenomena yang telah terjadi di tengah masyarakat, saya tertarik untuk melihat dari sudut pandang teori dramaturgi yang dikenalkan oleh Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul Presentational of self in everyday life. Dramaturgi goffman ini menyinggung soal bagaimana menampilkan diri di atas panggung drama (teater). Banyak ahli yang mengatakan bahwa teorinya tersebut berada diantara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi. Jika memakai kacamata ontologi, dunia ini sebenarnya juga merupakan sebuah panggung teater yang didalammya terdapat panggung-panggung drama kecil yang dimainkan oleh manusia atau sekelompok manusia. Hal ini dapat kita sadari tatkala menjadi audiens, untuk mereka yang sedang bermain, yang seolah-olah berada di atas panggung teater. Ada yang menjadi guru atau murid, ada yang menjadi dokter atau pasien dan masih banyak lagi, termasuk konflik dan insiden.
Demikian halnya saat kita melihat fenomena Al-Zaytun, dimana komunitas ini sedang memainkan panggung teater dihadapan publik. Di atas panggung (front stage), PG tampil sebagai aktor pimpinan Al-Zaytun. Sedangkan seperti jurnalis, pemerintah, MUI, dan masyarakat pendemo, adalah sebagai aktor lain yang memainkan perannya masing-masing. Hal ini juga sama tatkala menjumpai panggung drama dengan setting, alur cerita, atribut dan sketsa panggung yang sedemikian rupa.
Misalnya dalam acara TV, Kick Andy Double Chek “Gonjang Ganjing Al-Zaytun”, itu juga merupakan panggung drama dalam teori dramaturgi, dimana Andy F. Noya sebagai jurnalis dan PG sebagai pimpinan Al-Zaytun dalam konteks alur cerita klarifikasi kasus-kasus terkait Al-Zaytun. Namun tidak ada yang tahu bagaimana yang sebenarnya terjadi, kecuali aktor-aktor di balik panggung (back stage) dari pihak Al-Zaytun, dimana semua atribut dilepaskan dan sosok jati diri tampak.
Dari sudut audiens, PG lebih tampak sebagai aktor pebisnis dari pada seorang kiai atau syekh yang disegani, berkarisma, tawadu’ dan penuh kesopanan sebagaimana pengasuh pondok pada umumnya. Dan Al-Zaytun sendiri juga tampak seperti lembaga formal yang menutupi sejarah NII dan yang akan membawa citra dan kesan yang baik. Tentu kita tahu bahwa lembaga pendidikan, apalagi pesantren diyakini memiliki marwah luhur dan suci sebagai tempat menimba ilmu agama, sehingga layak disegani dan dihormati. Namun disisi yang tidak tampak (back stage), hasil penelitian dan kajian berkata lain, yakni masih sama dengan jati diri NII.
Kemudian jika dilihat dari sudut pandang kaum liberalis, PG seperti seorang liberal yang tampak dari perilaku dan ajaran keislaman yang disampaikannya. Misalnya, membolehkan perempuan sholat di saf depan berbaur dengan laki-laki, memaknai ayat Al-Qur’an dengan bebas sekehendak diri, meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Nabi dan sebagainya. Memang jika dilihat dari visi-misi Al-Zaytun, lembaga ini mengedepankan toleransi dan kemanusiaan, akan tetapi dalam perwujudannya terlampau melewati batas-batas syariat Islam sebagaimana arah dan tujuan lembaga tersebut. Ini adalah permasalahan yang sangat kompleks yang meliputi keislaman dan kebangsaan, sehingga tidak dapat dibedakan diantara keduanya.
Dari sini kita dapat belajar bahwa sesuatu yang dimulai dengan baik-baik, ikhlas karena Allah, pasti juga akan baik-baik saja, karena mendapat perlindungan dan penjagaan Allah di setiap waktunya. Kita bisa berkaca pada pondok-pondok pesantren tua seperti, Ponpes Tebuireng Jombang, Ponpes Sidogiri Pasuruan, Ponpes Langitan Tuban dan masih banyak lainnya, baik yang di Jawa maupun luar Jawa, itu semua tidak pernah terjadi konflik yang serius dengan masyarakat maupun pemerintahan. Maka dari itu penting kita sadari bahwa baik di depan panggung (front Stage) maupun di belakang panggung (back Stage), sikap dan perwujudan diri juga harus baik, sebab jati diri seseorang yang sesungguhnya adalah saat sedang sendirian dan hanya Tuhan yang melihatnya. (*)