
JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut banyak penyusup di kementerian/lembaga, yang saat ini melemahkan pemerintah.
“Di berbagai struktur lembaga pemerintahan sekarang, banyak penyusup-penyusup yang justru melemahkan, bukan menguatkan,” ujarnya di Sarinah, Jakarta Pusat, Minggu (11/6).
Meski tak menjelaskan rinci siapa saja para penyusup ini dan bagaimana modusnya melemahkan pemerintah, ia meminta kepada setiap pihak untuk terus waspada.
Mahfud pun meminta agar setiap proses seleksi atau rekrutmen pejabat-pejabat publik diperketat, dan memerintahkan jangan sampai ada pejabat publik yang berstatus titipan.
“Jangan kita terlena dan menutup mata dengan upaya pelemahan struktur dari dalam. Sekali lagi, jangan kita terlena dan menutup mata dengan upaya pelemahan struktur dari dalam,” tegasnya.
Karena itulah, lanjut dia, proses seleksi atau rekrutmen jabatan-jabatan publik harus diperketat, tidak boleh berdasarkan pesanan. “Terutama untuk lembaga-lembaga penegak hukum,” tambahnya.
Meski demikian, ia berpandangan Indonesia tidak perlu melakukan revolusi dan sebaiknya terus melanjutkan semangat reformasi yang sudah digemakan sejak 1998.
“Menurut saya kita tidak perlu berpikir revolusi. Reformasi itu jalan tengah antara evolusi dan revolusi, kita ambil jalan tengahnya. Itu pilihan kita di 1998-1999 dan selanjutnya. Ini yang kita jaga, kembali ke reformasi untuk menjadi negara maju,” katanya.
Selain itu, menko polhukam juga mengungkapkan korupsi di Indonesia makin menggila melampaui era awal Orde Baru.
Ia mengatakan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada awal Orde Baru masih rendah, yakni di angka 20. Namun setelah itu terus merangkak naik hingga tahun lalu menyentuh angka 34.
Mahfud pun menggandeng beberapa lembaga internasional untuk membedah soal tingkat korupsi di Indonesia, yang pada akhirnya ditemukan terjadi praktik-praktik yang melanggar hukum.
“Itu membuat kita kaget, korupsinya makin menjadi-jadi berarti. Kesimpulannya itu memang terjadi conflict of interest di dalam jabatan-jabatan politik. Di DPR terjadi transaksi-transaksi di balik meja, mahkamah agung (MA), pengadilan, bisa membeli perkara. Di pemerintah, di birokrasi sama,” ujarnya.
Menurutnya, temuan tersebut mungkin sulit dilihat oleh mata kepala orang Indonesia. Namun, hal tersebut terlihat jelas ketika dilakukan penelitian antara kemenko polhukam bersama lembaga-lembaga internasional terkait.
“Di DPR ada conflict of interest. Pekerjaan anggota DPR, tapi punya konsultan hukum. Nanti kalau ada masalah, ‘tolong dibantu ini, itu’. Di bawa ke pengadilan, pengadilannya korupsi lagi. Sampai hakimnya ditangkap, jaksa ditangkap,” pungkas Mahfud. web