Oleh : Nailah,ST (Pemerhati Sosial Politik)
Penembakan di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) jadi sorotan publik. Pelaku penembakan, Mustopa NR (60 tahun) disebut pernah mengumpulkan penduduk desa dalam rangka mendeklarasikan diri sebagai wakil nabi. Peristiwa itu dilakukan di sebuah desa di Lampung pada tahun 1997 silam, usai dirinya bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW.
Ia melakukan aksi penembakan di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/5) siang. Pelakunya berhasil dibekuk polisi. Namun, nahasnya, penembak itu pingsan dan ketika diperiksa dinyatakan meninggal.
Sudah Banyak Terjadi
Kasus seperti ini banyak di Indonesia. “Hasil penelitian Profesor Makin dari UIN Sunan Kalijaga yang menyatakan bahwa setidaknya sampai 2010-an ada 600-an orang yang mengaku nabi atau semisalnya. Apalagi, setelah orde baru berakhir Indonesia panen nabi palsu.
Menurut Profesor Maki bahwa hal semacam ini sering terjadi ketika situasi politik dan ekonomi tidak stabil. Banyak masalah yang tidak bisa diselesaikan.
Keruwetan kondisi semacam ini memunculkan orang-orang yang mencari kesempatan menaikkan popularitas, ingin mendapat dukungan banyak orang, dan ingin ambisinya terwujud. Sehingga, mereka memakai jargon tertentu, seperti Musailamah yang menyatakan jika kebijakan membayar zakat itu kepada Nabi saw., maka setelah Rasulullah wafat, mengapa harus membayar zakat pada Abu Bakar?.
Di Indonesia. Pada 2000-an muncul Lia Eden, mengaku sebagai orang yang mendapat petunjuk. Ia adalah titisan Bunda Maria. Anaknya titisan Malaikat Jibril. Mereka membawa wahyu untuk menyelesaikan masalah. Ada lagi Ahmad Musadeq yang mengaku mendapat wahyu dan mendirikan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), dan sebagainya. Semua itu karena kondisi yang tidak menentu.
Deklarasi yang Mustopa sampaikan, jelas menunjukkan adanya fenomena krisis akidah. Mimpi bertemu Rasulullah saw. memang mungkin saja terjadi pada orang-orang saleh. Namun, jika mimpi tersebut kemudian menjadi dalih bahwa seseorang dapat menjadi “wakil nabi”, ini tentu saja bertentangan dengan akidah Islam. Di samping itu, tidak ada satu pun indikasi dalam Al-Qur’an maupun Sunah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. memiliki wakil pada akhir zaman ini dalam rangka membantu peran beliau sebagai Nabi dan Rasul.
Jika gerakan ini dibiarkan, akan memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat. Masyarakat sudah bingung dengan masalah yang ada, mereka ingin mendapat solusi praktis. Ketika ada yang mengaku nabi, maka itu dianggap miracle oleh masyarakat sehingga mereka tersesat dari kebenaran.
Pengaruh lainnya, akan menyebabkan kerugian yang besar. Ajaran-ajaran mereka ini ada yang mengajak diri untuk mempersiapkan menyambut kiamat. Kemudian diajak mengorbankan hartanya, anehnya banyak yang terpengaruh baik pengikut atau bukan.
Masalah lain juga akan muncul. Antar anggota masyarakat akan bertikai, terjadi perpecahan. Integritas menjadi terganggu. Agama yang benar menyalahkan yang salah, sedangkan yang salah mempertahankan pendapat bahwa mereka benar.
Jika kejadian ini terus dibiarkan akan mengaburkan pemahaman masyarakat. Masyarakat menjadi tidak paham mana yang hak dan batil. Padahal, paham hak dan batil itu penting untuk melakukan perubahan ke arah yang benar,
Fenomena nabi palsu ini harus diperhatikan sebagai suatu masalah yang melanggar syariat agar masyarakat juga memahaminya.
Desakralisasi Islam
Dalam sebuah ayat Allah Taala berfirman, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzab [33]: 40).
Ayat ini menegaskan bahwa selain Rasulullah saw. tidak memiliki wakil dalam rangka peran beliau sebagai Nabi dan Rasul, setelah beliau juga tidak ada nabi lagi. Oleh karena itu, adanya pengakuan dari seseorang bahwa dirinya “wakil nabi”, tentu saja mengabaikan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, ini sama halnya dengan upaya desakralisasi Islam atau peremehan dan pengabaian ajaran Islam.
Islam Menjaga Aqidah Dan Aturan Mulia
Dalam alam sekuler, krisis akidah sekaligus upaya desakralisasi Islam akan terus berpeluang terjadi. Munculnya orang-orang serupa pengaku “wakil nabi” bukanlah yang pertama terjadi. Suasana kehidupan sekuler meniscayakan tumbuh suburnya cara berpikir serba bebas (liberal). Pemikiran liberal bahkan akan selalu mendapatkan ruang kendati pemikiran tersebut merusak umat.
Kondisi ini jelas membuat upaya pembelaan terhadap Islam juga mengalami krisis. Padahal, Islam wajib dibela dan keyakinan untuk membela Islam ini mampu menumbuhkan konsekuensi akan adanya penjagaan akidah Islam secara sistemis. Ini bukan lagi ranah perdebatan karena Islam adalah aturan yang mulia, tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi daripada Islam.
Rasulullah saw. bersabda, “Islam itu agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari pada Islam.” (HR Baihaqi).
Hal ini makin tegas dengan adanya firman Allah Ta’ala dalam ayat, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali Imran [3]: 110).
Hendaklah kita mengingat dan merenungi nasihat Abu Bakar ra. Ketika Rasulullah saw. wafat, “Ketahuilah, barang siapa yang menyembah Muhammad saw., maka Muhammad sekarang sudah wafat. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup tidak wafat, dan beliau lanjutkan ‘Sesungguhnya engkau akan mati, dan sesungguhnya mereka pun akan mati pula’ dan membaca ayat ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’. Beliau (Abu Bakar) kemudian berkata, ‘Maka mulai terdengar isak tangis para sahabat yang lain…’” (HR Bukhari).
Inilah peran strategis yang dilakukan oleh Abu Bakar ra. selaku khalifah pengganti Rasulullah saw.. Masa pemerintahan beliau yang singkat, sangat urgen dalam menjaga kelurusan akidah kaum muslim setelah Rasulullah saw. wafat, termasuk ketika beliau menurunkan pasukan dalam Perang Yamamah untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab (laknatullah) yang mengaku sebagai nabi serta berusaha memberontak kepada Daulah Islam dengan angkatan bersenjatanya.
Pemimpin seperti Abu Bakar inilah yang bisa kita harapkan untuk menjaga akidah umat. Beliau tegas dalam menjalankan seluruh aturan Islam baik masalah aqidah maupun syariah Islam. Insyaallah dengan kepemimpinan seperti itu akan menjauhkan umat dari masalah krisis aqidah dan kita pun akan mulia dengan penerapan seluruh aturan Islam ini.