Oleh : Rabiatul Zannah
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang tercantum pada Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai negara hukum, semua tindakan warga negara dan penyelenggaranya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, gagasan negara hukum menjadi ideal dalam penerapannya jika setiap komponen bangsa memiliki kesadaran hukum sehingga tercapai tujuan hukum yaitu niai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Salah satu aturan yang diatur dalam perundang-undangan ialah tentang kebebasan berpendapat tercantum pada UUD 1945 Pasal 28 dan Pasal 28E ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selanjutnya, pengembangan dari aturan tersebut dibuatlah Undang-undang Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE) sebagai aturan yang mengatur penyampaian pendapat melalui media elektronik dan internet. Seperti yang dilakukan oleh pemuda asal Lampung Timur yang sedang menempuh pendidikan di Autralia, Bima Yudho Saputro, menyampaikan pendapatnya melalui akun TikTok @awbimaxreborn yang berisi kritikan atas kekecewaannya terhadap pemerintah Lampung yang menurutnya tidak mengalami Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, diantaranya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung yang menyatakan siap memberikan pendampingan kepada Bima. LBH Bandar Lampung dan Asosiasi Jaringan Indonesia (AJI) sepakat bahwa pelaporan terhadap Bima yang melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam demokrasi dimana seharusnya negara wajib memenuhi dan melindungi hak tersebut. AJI juga menambahkan bahwa UU ITE dalam beberapa tahun terakhir telah banyak menjerat masyarakat yang aktif mengkritisi pemerintah agar dibuat bungkam dan dikriminaslisasi (dikutip dari cnnindonesia.com, 15/04/2023).
Tak hanya Bima yang merasakan akibat dari kontennya yang mengkritisi pemerintah Lampung tersebut, Ayah Bima yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS) dipanggil oleh Bupati Lampung Timur dengan alasan pemeriksaan biaya sekolah Bima di Autralia, padahal Bima mengaku bahwa ia tidak mendapat bantuan biaya dari ayahnya tersebut (dikutip dari news.republika.co.id, 15/04/2023).
Dalam menyampaikan kritik, perlu memeperhatikan aturan-aturan yang telah termuat pada perundang-undangan. Juru bicara Presiden, Fadjroel, menjelaskan kepada wartawan agar mengkritik tidak terjerat UU ITE sesuai pada Pasal 28J UUD 1945 dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selanjutnya, memperhatikan UU ITE dan ketentuan pidana Pasal 45 ayat (1) tentang muatan yang melanggar kesusilaan; ayat (2) tentang muatan perjudian; ayat (3) tentang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; ayat (4) tentang muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Pasal 45A Ayat (1) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen; ayat (2) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu atas SARA.
Kemudian Pasal 45B tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (dikutip dari owntalk.co.id, 14/02/2021). Selain memperhatikan dari sisi kritikus, perlu juga memperhatikan dari sisi yang di kritik yakni mencerna dengan tenang kritikan yang didapat lalu mengkaji hal yang dikritik, kemudian membenahinya.
Berdasarkan kejadian yang dialami oleh Bima, terlihat bahwa pemerintah bukannya membenahi hal-hal yang telah dikritik karena itulah sesuai dengan keadaan di lapangan, tetapi malah memperkarakan oknum yang telah mengkritik tersebut dengan alasan pemilihan diksi yang salah dalam mengkritik. Seperti pendapat yang diutarakan oleh Pakar Hukum Unila, Yusdianto dan anggota Komisi III DPR Lampung I, Taufik. Dilansir pada kumparan.com (14/04/2023) menyatakan bahwa kritikan yang disampaikan oleh Bima seharusnya dijadikan masukan yang positif oleh penyelenggara negara dan bekerjanya berdasarkan masukan/saran dari masyarakat.
Selanjutnya, dilansir dari news.republika.co.id (16/04/2023), anggota Komisi III DPR Lampung I, Taufik memberikan respon terhadap kritikan dari Bima dengan mengatakan bahwa yang dilakukan Bima terhadap pemerintah Lampung sebagai bentuk aspirasi sekaligus keluhan yang mewakili rakyat Lampung yang seharusnya dapat menjadikan pengingat agar bekerja lebih baik dan penyemangat untuk selalu mendengarkan, mengkaji, dan merespon keluhan rakyat. Taufik juga meminta agar polisi tidak menindaklanjuti proses hukum terhadap Bima.
Sikap pemerintah dalam menanggapi suatu kritikan menujukkan bagaimana sikap pemerintah menanggapi suatu permasalahan. Aturan-aturan yang dibuat seharusnya untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi rakyat, malah dijadikan untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi pemerintah itu sendiri dengan dalih mengabaikan hal yang dikritik dan menonjolkan kesalahan yang dilanggar oleh kritikus tersebut.
Hal yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam merespon kritik dari Bima adalah dengan fokus membenahi permasalahan yang ada di Lampung, bukannya mempermasalahkan pilihan diksi yang digunakan dalam mengkritik tersebut karena hal itu dapat diselesaikan dengan memberikan teguran langsung kepada yang bersangkutan tanpa melaporkannya kepada polisi.
Pemimpin dalam Islam bukanlah pemimpin yang anti-kritik. Islam mengajarkan aktivitas muhasabah yakni mengoreksi kesalahan, termasuk dalam hal penyelenggaraan negara dimana pemerintah bertanggung jawab atas kepentinggan rakyatnya sehingga jika terdapat hal yang tidak sesuai dalam pelaksanaan tugasnya, pemerintah sepatutnya dikoreksi terutama oleh rakyat itu sendiri. Seperti yang pernah terjadi ketika seorang perempuan memprotes Khalifah Umar bin Khattab yang tidak setuju dengan pelarangan memberikan mahar kepada istri melebihi 400 dirham. Perempuan tersebut lalu mengingatkan Khalifah Umar bin Khattab dengan mengatakan bahwa Allah SWT yang berfirman dalam Al Qur’an Surah An-Nisa ayat 20 “… kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar)…”.
Setelah itu, Khalifah Umar bin Khattab beristigfar dan mengumumkan kembali bahwa ia tidak melarang pemberian mahar melebihi 400 dirham, namun dipersilakan memberikan mahar sesuai kehendak. Hal yang ditunjukkan pada kepemimpinan Umar bin Khattab yang lebih banyak dikritik daripada dipuji hingga beliau mengatakan bahwa jika rakyat melihatnya menyimpang dari jalan Islam, diperintahkan untuk meluruskannya walaupun dengan pedang.