
Bonus menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai upah tambahan di luar gaji atau upah sebagai hadiah. Dalam pemaknaannya bonus seringkali diasosiasikan dengan keuntungan. Fenomena bonus demografi bukan merupakan upah tambahan, tetapi diartikan sebagai keuntungan. Bonus demografi membuat keuntungan ekonomi dari rasio ketergantungan penduduk usia produktif terhadap penduduk tidak produktif yang mencapai nilai terendah. Peristiwa tersebut hanya terjadi satu kali saja dalam perjalanan penduduk. Kondisi tersebut juga lazim dikenal sebagai jendela kesempatan (windows of oppportunity) bagi suatu negara dalam melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Indonesia diprediksi akan menikmati puncak bonus demografi ditahun 2045. Dalam publikasi Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 318,96 juta pada tahun 2045. Dari jumlah tersebut, penduduk usia produktif (15-64 tahun) dilaporkan mencapai 207,99 juta (65 persen) dan penduduk usia tidak produktif sebesar 110,97 juta (35 persen) yang terdiri dari 44,99 juta penduduk usia di atas 65 tahun dan 65,98 juta penduduk usia 0-14 tahun. Pada tahun tersebut rasio ketergantungan diperkirakan mencapai titik optimal rendah.
Dampak Stunting
Pemanfaatan bonus demografi dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi menghadapi kendala yang bernama “Stunting” atau balita kerdil. Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, stunting adalah kondisi anak usia 0-59 bulan, di mana tinggi badan menurut umur berada di bawah minus 2 standar deviasi dari standar median. BKKBN menyebutkan bahwa sebanyak 1,2 juta atau 24 persen di antara 5 juta kelahiran bayi setiap tahunnya, dilahirkan dalam kondisi stunting. Kondisi tersebut diukur melalui ukuran panjang tubuh yang tidak sampai 48 sentimeter dan berat badan yang tidak sampai 2,5 kilogram.
Hasil pelaksanaan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2022, angka prevalensi stunting turun dari 24,4 persen atau 5,33 juta balita di tahun 2021 menjadi 21,6 persen atau sebanyak 4,72 juta balita. Angka stunting di kalimantan selatan turun dari 30,0 persen di tahun 2021 menjadi 24,6 persen ditahun 2022. Meskipun menurun, namun angka tersebut lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan oleh WHO yaitu kurang dari 20 persen jumlah balita. Dilihat dari negara di kawasan Asia Tenggara, persentase stunting Indonesia lebih tinggi dibanding Filipina (20 persen), Malaysia (17 persen), dan Thailand (16 persen). Menurut WHO, status balita stunting di Indonesia berada di urutan keempat dunia dan urutan kedua di Asia Tenggara. Penurunan prevalensi stunting menjadikan program utama pemerintah dengan target 3-3,5 persen setiap tahun, sehingga diperkirakan akan mencapai angka 14 persen pada tahun 2024.
Stunting menjadi fokus permasalahan kesehatan yang menjadi top trending karena dampak negatifnya memberikan damage yang sangat serius terhadap kecerdasan dan ekonomi negara. Balita stunting tidak hanya mengalami gagal tumbuh dengan daya tahan tubuh yang buruk, namun juga memiliki tingkat kecerdasan (IQ, Intelligence Quotient) yang rendah. IQ menjelaskan kemampuan seseorang dalam berpikir, mengingat, memahami, mengevaluasi, mengolah, menguasai lingkungan, dan bertindak secara terarah. Diyakini, IQ memiliki kaitan yang erat dengan intelektual, logika, kemampuan menganalisis, pemecahan masalah matematis, dan strategis. Data yang disajikan oleh World Population Review 2022 menujukkan rata-rata skor IQ penduduk Indonesia pada tahun 2022 hanya mencapai angka 78,49 (Tingkat IQ Rendah) dan menempati urutan ke-130 dari 199 negara di dunia.
Dampak negatif stunting terhadap kecerdasan anak telah dibuktikan oleh Prof. Dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K) dari Fakultas Kedokteran UI. Berdasarkan pengalaman beliau selama 20 tahun, mengungkapkan bahwa anak yang mengalami gizi buruk di bawah usia satu tahun, 25 persen berisiko memiliki tingkat kecerdasan di bawah 70, dan 40 persen lainnya berisiko memiliki IQ antara 71-90. Kondisi stunting yang dialami balita juga dapat menurunkan IQ sebesar 5-11 poin (Solihin, 2013). Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan UNICEF bahwa anak dengan kondisi stunting memiliki rata-rata IQ 11 poin lebih rendah dibandingkan rata-rata anak yang tidak stunting. Anak dengan kasus stunting mendapatkan risiko 4,57 kali mengalami kecerdasan intelektual dibawah rata-rata dibandingkan pada anak yang tidak stunting (Aurora dkk., 2019).
Stunting juga diyakini menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar jurang ketimpangan. Bank Dunia (2016) menyatakan bahwa dalam jangka panjang kasus stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Dalam Laporan Perekonomian Indonesia 2022 tercatat PDB Indonesia sebesar Rp 16.970 triliun, diperkirakan potensi kerugian akibat stunting mencapai Rp 339,4 – 509,1 triliun per tahun. Jika dibagi jumlah penduduk 274 juta, maka potensi kerugian ekonomi stunting mencapai Rp 1,238 – 1,858 juta/kapita/tahun. Jika dibagi pendapatan Rp 62,2 juta/kapita/tahun, maka kerugian stunting tersebut mencapai 2-3 persen dari pendapatan per kapita penduduk.
Jika penanganan terhadap stunting tidak diprioritaskan maka efek buruk yang ditimbulkan dari stunting terhadap kecerdasan dan ekonomi akan menghantui dan bisa menjadi mimpi buruk Indonesia dalam menyambut puncak bonus demografi. Intervensi penanganan stunting mutlak diperlukan. Hal tersebut tertuang dalam Perpres 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, intervensi gizi spesifik, yakni intervensi yang berhubungan dengan peningkatan gizi dan kesehatan. Di sisi lain, perilaku pernikahan dini juga menyumbang resiko seorang anak menderita stunting. Masa remaja adalah masa-masa dimana seseorang sedang berproses mengenyam pendidikan dan perkembangan organ reproduksi. Para remaja masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun. Ketika remaja hamil, tubuh sang ibu akan berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya. Ketika nutrisi kurang maka bayi yang lahir berpeluang besar menderita Berat bayi Lahir Rendah (BBLR) yang sangat beresiko terkena stunting.
Penanganan Stunting
Langkah mutlak yang harus dilakukan dalam penanganan stunting adalah melakukan intervensi gizi ibu hamil dan balita, mengurangi angka pernikahan dini dan meningkatkan pendidikan keluarga terutama perempuan sebagai calon ibu. Stunting akan menjadi bom waktu ancaman terhadap bonus demografi. Indonesia harus bersiap siap memanfaatkan bonus demografi ini dengan sebaik baiknya, agar bonus ini benar benar bermanfaat menjadi kemajuan ekonomi. Tetapi bila tidak maka bonus demografi ini menjadi sia sia bahkan menjadi petaka dalam kemunduran ekonomi. Optimis! Indonesia Emas 2045!