
Terminologi dari kata pengungsi dapat didefinisikan sebagai orang yang secara terpaksa harus meninggalkan tempat mereka berasal demi menyelamatkan diri mereka dari bencana alam maupun dari adanya tindakan-tindakan pelanggaran HAM. Dalam konteks Hubungan Internasional, kata pengungsi lebih sering melekat pada orang yang meninggalkan negara asal mereka demi menghindari kekerasan, penyiksaan, diskriminasi hingga rasa takut akan kekerasan. Hak-hak mereka sebagai seorang manusia tidak lagi dihormati di negara asal mereka, sehingga mereka secara terpaksa harus meninggalkan tempat kelahirannya demi mendapatkan kehidupan yang layak.
Namun, status mereka sebagai pengungsi ataupun imigran di negara lain sering membuat mereka rentan mendapatkan tindakan diskriminasi oleh penduduk asli negara tersebut. Meskipun diskriminasi tersebut tidak separah pelanggaran HAM di negara asal mereka, tetapi mereka tetap mendapatkan tindakan-tindakan diskriminasi oleh penduduk setempat. Tindakan diskriminasi ini semakin diperparah dengan adanya perbedaan budaya antara para pengungsi dan penduduk asli yang kerap bertentangan satu sama lain. Selain itu, mereka juga dianggap sebagai beban bagi pemerintah negaranya, dimana penduduk asli menganggap pemerintah masih kewalahan mengurusi penduduk asli dan sekarang harus mengurusi para pengungsi. Para pengungsi tersebut seharusnya mendapatkan perlakuan khusus mengingat kondisi dan status mereka sebagai pencari suaka bukanlah kehendak mereka. Jika mereka bisa memilih, tak seorangpun mau mengalami nasib serupa seperti mereka.
Untuk mengatasi hal tersebut, kerjasama antar negara sangatlah penting dalam mengatasi setiap isu kemanusiaan. Gerakan-gerakan kemanusiaan berskala internasional dapat mengurangi beban negara-negara tempat mereka mengungsi secara signifikan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan bantuan kemanusiaan kepada negara-negara yang menampung para pengungsi secara finansial maupun materil. Setiap orang harus bahu membahu untuk menolong mereka yang mengalami kesusahan, sehingga dalam upaya melindungi dan membantu para pengungsi adalah tanggung jawab bersama kita semua sebagai seorang manusia.
Berangkat gagasan tersebut, sebuah lembaga bernama International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) mengusulkan sebuah konsep bernama Responbility to Protect (R2P) pada tahun 2001. Kemudian, Gareth Evans dalam bukunya yang berjudul Responsibility to Protect: Ending Mass Atrocity Crimes Once And for All, Responsibility to Protect (R2P) mendefinisikan R2P sebagai suatu prinsip dalam hubungan internasional yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pemusnahan massal, kejahatan perang, genosida dan pelanggaran HAM. Prinsip ini juga menyatakan bahwa setiap negara seharusnya memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi sesama umat manusia dari segala bentuk pelanggaran HAM. Meskipun begitu, R2P ini tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk mengikat dan memaksa setiap negara agar mau mengimplementasikan konsep R2P.
Indonesia terlihat memutuskan untuk menerapkan konsep R2P tersebut. Salah satu bentuk Indonesia menerapkan konsep R2P adalah dengan menerima para pengungsi Rohingnya di Indonesia meskipun Indonesia bisa saja tidak melakukan tersebut karena belum meratifikasi Konvensi pengungsi 1951 dan protokol 1967. Sehingga atas dasar kemanusiaan, Indonesia memutuskan menerima pengungsi Rohingnya untuk sementara waktu atau dijadikan sebagai negara transit sebelum pergi ke negara tujuan seperti Australia.
Selain atas dasar kemanusiaan, Indonesia juga mendapatkan tekanan eksternal dari dunia Internatiosal karena pelanggaran HAM yang menimpa etnis Rohingnya tersebut terjadi di Myanmar yang masih satu kawasan dengan Indonesia. Sehingga Indonesia yang sudah dianggap sebagai pemimpin ASEAN harus memikul harapan yang besar dari dunia Internasional untuk menyelesaikan krisis politik di Myanmar. Selain sebagai pemimpin ASEAN, tekanan terhadap Indonesia semakin besar ketika Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB tahun 2019-2020.
Berdasarkan pasal 24 Piagam PBB, DK PBB memiliki tanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia, sehingga Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjaga perdamaian dunia, termasuk menjaga perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Indonesia semakin banyak menerima tekanan eksternal dari dunia internasional karena menjadi aktor penting yang memikul tanggung jawab yang sangat besar, mulai dari tanggung jawab sebagai negara berdaulat, Indonesia juga bertanggung jawab sebagai DK PBB dan juga bertanggung jawab sebagai pemimpin ASEAN.
Sebagai DK PBB, Indonesia memiliki hak istimewa dan memungkinkan Indonesia untuk mengambil langkah koersif terhadap Myanmar mengingat apa yang terjadi pada etnis Rohingnya sudah dikategorikan sebagai Genosida yang sedang mengancam perdamaian dunia. Namun, Indonesia memilih melakukan pendekatan secara diplomatis untuk menyelesaikan krisis politik di Myanmar. Indonesia melalui Menteri Luar negeri, Retno Marsudi melakukan pertemuan dengan pemerintah Myanmar untuk membicara proses penyelesaian krisis politik tersebut. Hasilnya, pemerintah Myanmar bersedia membuka diri untuk menerima bantuan kemanusiaan, namun hanya kepada Indonesia saja.
Alasan lain mengapa Indonesia tidak mengambil tindakan koersif adalah karena adanya prinsip non-interference yang dianut oleh negara-negara ASEAN. Negara-negara ASEAN memiliki prinsip tidak boleh mengganggu urusan dalam negeri sesama negara ASEAN. Sehingga jika Indonesia melakukan tindakan koersif, maka Indonesia akan dianggap melanggar prinsip tersebut. Melanggar prinsip non-interference ASEAN tentu saja akan berdampak besar terhadap keberlansungan jalannya organisasi ASEAN itu sendiri.
Dari penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa, upaya Indonesia dalam menerapkan konsep R2P dengan menerima pengungsi Rohingnya sudah menjadi langkah yang sangat bagus. Namun, hal tersebut belum bisa menyelesaikan akar permasalahan. Selain itu,, langkah Indonesia sebagai DK PBB untuk melakukan pendekatan diplomatis dinilai belum menghasilkan hasil yang maksimal karena belum mampu menyelesaikan krisis politik yang terjadi di Myanmar, ditandai masih terjadinya pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingnya di Myanmar. Sebagai seorang masyarakat biasa, tentu saja tak banyak yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan krisis politik di Myanmar. Tetapi di kehidupan sehari-hari kita sudah bisa menerapkan konsep R2P dengan meningkatkan rasa kemanusiaan kita seperti menolong mereka yang sedang mengalami kesusahan. Hal-hal besar selalu diawali dengan hal-hal kecil.