
JAKARTA – Salah satu penyebab banjir impor pakaian bekas di Indonesia adalah karena masyarakat haus akan barang branded atau bermerek. Akan tetapi pada si lain banyak kalangna yang tidak didukung oleh daya beli.
Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio mengatakan hal itu pada akhirnya membuat tren thrifting atau memburu baju impor meningkat pada beberapa tahun terakhir.
“Thrifting impor ini ya ini karena didorong oleh keinginan konsumen untuk mendapatkan produk yang memiliki brand ya, artinya mereka senang memiliki pakaian yang branded, tetapi harga yang didapatkan itu jauh lebih murah,” kata Andry Sabtu.
Akan tetapi masalahnya gaya hidup tersebut mengganggu industri dalam negeri. “Nah itu pastinya akan merusak pasar gitu ya, karena mereka [baju bekas impor] harus head to head dengan pakaian dalam negeri yang mungkin dari segi kualitas tidak kalah, tetapi kan dari segi harga jauh ya,” tambah Andry.
Terlebih, pakaian bekas dari beberapa negara utamanya negara-negara di Asia itu memiliki nilai tambah yang dianggap lebih baik lantaran memiliki merek kuat, sedangkan produk Indonesia dianggap tidak setara.
Dengan demikian, menurut Andry, masyarakat akan berpikir jika produk impr pakaian bekas ini lebih menguntungkan bahkan dari segi tren dibandingkan dengan produk dalam negeri.
“Jadi ketika head to head produk pakaian bekas dari luar ini, produk dalam negeri tidak bisa berkompetisi gitu, masyarakat kan pasti akan melihat produk yang branded ini yang dia rasa bisa mengakomodir lifestylenya mereka,” kata Andry.
Terlebih, thrifting pakaian impor di Indonesia justru diminati kaum muda dan menjadi tren tertentu, hingga ramai diperbincangkan di media sosial.
Senada dengan Andry, Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) Hanung Harimba Rachmenyebutkan, pasar pakaian impor bekas ini bisa besar di Indonesia lantaran masyarakat yang melek terhadap merek namun enggan mengeluarkan kocek lebih dalam.
“Masyarakat kita ini masih suka brand dan sensitif dengan harga,” kata Hanung.
Sementara itu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mengakui impor pakaian bekas meningkat lebih dari 200 persen meski sudah dilarang.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto Nirwala mengatakan data bea cukai mencatat volume impor pakaian bekas (dengan HS Code 63090000) naik hingga 227,75 persen, dari 8 ton pada 2021 menjadi 26,22 ton pada 2022, dengan nilai dvisa impor US$272.146 atau setara Rp4,21 miliar.
Sebab itu, DJBC berharap semua pihak bisa ikut bekerja sama untuk mengatasi permasalahan importasi pakaian bekas tersebut.
“Permasalahan importasi pakaian bekas ilegal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab satu instansi pemerintah tertentu saja, diperlukan sinergi dan koordinasi antar berbagai instansi terkait untuk dapat bersama-sama menyelesaikan permasalahan ini dari hulu ke hilir,” ujar Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto. bisn/mb06