
Buah dari reformasi adalah kebebasan berekspresi. Perbedaan pendapat merupakan hukum alam yang tak dapat dinafikan. Perselisihan pun terkadang sulit dihindarkan. Kolom-kolom komentar dipenuhi pelbagai cacian, makian, hingga hinaan dengan menyebut nama-nama hewan. Media sosial menjadi arena perkelahian dalam rangka memperebutkan tafsir kebenaran.
Indonesia adalah negara yang majemuk, yang terdiri dari beragam suku, bangsa, dan budaya. Sejarah merekam bahwa konflik antar suku dan budaya pernah terjadi di Indonesia dan menelan banyak korban jiwa. Tragedi Sampit yang melibatkan orang Madura dengan orang Dayak, dan yang belakangan terjadi melibatkan tiga suku di Barbarsari, Yogyakarta.
Mendekati momentum pemilu 2024 mendatang, potensi konflik di tengah masyarakat kian meningkat. Kali ini, identitas yang ditonjolkan bukan hanya suku, namun identitas keagamaan. Pilkada DKI 2017, dan pemilu 2019 menjadi bukti penggunaan identitas agama untuk meraih insentif elektoral.
Pemilu menciptakan polarisasi di tengah masyarakat. Rakyat saling tuding-menuding satu sama lain. Perbedaan menjadi langka, yang tersisa hanyalah umpatan-umpatan belaka. Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah seketika sirna. Oleh karena itu, persoalan politisasi identitas (baik suku, agama, dan budaya) perlu ditangani secara serius dalam rangka menjaga ikatan persaudaraan sesama anak bangsa.
Tantangan Kebangsaan
Pekerjaan terberat pada tahun-tahun politik adalah memastikan bahwa Bhineka Tunggal Ika tetap hidup dan tumbuh subur di tengah ruang demokrasi yang kian pengap. Dengan kata lain, perbedaan harus diterima sebagai sebuah keniscayaan, dan itu membutuhkan kewarasan pikiran.
Politik identitas merupakan ancaman nyata bangsa Indonesia. Hal ini sebagaimana ditunjukan oleh riset Franz Magnis Suseno (2018) dalam jurnal yang dipublikasi oleh Ma’arif Institute. Ia mengungkapkan bahwa politisasi identitas komunitas-komunitas di Indonesia, entah suku, etnik, maupun identitas agama, merupakan ancaman terbesar bagi masa depan kehidupan bangsa.
Ironisnya semangat beragama masyarakat Indonesia yang begitu tinggi dimanfaatkan oleh para politisi untuk meraih insentif elektoral. Minimnya kesadaran sebagai warga negara (sense of citizenship) berdampak pada pembentukan afiliasi politik atas dasar kesamaan agama dan etnis. Di samping itu, agama juga telah terbukti efektif untuk membangun militansi seseorang.
Kemudahan akses terhadap informasi harus diterima dengan pikiran terbuka. Karena informasi-informasi palsu bebas berseliweran di dunia maya. Pastikan saring sebelum sharing. Politisasi agama juga harus dilarang, jika Indonesia tidak ingin seperti Afghanistan. Merawat dan melestarikan Bhineka Tunggal Ika adalah tanggung jawab bersama.
Demokrasi Deliberatif
Menguatnya sentimen keagamaan yang menghiasi perjalanan demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan, tidak terlepas dari kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik dan instansi pemerintah.
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Wahyu Amaliah (2021) mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia (khususnya muslim) tidak percaya lagi dengan partai politik Islam, di satu sisi suara mereka bisa dinegosiasikan oleh partai sekuler, dan semakin ke sini mereka semakin tidak percaya dengan partai politik. Mereka kemudian memainkan politik di luar parlemen (dibaca: politik jalanan).
Temuan ini didasarkan pada aksi demo berjilid-jilid menjelang pilkada DKI 2017. Euforia pilkada DKI saat itu sangat mencekam, jargon-jargon loyalistik diteriakkan di setiap sudut kota Jakarta. Pilkada DKI 2017 dan pemilu 2019 adalah cermin bahwa kualitas demokrasi di Indonesia kurang bermutu, karena masyarakat lebih senang mengedepankan sentimen daripada argumen.
Realitas demokrasi di Indonesia persis seperti apa yang digambarkan oleh Joseph Schumter. Demokrasi hanya mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu yang kompetitif. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Setelah itu suara rakyat tidak didengar bahkan dikhianati. Demokrasi yang didengungkan adalah demokrasi semu (pseude democracy).
Media merekam setiap bentuk penolakan gerakan rakyat terhadap undang-undang yang hanya mementingkan kepentingan sekelompok orang. Misalnya saja penolakan terhadap Revisi UU KPK dan RKUHP, meskipun di setiap daerah telah menelan banyak korban, RKUHP tetap disahkan pada 6 desember 2022. Kompas.com menyebutkan bahwa korban pada demo KPK dan RKUHP 2019 berjumlah 232 orang, dan 3 orang dikabarkan kritis.
Kondusifitas hanya dapat tercipta kalau masyarakat dilibatkan dalam setiap perumusan kebijakan. Partisipasi masyarakat juga dapat meningkatkan mutu demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang bermutu akan melahirkan pemimpin yang unggul dan mampu bersaing di kancah internasional.
Peran dan keterlibatan masyarakat dalam kehidupan bernegara itu sangat penting. Peran ini hanya dapat terwujud kalau komunikasi antara masyarakat dan negara terjalin secara harmonis. Dengan kata lain, negara harus memberikan ruang bagi masyarakat untuk berkontribusi. Inilah yang dalam teori Jurgen Habermas disebut dengan Demokrasi Deliberatif.
Penerapan demokrasi deliberatif yang ditawarkan Habermas ini dapat mewadahi kelemahan-kelemahan mekanisme pemungutan suara yang dilahirkan oleh demokrasi liberal, yang menempatkan peraih suara terbanyak sebagai pihak yang berhak menentukan kepentingan bersama. Dengan komposisi yang seimbang, maka keharmonisan antar sesama anak bangsa akan menjadi kenyataan.