
Setelah menempuh proses persidangan yang cukup lama, akhirnya vonis hukuman pelaku pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat pun dibacakan. Sidang pembacaan vonis hakim dimulai dari terdakwa Ferdi Sambo, Putri Candrawati, Kuat Maruf, Ricky Rizal, Richard Eliezer, Arif Rachman Arifin, Agus Nurpatria, Hendra Kurniawan, Irfan Widianto, Chuck Putranto, dan Baiquni Wibowo. Pada senin 13 Februari 2023 kita sudah mendengarkan vonis hakim yang dijatuhkan kepada terdakwa Ferdi Sambo dan Putri Candrawati. Ada yang menarik pada putusan hakim tersebut, yaitu vonis hakim lebih tinggi dari pada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). tuntutan JPU terhadap terdakwa Ferdi Sambo sebelumnya adalah seumur hidup namun kemudian vonis hakim adalah hukuman mati lalu tuntutan JPU terhadap Putri candrawati adalah 8 tahun kemudian vonis hakim adalah 20 Tahun penjara. Namun, pada praktiknya banyak dijumpai putusan hakim tidak sesuai dengan tunjutan JPU ada yang lebih rendah dan ada juga lebih tinggi (Ultra Petita). Lalu pertanyaannya apakah boleh vonis hakim melebihi tuntutan JPU?.
Vonis hakim yang melebihi tuntutan JPU (Ultra Petita) sering terjadi di Pengadilan Negeri di Indonesia. Secara normatif penjatuhan vonis melebihi tuntutan JPU adalah boleh-boleh saja. Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyebutkan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya.” Mengenai pasal ini tidak disebutkan secara khusus bahwa hakim harus memvonis sesuai dengan tuntutan JPU. dalam menjatuhkan hukuman hakim mempertimbangkan surat dakwaan JPU bukan tuntutan JPU. mengutip pada laman hukum online.com bahwa “Secara normatif tidak ada satu pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan Jaksa/Penuntut Umum. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya, bisa lebih tinggi dari apa yang dituntut.
M. Yahya Harahap menyebutkan ‘hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana (strafmaat) yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas’. Undang-Undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana bersangkutan. Pasal 12 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) menegaskan hukuman pidana penjara selama waktu tertentu itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut. Didalam menjatuhkan hukuman terdapat alasan yang dapat memberatkan terdakwa. Dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua ini dapat kita lihat bahwa hakim menyimpulkan bahwa Ferdi Sambo secara sah dan meyakinkan telah melakukan pidana sebagaimana terdapat pada pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Kemudian berdasarkan Yurisprudensi MA No. 1953 K/Pid./1988 hakim dalam perkara pidana boleh menjatuhi hukuman melebihi tuntutan JPU dengan alasan-alasan: pertama, tidak boleh melebihi ancaman maksimal pasal yang didakwakan. 2. Tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya tidak ada acuan dalam kuhp atau aturan pidana diluar KUHP. 3. Putusan pemidanaan itu cukup memberikan pertimbangan yang cukup berdasarkan bukti. Pada vonis terhadap terdakwa Ferdi Sambo hakim menyatakan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar untuk sambo, yang ada hanya alasan yang memberatkan kenapa Terdakwa Ferdi Sambo layak dihukum mati yaitu: pertama, dilakukan terhadap ajudannya sendiri yang mengabdi selama tiga tahun. Kedua, menyebabkan keresahan dan kegaduhan yang meluas di masyarakat, ketiga, perbuatan tidak pantas dilakukan sebagai aparat penegak hukum dan pejabat utama polri yaitu Kadiv Propam Polri. Keempat, mencoreng institusi polri dimata masyarakat Indonesia dan dunia internasional. Kelima, menyebabkan banyak anggota polri yang terlibat. Keenam, berbelit-belit dalam persidangan dan tidak mengakui perbuatannya.
Vonis hakim ini kelak akan menjadi dasar pertimbangan pula bagi hakim-hakim yang sedang menghadapi permasalahan yang sama atau yang dikenal dengan Yurisprudensi. Banyak terobosan hukum baru yang dapat dilihat dari putusan ini. Hakim dalam menjatuhkan vonis lebih mengutamakan penerapan hukum substansial dibandingkan hukum procedural. Rasa keadilan lebih ditekankan dalam putusan kali ini. Menurut hemat penulis ini sangat baik diterapkan apalagi sebagai wakil tuhan didunia putusan hakim amat ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada umumnya dan keluarga yang terkait perkara pada khususnya. Namun sebagai warga negara para terdakwa dalam kasus ini masih memiliki upaya hukum yang dapat digunakan diantaranya Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Intinya dalam kasus ini banyak pelajaran yang kita dapatkan untuk kedepannya. Semoga keadilan terus tegak di Indonesia.