
Tren penyebaran berita palsu (hoax) terutama melalui dunia maya tidak bakal surut apalagi menjelang momentum pemilihan anggota dewan dan Pilpres 2023. Hoax bakal tetap ada karena efektif digunakan untuk menghantam berbagai kepentingan.
Keberadaan UU yang komprehensif mengatur perilaku di dunia maya sangat mendesak, mengingat saat ini negara belum sepenuhnya mampu mengatasi maraknya hoax. KUHP dan UU ITE belum mampu menyasar produsen sekaligus penyebar berita palsu. Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh pada tanggal 9 Februari 2023 yang bertemakan Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat tahun ini diharapkan menjadi momentum kebersamaan pers untuk melawan hoax antara lain dengan pendekatan profesionalisme dan penajaman standar jurnalistik oleh media arus utama (mainstream).
Hoax akan selalu ada mewarnai pemberitaan yang dilakukan media massa. Apalagi bila di suatu negara yang sedang atau akan melakukan kegiatan politik atau demokrasi. Namun, tanpa Pilkada pun hoax tetap ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini juga terjadi di negara-negara di dunia. Hoax tak dapat dihindari karena selalu ada.
Menurut peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Muhadi Sugiono, media mainstream harus jelas dan tegas menjunjung profesionalisme pers. Pers harus independen, memihak kebenaran dan kepentingan rakyat, serta tidak takluk pada kepentingan pemodal.
Era kebebasan pers yang ditandai dengan UU Pers No 40/1999 bukan hanya mengatur ruang dalam pola melaporkan fakta, tetapi juga latar belakang kepentingan di balik industri pers. Tidak bisa dimungkiri institusi pers bersanding dengan konglomerasi. Hal seperti ini sah saja karena dunia jurnalisme mainstream membutuhkan modal besar, tetapi harus taat pada aturan dan etika.
Saat ini kehadiran media sosial sebagai manifestasi dari perkembangan teknologi internet tak bisa dielakkan. Setiap individu dapat dengan sangat mudah dan murah mengakses internet melalui ponsel atau smartphone. Belum lagi berbagai layanan dan aplikasi sehingga kehadiran medsos menjadi sangat menggiurkan dibanding media arus utama.
Untuk menangkal kuatnya dominasi medsos, perlu upaya Kementerian Kominfo untuk melakukan intervensi kepada penyelenggara medsos seperti facebook, twitter atau instagram untuk menyaring atau menyeleksi ketat setiap aktivitas berbagi di situs masing-masing.
Di Jerman sudah ada intervensi yang dilakukan pemerintah terhadap penyelenggara medsos. Mereka melakukan kesepakatan, penyelenggara medsos yang melakukan pelanggaran akan dikenai denda. Kebijakan itu harus juga diberlakukan di negara ini, agar jangan sampai hoax di medsos menghancurleburkan negara ini.
Adanya hoax tentunya akan menimbulkan gejolak sosial dan bentrok horizontal. Pers sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki pengaruh yang sangat besar. Walaupun sudah muncul media sosial, namun kepercayaan dan pengaruh pers sebagai arus utama informasi.
Kita semua tentunya sepakat ntuk melawan hoax atau berita palsu alias kabar bohong. Tapi, masalahnya jangan tebang pilih. Harus ada keadilan informasi. Dalam arti membiarkan saja kabar bohong yang menguntungkan penguasa atau membiarkan saja kabar bohong yang tidak ada sangkut pautnya dengan kekuasaan. Tapi ketika ada kabar bohong yang menyinggung sebuah lembaga, cepat sekali aparat menangkapnya, atau melalui Kominfo memblokir begitu saja tanpa penelitian dan pengkajian yang memadai.
Bagi kita semua, solusi paling manjur untuk melawan hoax tak lain tak bukan dengan literasi media. Bukan dengan cara represif macam pemblokiran situs atau pembungkaman suara kritis. Dengan literasi media, kita bisa menghindarkan diri dari dampak buruk kabar bohong bagi kehidupan keseharian maupun kebangsaan kita. Informasi yang keliru, tentu saja berdampak dengan laku keseharian. Apa jadinya kalau beragam keputusan penting apalagi kebijakan publik diambil berdasar kabar bohong atau berita palsu.
Dalam kajian komunikasi, literasi media memang banyak ragam pengertiannya. Tetapi salah satu prinsip gerakan literasi media adalah sebuah usaha yang diarahkan untuk mewujudkan kecakapan kritis dalam mengonsumsi media (bermedia) . Atau mengutip pemikiran Livingstone dalam What is Media Literacy” (2004), menjadikan khalayak berdaya.
Gerakan literasi media sebagai solusi melawan hoax saat ini perlu terus dirawat. Barangkali, semula orang hanya mengonsumsi media saja dan kemudian tersadarkan karena literasi media. Tapi, karena memandang misalnya banyak kabar bohong (hoax) yang muncul, menjadikannya tertantang untuk memproduksi konten sendiri. Hal ini tentunya menjadi sebuah langkah rasional, produktif dan bisa jadi mereka bahkan kemudian berhasil membuat media sendiri. Memang, tentu saja tak mudah. Kaidah-kaidah jurnalistik dasar dan kepenulisan juga perlu diasah agar tak terperosok menjadi media abal-abal” yang kemudian, alih-alih hadir sebagai media alternatif. Akan tetapi malah menambah masalah dengan memunculkan hoax atau kabar bohong baru.
Jadi upaya menghidupkan kembali literasi media inilah kunci dan solusi menangkal hoax. Alih-alih menebar ancaman dan tindakan hukum yang berujung pada penjara bagi masyarakat sipil maya (netizen) ala negara dengan beragam aparatnya, lebih baik pemerintah serius mengedukasi publik tentang pentingnya literasi media. Disinilah perlunya peran pemerintah untuk memfasilitasi gerakan literasi media agar bisa membuat masyarakat melek media dan tak mudah dibohongi oleh media.