
BANJARMASIN – Mantan Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif yang menjalani sidang dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), menyatakan keberatan akan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.
Pada sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Rabu (18/1), JPU KPK yang di koordinatori Ikhsan Fernandi SH MH, menjerat terdakwa Abdul Latif dengan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.
Hal itu sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dalam dakwaan pertama.
Kemudian, dalam dakwaan kedua, JPU menjerat dengan Pasal 3 Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dakwaan JPU yang diuraikan di depan persidangan yang dipimpin Jamser Simanjuntak SH MH, langsung ditanggapi terdakwa dan penasihat hukumnya dari Kantor Hukum OC Kaligis SH MH.
Dalam nota keberatan atau eksepsi terdakwa Abdul Latif bersama penasihat hukumnya menyatakan, kalau dakwaan JPU tidak cermat dan tidak jelas.
“Dakwaan JPU kami anggap kabur atau error in persona, dan kami menganggap dakwaan JPU cacat hukum,” ujar tim penasihat hukum terdakwa.
Kasus atau disidangnya kembali Abdul Latif dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), merupakan hasil dari pengembangan kasus korupsi terdahulu, yakni dugaan suap (gratifikasi) pembangunan Ruang Perawatan RSUD Damanhuri Barabai.
Oleh Pengadilan Tipikor Jakarta saat itu, terdakwa Abdul Latif divonis enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. Ia dinilai terbukti menerima suap Rp 3,6 miliar dalam proyek pembangunan Ruang Rawat RSUD Damanhuri Barabai.
Saat menjabat Bupati HST periode 2016-2021, pada medio 2019, justru hukumannya ditambah lagi oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi tujuh tahun penjara, dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Latif dinilai terbukti menerima fee proyek 7,5 persen dari PT Menara Agung Pusaka, perusahaan milik Dony Witono yang memenangi lelang proyek pembangunan ruang perawatan kelas I, II, VIP dan Super VIP di RSUD Damanhuri Barabai.
Angka Rp 3,6 miliar itu merupakan fee senilai 7,5 persen dari total nilai proyek Rp 54.451.927.000, atau setelah dipotong pajak menjadi Rp 48.016.699.263.
Tak cukup, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) bernomor 5/Pid.Sus-TPK/2023/PN Bjm atas dasar surat penuntutan bernomor 11/TUT.01.03/24/01/2023 tertanggal 12 Januari 2023 yang dilimpahkan ke PN Banjarmasin.
Dalam dakwaan, dipaparkan terdakwa Abdul Latif pada periode Februari 2016 hingga Desember 2017 menerima gratifikasi Rp 41. 553.554.006 di ruang kerjanya di Kantor Bupati HST di Barabai.
Harta kekayaan terdakwa Abdul Latif berupa uang di rekening Bank Mandiri KCP Barabai mencapai Rp 8,2 miliar lebih, dan uang lainnya di BTN Batara Cabang Banjarmasin atas nama H Fauzan Rifani sebesar Rp 2,5 miliar, termasuk pembelian tanah dan bangunan senilai Rp 2.851.350.000 atau Rp 2,8 miliar di Kota Barabai.
Ada pula pembelian mobil mewah sebesar Rp 19,7 miliar lebih untuk Lexus type LC 570, moge BMW, mobil Hummer, Lexus, Toyota Kijang Inova, Cadillac dan lainnya. Uang yang dibelanjakan itu, didakwa KPK berasal dari gratifikasi. ris