
JAKARTA – Kamar Dagang Indonesia (Kadin) menyoroti mahalya harga beras di Indonesia dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Ketua Kadin Arsjad Rasjid mengungkapkan disparitas ini membuka peluang banjir impor beras dan mengancam petani dalam negeri.
“Jika perbedaan antara harga di dalam negeri dengan luar negri terlalu besar, ada kecenderungan beras impor lebih murah, keinginan untuk mendatangkan beras dari luar negeri aka sangat tinggi. Kondisi ini bisa memberikan ancaman bagi petani,” kata Arsjad dalam keterangan tertulis, Kamis (29/12).
Arsjad melansir laporan terbaru World Bank “Indonesia Economic Prospect” yang menyebutkan bhwa harga beras dalam negeri lebih tinggi dari negara lain di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, harga beraIndonesia dua kali lipat lebih tinggi dari Vietnam, Kamboja, dan Myanmar.
Lewat laporan itu, World Bank melihat pentingnya investasi di bidang penelitian dan penmbangan, penyuluhan, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) pertanian agar mampu meningkatkan produktivitas.
Arsjad juga mengingatkan impor beras cadangan pemerintah yang dilakukan oleh Perum Bulog tidak menjadi pengalih fokus dalam menjaga ketahanan pangan. Terlebih, kondisi ekonomi global yang mengalami krisis akibat perang Rusia-Ukraina belu usai.
“Dalam kondisi krisis global, komoditas pangan bisa ikut terimbas dan berdampak serius bagi rantai pasok (supply chain) perdagangan global, termasuk di sektor pangan,” kata Asjad.
“Gangguan pada pasokan berpotensi mendorg kenaikan harga, sehingga daya jangkau masyarakat menjadi lemah mengingat tingkat kesejahteraannya tidak mengalami peningkatan akibat krisis,” sambungnya.
Menurut Arsjad, disparitas harga ini terjadi akibat kebijakan impor beras yang dilakukan Bulog untuk memenuhi CBP. Pemicu impor ini adalah penyusutan stok yan semula berjumlah 1 juta ton pada awal 2022 menjadi 587 ribu ton pada November 2022.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) ada dua wilayah yang memiliki harga beras eceran naik di atas 5 pern per 6 Desember 2022.
Keduanya adalah Sulawesi Barat 6,6 persen dan Kalimantan Tengah sebesar 6 persen. Selain itu, ada sekitar 11 daerah yang masih defisit beras.
Padahal, jika melansir catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia masih mengalami surplus beras hingga 2021.
Kelebihan itu merupakan selisih antara produksi dan konsumsi yang terjadi di 1 provinsi. Sisanya mengalami defisit. Dari sisi persentase, surplus terbesar ada di Sulawesi Selatan, yau 235,5 persen. “Jangan sampai kondisi krisis pangan terjadi di Indonesia, karena dampaknya bisa meluas ke masalah osial,” ucap Arsjad. cnn/mb06