
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Indonesia akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam rapat Paripurna pada hari Selasa, 6
Desember 2022. Berakhirnya penantian panjang untuk memiliki aturan pidana sendiri kini terwujud setelah proses panjang sejak Simposium Hukum Nasional pertama tahun 1963 yang merupakan tonggak awal perumusan dan perencanaan hukum pidana Indonesia untuk menggantikan beleid hukum pidana peninggalan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia yang dikenal dengan Wetboek van Straftrecht akhirnya di penghujung tahun 2022 berhasil dirampungkan dan disahkan untuk menjadi hukum positif Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan ini tentunya menuai pro kontra dari berbagai kalangan, salah satunya adalah KUHP baru ini menjadikan perbuatan kumpul kebo atau istilah hari ini Kohabitasi dapat dipidana yang mana KUHP sebelumnya tidak mengatur demikian. oleh karenanya, pada kesempatan kali ini Penulis mencoba untuk mencari tahu alasan perbuatan kohabitasi ini dijadikan tindak pidana pada KUHP hari ini. Mengenal Kumpul Kebo atau Kohabitasi
Perkembangan zaman terus terjadi dan tingkat kriminalitas pun kian berkembang juga. Fenomena seperti ini tentunya tidak dapat dipandang sebelah mata dalam berkehidupan sehari-hari. Kondisi ini ditambah dengan era globalisasi dan derasnya arus informasi yang menjadikan batas wilayah antar negara pun dapat dihilangkan melalui dunia maya tanpa harus berada di negara tersebut untuk mengenal dan mengetahui apa yang terjadi disana.Kita dapat sepakat untuk menyatakan bahwa Bangsa Indonesia itu terkenal dengan kebudayaan yang tinggi serta menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan dalam kehidupan bermasyarakat kini mempersoalkan timbulnya perbuatan penyimpangan kesusilaan yang disebut dengan kumpul kebo atau kohabitasi. Kohabitasi ialah perbuatan hidup bersama tanpa adanya ikatan suatu perkawinan antara pria dan wanita di mana mereka bersama tinggal dalam satu rumah.
Perbuatan Kohabitasi dulunya dikenal juga dengan istilah Samenleven yang memiliki definisi yang serupa dengan kohabitasi/kumpul kebo. Kohabitasi merupakan perbuatan yang mempunyai ruang lingkup lebih luas apabila dibandingkan dengan zina atau perbuatan cabul lainnya. Perbuatan ini dalam kacamata masyarakat Indonesia dianggap sesuatu yang melanggar norma dan nilai yang dipegang dalam masyarakat walaupun secara yuridis normatif sebelumnya belum ada atau tidak mengancam sanksi pidana terhadap perbuatan kohabitasi tersebut. Hal ini dikarenakan nilai yang dipegang teguh dalam masyarakat Indonesia meyakini bahwa hidup bersama antara dua orang yang berlainan jenis kelamin, dan sudah dewasa harus diikat oleh suatu ikatan perkawinan.
Kumpul Kebo bila ditelusuri istilah yang berasal dari masyarakat Jawa tradisional. Istilah ini
berarti “pasangan yang belum kawin namun tinggal seatap atau serumah, perilakunya itu dianggap sama seperti kerbau”. Secara anecdotal, kerbau dianggap binatang yang bersifat atau bersikap semaunya sendiri, sehingga hidup bersama tanpa ikatan perkawinan dianggap sebagai cermin perilaku semaunya sendiri.
Kohabitasi Akhirnya Dikriminalisasi
Perbuatan Kohabitasi akhirnya dikriminalisasikan dalam produk legislatif dan eksekutif dengan dinamika pembahasan yang begitu fluktuaktif, bagi yang berpandangan kontramenyatakan bahwa banyak negara di belahan dunia masalah susila tidak pernah dipersoalkan karena beranggapan kalau negara tidak berhak untuk mengurus moral dan rasa kesusilaan masyarakat dan diaturnya masalah kohabitasi berarti negara telah memasuki ranah kehidupan seks pribadi. Pandangan kontra berikutnya apabila perbuatan kohabitasi ini dijadikan sebagai tindak pidana, maka akan membuka potensi terciptanya konflik secara horizontal di masyarakat.
Di sisi seberang, anggapan yang berpandangan pro kohabitasi dikriminalisasi adalah perbuatan ini telah menjadi suatu realitas sosial dan memunculkan problem sosial bahkan problem hukum yang berkelanjutan bagi pelakunya akan tetapi belum tersedianya regulasi dan hukum sendiri belum dapat menjamahnya. Oleh karenanya, wajar jika kemudian diwadahi dalam peraturan yang konkret (KUHP). Selama ini di kampung-kampung pun berlaku norma yang menolak pelanggaran moral seperti itu, sehingga pelakunya acapkali mengalami penggerebekkan oleh warga maupun aparat penegak hukum.
Pembaharuan hukum pidana nasional sudah seyogyanya juga dilatarbelakangi dan berorientasi pada ide-ide dasar Pancasila yang mengandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide atau paradigma: moral religius, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial. Lebih lanjut suasana pembaharuan hukum pidana nasional kita kini mulai arah tujuan pemidanaan yang semula hanya sebatas pembalasan, penghukuman atau memberikan efek jera pelaku namun kini bertujuan untuk memperbaiki atau merestorasi perilaku pelaku sehingga kembali ke masyarakat dengan baik.
Pasal Kohabitasi Sebagai “Win-Win Solution”
Rumusan Pasal perihal Kohabitasi akhirnya menemukan jalan tengah pasca dialog ulet akan keberagaman persepsi baik dari legislator hingga masyarakat dari berbagai wilayah diIndonesia. Intisari dari pasal kohabitasi dalam KUHP yang baru, bisa dilihat dalam Pasal 412 yakni:
•Perbuatan kohabitasi atau kumpul kebo hanya dapat diadukan oleh suami atau istri (bagi yang telah menikah) dan orang tua atau anak (bagi yang belum menikah);
•Diancam pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II;
•Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai;
•Keberadaan Pasal ini mengesampingkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-Undang yang mengatur mengenai hidup bersama sebagai suami
istri di luar perkawinan, sepanjang tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat khusus.
Jika diperhatikan intisari dari Pasal 412 tersebut, orientasi atau politik hukum yang memicu perumusan norma ini diwarnai dengan beragamnya pandangan yang pada akhirnya ditemukan titik tengah untuk menengahi banyaknya kepentingan mulai dari menolak hingga menyetujui agar norma ini tetap dimuat. Oleh karenanya isi dari Pasal 412 KUHP sekarang dianggap sebagai Win Win Solution untuk mengakomodir perbedaan pandangan soal Kohabitasi. Terlebih semangat lain yang terkandung dari pasal ini ialah untuk menghormati institusi perkawinan sebagaimana perkawinan itu mempunyai nilai sakral baik dalam kacamata agama maupun masyarakat.
Dengan demikian, setelah begitu lama kekosongan hukum yang terjadi di Indonesia perihal
Kohabitasi/Kumpul Kebo/Samenleven yang hanya mengandalkan norma agama, kesopanan dan kesusilaan untuk mengawal kehidupan masyarakat agar tetap harmoni kini norma hukum pun hadir untuk melengkapi serta melindungi masyarakat dari perbuatan menyimpang ini.