
Penyandang disabilitas, masih kerap mengalami kendala dalam mengakses pelayanan publik. Seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan, penyandang disabilitas masih sangat kesulitan untuk mengakses layanan publik, mulai dari trotoar yang belum semuanya ramah disabilitas/dilengkapi guiding block (menyulitkan disabilitas netra untuk sampai ke kantor layanan), kantor pelayanan publik belum menyediakan jalur ram/kursi roda, belum tersedianya buku panduan layanan dalam bentul huruf braille (berbagai dokumen persyaratan yang cukup banyak, juga harus disiapkan oleh penyandang disabilitas, sehingga menyulitkan untuk penyandang disabilitas netra), hingga belum adanya juru bahasa isyarat (JBI) atau petugas yang mengerti bahasa isyarat, khususnya untuk penyandang disabilitas bisu.
Dikarenakan berbagai kendala akses pelayanan publik tersebut, penyandang disabilitas kesulitan untuk memiliki kartu keluarga, akta kelahiran, mendapatkan layanan kesehatan, mendaftarkan diri sebagai penerima bantuan sosial, hingga kesulitan untuk mengakses layanan pendaftaran/pencatatan pernikahan, khususnya terkait dengan persyaratan administratif pengajuan pernikahan, sehingga beberapa pernikahan warga disabilitas masih belum tercatat (nikah di bawah tangan/siri).
Berbagai kendala tersebut, senada dengan hasil kajian Didi Tersidi, pada Jurnal Asessmen dan Intervensi Anak Kebutuhan Khusus, dipaparkan bahwa kendala umum yang dihadapi penyandang disabilitas dalam mengakses pelayanan publik terdiri dari pertama, hambatan arsitektural yang berdampak pada disabilitas fisik (menggunakan kursi roda, kesulitan gerak otot). Kedua, hambatan informasi yang berdampak pada disabilitas intelektual (tunagrahita/mental retardation). Ketiga, hambatan komunikasi yang berdampak pada disabilitas sensoris (orang tuna netra, tuna rungu/tuli dan tuna wicara/bisu).
Akses terhadap pelayanan publik harusnya merupakan hak setiap warga negara, bahkan tak hanya akses, warga negara juga berhak mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, sesuai dengan asas serta tujuan pelayanan sebagaimana UU Pelayanan Publik, tak terkecuali bagi penyandang disabilitas. Dalam UU Penyandang Disabilitas, dijelaskan bahwa penyandang disabilitas berhak atas aksesibilitas. Aksesibilitas dalam artian mendapatkan kemudahan yang disediakan oleh pemerintah, dengan tujuan untuk mewujudkan kesempatan yang sama, antara penyandang disabilitas dengan pengakses pelayanan publik lainnya.
Dalam konteks pemenuhan hak mendapatkan pelayanan publik, Pemerintah tentu tidak boleh stagnan dalam memberikan pelayanan publik, dengan cara konservatif, yakni dilakukan secara langsung pada kantor instansi, ataupun melalui layanan online, yang tentu tidak mudah untuk diakses, khususnya penyandang disabilitas netra. Berbagai upaya harus dilakukan, agar kendala aksesibilitas pelayanan publik tersebut dapat dicarikan jalan keluarnya.
Salah satu solusi yang memungkinkan untuk dilakukan dan cukup efektif untuk mewujudkan aksesibilitas pelayanan publik bagi penyandang disabilitas, adalah mengimplementasikan citizen’s charter, yang memfokuskan pelayanan pada pengguna layanan. Pelayanan publik dilakukan secara langsung dan berkala, pada domisili penyandang disabilitas. Jika dilakukan secara berkesinambungan, pendekatan tersebut dapat mewujudkan beberapa hal positif untuk mewujudkan aksesibilitas pelayanan publik, yakni pertama, pendekatannya akan mempermudah pengguna layanan (penyandang disabilitas) dan stakeholder lainnya mengontrol praktik penyelenggaraan pelayanan, karena layanan dilakukan langsung pada domisili atau dimana penyandang disabilitas berada. Kedua, pendekatan tersebut mempermudah manajemen pelayanan memperbaiki kinerja penyelenggaraan pelayanan, dan ketiga, pendekatan tersebut mampu membantu manajemen pelayanan mengidentifikasi kebutuhan, harapan dan inspirasi pengguna layanan dan stakeholder lainnya, karena dilakukan secara langsung, sehingga pihak penyelenggara layanan dapat dengan mudah meminta penilaian penyelenggaraan layanan, pada penyandang disabilitas netra sebagai pengguna layanan.
Jika berjalan dengan baik, ketiga hal tersebut dapat menguntungkan bukan hanya bagi penyandang disabilitas, namun juga bagi pemerintah/penyelenggara pelayanan, dengan proses layanan secara langsung, menghadirkan pelayanan publik di tengah lingkungan tinggal penyandang disabilitas. Tentu akan berdampak pada tingkat kepercayaan publik pada pemerintah, dan melayani dengan sepenuh hati, tak hanya menjadi tag line atau janji pelayanan publik semata, namun benar-benar diimplementasikan dan membawa kemudahan bagi penyandang disabilitas. Sehingga menjadi sarana untuk bangkit bersama, membangun bangsa dalam konteks pemenuhan hak pelayanan publik.
Selain itu, instansi penyelenggara/ pemerintah dapat memetakan, bahkan mengelaborasi secara langsung permasalahan pelayanan publik yang dialami penyandang disabilitas, agar terpetakan masalah-masalah pelayanan pubik mana yang masih memerlukan perhatian intensif dan berkelanjutan dari pemerintah, khususnya terkait persoalan aksesibilitas pelayanan publik, karena boleh jadi kerja pemerintah selama ini, sudah sangat baik, bahkan mendapat pengahargaan dan predikat-predikat baik terhadap layanan publik, namun ternyata masih ada kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini penyandang disabilitas, yang nyatanya belum merasakan langsung kejayaan dan citra pelayanan publik dari pemerintah daerah tersebut, dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pelayanan publik bagi penyandang disabilitas netra. Semoga semua pihak, ikut berpartisipasi dan berkomitmen untuk mewujudkan aksesibilitas pelayanan publik bagi penyandang disabilitas netra, karena pada prinsipnya pelayanan publik adalah milik dan hak kita semua, tanpa terkecuali.