Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan Indonesia memiliki 70 persen atau sekitar 144 juta orang pekerja berada di dalam usia produktif. Menurutnya, jika disiapkan dengan baik angkatan kerja produktif jadi potensi besar untuk percepatan pembangunan ekonomi. Sehingga angkatan kerja itu dapat sejahtera sebelum tua. Untuk menjamin hal tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 68 tahun 2022, tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Isi aturan tersebut adalah vokasi dirancang untuk saling melengkapi kebutuhan industri, dan dapat terhubung dengan sistem informasi pasar tenaga kerja. Bahkan industri dapat membiayai pelatihan para pekerjanya atau mendirikan Vokasi (kumparan.com).
Regulasi ini menunjukkan bahwa pemerintah gagal menyediakan lapangan pekerjaan secara independen karena terkooptasi oleh kepentingan industri. Hal ini wajar terjadi sebab sistem kapitalisme menjadikan para pemilik modal (industri) menjadi penguasa sesungguhnya. Sementara penguasa dijadikan sebagai corong regulator yang memuluskan kepentingan mereka. Sehingga pendidikan vokasi dirancang hanya untuk tenaga kerja teknis alias buruh, bukan tenaga kerja ahli. Ketika masuk ke dalam kancah bekerja tentunya standar gaji yang diperoleh tidaklah tinggi.
Maka, teori yang merumuskan jika angkatan produktif siap bekerja dan mendapatkan upah yang bisa menyejahterakan kehidupan mereka dan menggerakkan ekonomi tidaklah tepat. Sebab, pada kenyataannya lapangan pekerjaan dalam sistem kapitalisme yang menyediakan adalah industri. Dan industri menganggap upah sebagai variabel cost yang paling mudah ditekankan. Sekalipun akan ada regulasi kenaikan soal upah minimum provinsi (UMP) 2023 regulasi ini tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama buruh.
Sebab, bisa dipastikan para pelaku industri tentu akan lebih memilih UU Ciptaker daripada regulasi UMP 2023 yang terbaru nanti. Padahal, pengesahan UU Ciptaker membuat para buruh sangat dirugikan. Karena tidak ada jaminan gaji, jaminan kerja, dan hak-hak buruh lainnya.
Selain itu, faktanya kesejahteraan tidak hanya ditentukan dari gaji saja, namun ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan, semisal biaya beban hidup. Dalam sistem kapitalisme layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan menjadi barang komersial. Aturan ini tentu akan menjadi beban rakyat. Bagi rakyat yang berekonomi atas mungkin tidak akan menjadi masalah. Akan tetapi, bagi masyarakat berekonomi rendah seperti buruh misalnya, jelas kebutuhan dasar ini tidak akan sanggup dipenuhi. Pada faktanya, beban biaya pendidikan dan kesehatan semakin tinggi. Maka,sejahtera jelas masih menjadi mimpi.
Ditambah dengan situasi ekonomi yang dalam ancaman resesi, PHK bisa jadi tak terelakkan lagi. Terbaru, perusahaan Philips melakukan PHK kepada 4000 karyawannya (cnbcindonesia.com). Kondisi demikian tentu akan berisiko terhadap lulusan pendidikan vokasi. Inilah bukti nyata kegagalan kapitalisme ketika diterapkan.
Sangat berbeda dengan sistem Khilafah yang terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dan menutup pembajakan pada generasi terdidik untuk kepentingan korporasi. Konsep sistem ekonomi Islam mewajibkan negara untuk memastikan setiap warga negaranya, terjamin kebutuhan hidupnya. Dalam ekonomi Islam, kebutuhan dibagi menjadi dua, yakni kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar publik
Jaminan kebutuhan pokok diwujudkan dengan peran negara yang menjadi pengendali terbukanya lapangan pekerjaan. Orientasi terbukanya lapangan pekerjaan dalam Khilafah adalah pemenuhan kemaslahatan umat. Contohnya untuk pengelolaan sumber daya alam, Khilafah memerlukan tenaga terdidik dan terampil untuk mengurusi hal tersebut.
Tenang terdidik dan terampil ini akan disiapkan oleh lembaga pendidikan vokasi Khilafah. Sehingga kurikulum pendidikan vokasi akan disusun untuk membekali lulusannya dengan ilmu-ilmu terapan yang dibutuhkan masyarakat. Perkembangan teknologi akan disikapi sebagai sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, bukan sekadar kemajuan yang bernilai materi, apalagi kepentingan industri. Sedangkan dalam permasalahan upah, Islam memiliki cara pandang khusus terkait hal tersebut.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nidhzamul Iqtishadiyyah menjelaskan antara buruh dan pengusaha terikat akad ijarah yang saling menguntungkan. Pengusaha diuntungkan dengan jasa yang diberikan pekerja, sementara pekerja diuntungkan dengan upah yang diberikan. Adapun pemberian upah sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja, dan tempat bekerja. Tidak dikaitkan dengan standar hidup minimum masyarakat. Konsep ini akan menjamin upah para pekerja layak dan ma’ruf untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan.
Dengan demikian, tidak akan terjadi pembajakan potensi generasi terdidik dan kezaliman bagi para buruh demi kepentingan korporasi. Generasi terdidik bisa mengerahkan semua potensi yang dimiliki untuk kebaikan Islam dan kaum Muslimin. Sementara masyarakat bisa mendapat kesejahteraan hidup.
Sedangkan kebutuhan publik yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan menjadi tanggung jawab Khilafah secara mutlak. Negara yang akan menanggung beban biaya tersebut secara keseluruhan. Karena kebutuhan tersebut memerlukan biaya yang besar untuk mengadakannya. Mekanisme ini akan membuat semua masyarakat, baik dari golongan miskin ataupun kaya dapat menikmati fasilitas layanan umum dengan terbaik, bahkan gratis. Tidak ada diskriminasi layanan publik seperti yang terjadi saat ini.
Dengan demikian, masyarakat hanya perlu mengalokasikan gajinya untuk pemenuhan kebutuhan pokok mereka dan keluarganya. Mereka tidak perlu memikirkan biaya untuk menjangkau kebutuhan dasar publik tersebut. Alhasil, kesejahteraan masyarakat benar-benar nyata terjadi bukan sekadar mimpi. Sebagai salah satu buktinya, ketika pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak ditemukan warga yang berhak menerima zakat selama kepemimpinan yang hanya berlangsung 2 – 3 tahun.
Secara faktual, neoliberalisme akan melahirkan neoimperialisme, yakni penjajahan secara ekonomi dan politik. Tentu hal tersebut akan menjadi sumber bencana bagi rakyat. Di antaranya adalah semakin terhimpitnya rakyat oleh berbagai kebijakan ekonomi yang tidak pro-rakyat, seperti pencabutan subsidi dan sejenisnya. Karenanya, seruan untuk menghapus sistem neoliberalisme dan menggantikannya dengan sistem Islam merupakan seruan yang tidak hanya logis, namun cerdas.[]