Kamis, Agustus 21, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Isu Kesehatan Mental dan Peran Negara

by matabanua
16 November 2022
in Opini
0
D:\2022\November 2022\17 November 2022\8\8\lilik suryani.jpg
Lilik Suryani (Pekerjaan : Pengamat Psikologi Kesehatan Mental (Bekerja pada Ombudsman Republik Indonesia Prov. Kalsel)

 

Headline berita media cetak dan elektronik, beberapa bulan terakhir dikejutkan dengan berita bunuh diri yang dilakukan oleh TSR asal Yogyakarta dan seorang wanita muda asal Surabaya. Berdasarkan berita yang ditelusuri, penyebab keduanya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena permasalahan hidup, sehingga mengakibatkan stres dan depresi. Data Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 16.000 kasus bunuh diri setiap tahunya (data terbaru belum dirilis karena beragam alasan, termasuk perbedaan standar dan sistem pencatatan bunuh diri di rumah sakit). Sedangkan, data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 80% pengidap gangguan psikologis, setidaknya pernah melakukan satu kali usaha bunuh diri. Sehingga bunuh diri kerapkali dikaitkan dengan gangguan psikologis seperti depresi, gangguan kepribadian, gangguan mood dan­ gangguan kecemasan.

Artikel Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Krisis Gaza (Pelaparan Sistemis) dan Momentum Kebangkitan Umat

20 Agustus 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Wisata Gunung Kayangan: Pesona Alam Terbengkalai

20 Agustus 2025
Load More

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada bulan Juni 2020, mencatat bahwa setidaknya di Indonesia terdapat 277 ribu kasus gangguan psikologis. Bayangkan jika dari sekian ratus ribu penderita, memiliki kecenderungan pemikiran yang sama yakni ingin mengakihiri hidup mereka. Berapa banyak warga negara Indonesia yang harus kehilangan nyawa akibat pemikiran destruktif (merusak) yang tidak bisa mereka kendalikan, padahal pemikiran destruktif ini harusnya bisa disembuhkan melalui pendekatan-pendekatan psikologi. Disinilah peran negara harusnya hadir untuk memberikan pelayanan kesehatan mental bagi warga negaranya.

Jika dilihat, isu-isu kesehatan mental memang tidak begitu menarik jika dibandingkan isu-isu politik ataupun ekonomi. Akan tetapi, permasalahan terkait kesehatan mental merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas dan indeks pembangunan manusia, jika dikelola dengan baik maka akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan suatu negara. Seperti contoh negara Swedia, menurut majalah theceomagazine.com negara ini mendapatkan predikat negara dengan penanganan kesehatan mental terbaik di dunia. Tidak heran jika tingkat kesejahteraan dan usia harapan hidup warga negaranya tinggi bahkan mencapai usia 84 tahun. Tentunya, Pemerintah di Swedia juga memiliki peran yang sangat penting dalam menjadikan negaranya sebagai negara dengan berpredikat penanganan kesehatan mental terbaik di dunia, seperti menyediakan ruang terbuka hijau yang dipercaya dapat mereduksi stres, kebijakan bekerja hanya 9 jam perhari bahkan sampai masalah asuransi kesehatan yang begitu diperhatikan. Di Indonesia, tingginya kasus bunuh diri harusnya menjadi bahan evaluasi oleh Pemerintah, apakah negara benar-benar sudah hadir terhadap isu-isu kesehatan mental?

Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28G Ayat 1 berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa Pasal 75 “Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki tugas, dan tanggung jawab terhadap penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa”. Merujuk pada ketentuan tersebut, permasalahan terkait kesehatan termasuk kesehatan mental merupakan hak dasar bagi warga negara Indonesia dan seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah, baik Pemerintah Pusat dan Daerah. Lantas apakah Pemerintah sudah melaksanakan tugas dan kewajibanya tersebut?

Dalam Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, menyebutkan bahwa terdapat 4 upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam mengatasi permasalahan terkait kesehatan jiwa, yaitu upaya: promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Keempat upaya tersebut apabila dapat diimplementasikan akan menghasilkan suatu kebijakan yang unggul dalam dunia kesehatan khususnya kesehatan mental. Akan tetapi, sebagai orang yang manaruh kepedulian di dunia kesehatan mental, penulis merasa masih banyak catatan untuk Pemerintah. Beberapa catatan yang bisa menjadi bahan pertimbangan Pemerintah di lapangan sebagai berikut:

Pertama upaya promotif, dapat dilihat dari kurangnya iklan layanan masyarakat yang bertema kesehatan mental. Terlebih isu-isu yang berkaitan dengan stigma terhadap penderita gangguan jiwa, yang kerapkali dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat negatif akan mempengaruhi keputusan penderita gangguan jiwa untuk mengakses pelayanan kesehatan mental.

Kedua, preventif sesuai dengan Pasal 15 tentang Undang-Undang Kesehatan Jiwa “menyediakan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan”. Upaya konseling ini dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti Puskesmas, sebagai fasilitas kesehatan pertama yang bisa dikunjungi masyarakat, yang menjadi catatan adalah ternyata besarnya populasi Indonesia yang hampir mencapai 260 juta jiwa nyatanya tidak sebanding dengan jumlah profesi kesehatan jiwa. Sebagai data perbandingan, pada tahun 2018 jumlah tenaga profesi kesehatan jiwa hanya sejumlah 1.224, yang terdiri dari psikiater dan psikolog klinis. Seharusnya jika dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk Indonesia, jumlah tenaga yang dibutuhkan sebanyak 7500 tenaga. Tersedianya jumlah tenaga kesehatan yang mumpuni, seperti psikiater dan psikolog diharapkan dapat membantu masyarakat dalam melakukan deteksi dini masalah kejiwaan, serta bagian dari upaya preventif Pemerintah dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan di tingkat Kecamatan sampai Desa.

Ketiga, upaya kuratif “Berdasarkan Pasal 20 Ayat 1 Penatalaksanaan kondisi kejiwaan pada ODGJ dilakukan di fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa”. Sedangkan fakta di lapangan menyebutkan bahwa akses pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih belum merata. Masih banyak Rumah Sakit di Indonesia yang tidak menyediakan akses pelayanan psikologis. Provinsi Banten contohnya, yang sampai saat ini belum memiliki Rumah Sakit Jiwa (saat ini masih dalam upaya rencana pembangunan). Hal tersebut tentunya menjadi sebuah catatan bagi Pemerintah. Catatan lain adalah masih banyaknya layanan kesehatan primer seperti Puskesmas atau RSJ yang kekurangan ketersediaan obat bagi penderita gangguan jiwa.

Keempat, upaya rehabilitatif berdasarkan Pasal 25 diantaranya berbunyi “memulihkan fungsi sosial ODGJ”. Upaya pemulihan fungsi sosial ODGJ (Orang Dengan Ganggua Jiwa) ternyata sudah diatur oleh Pemerintah. Pemberian pelatihan dan keterampilan ODGJ selama masa penyembuhan juga harusnya mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Agar mantan ODGJ dapat berbaur dengan masyarakat dan kembali memulai kehidupanya sebagai manusia yang normal.

Tingginya kasus gangguan jiwa yang erat kaitanya dengan kasus bunuh diri, harusnya menjadi PR kita bersama, baik Pemerintah Pusat, Daerah, hingga masyarakat. Mulai dari Pemerintah Pusat dan Daerah yang dapat melakukan upaya sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dimulai dari upaya promotif, preventif, kuratif hingga rehabilitatif. Peraturan tersebut sudah sangat bagus dengan memperhatikan upaya penanganan dari hulu ke hilir termasuk penerapan upaya mulai dari lingkungan keluarga, sekolah hingga tempat kerja. Akan tetapi kualitas suatu kebijakan harusnya tidak sebatas redaksional saja, akan jauh lebih baik jika diimplementasikan untuk memastikan bahwa negara benar-benar sudah hadir untuk warga negaranya walaupun, membutuhkan proses yang bertahap. Sedangkan upaya yang bisa dilakukan masyarakat adalah dengan menambah pengetahuan terkait isu-isu kesehatan mental, pengetahuan tinggi masyarakat tentang kesehatan mental dinilai akan mereduksi stigma terhadap ODGJ, sehingga para penderita gangguan jiwa dapat leluasa untuk mengakses pelayanan kesehatan jiwa tanpa perlu khawatir terhadap stigma negatif masyarakat.

 

 

Tags: Isu Kesehatan MentalLilik SuryaniP2MKJNPengamat Psikologi Kesehatan Mental
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA