
Perkawinan anak mengalami peningkatan tajam selama masa pandemic Covid-19 seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bahwa persentase kenaikan perkawinan anak hingga 300% apabila dibandingkan dengan tahun 2019.
Anak Indonesia yang berjumlah 79,55 juta jiwa merupakan generasi penerus bangsa. Oleh karenanya Anak sebagai aset bangsa mutlak mendapatkan pemenuhan hak atas pendidikan, kesehatan, pengasuhan yang layak serta perlindungan dari segala bentuk kekerasan, termasuk perlindungan dari praktik perkawinan anak, karena hal tersebut akan mengancam kualitas hidupnya kelak.
Perkawinan Dini dan Regulasi Hari Ini
Perkawinan Dini atau Perkawinan Dibawah Umur adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yaitu sangat di awal waktu tertentu. Bagi orang-orang yang hidup pada awal abad ke-20 atau sebelumnya, perkawinan lelaki pada usia 17 tahun dan perempuan 15 tahun adalah hal yang biasa, tidak terasa istimewa. Begitu juga pada awal UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan. Dalam regulasi itu, lelaki dan perempuan diberikan batas minimum untuk melangsungkan perkawinan yakni usia 19 dan 16 tahun yang kemudian regulasi diperbaharui menjadi 19 tahun baik untuk lelaki maupun perempuan. Akan tetapi bagi masyarakat hari ini, hal demikian merupakan fenomena yang aneh. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia masih dibawah umur dianggap tidak wajar atau disebut terlalu dini istilahnya.
Perkawinan dini merupakan persoalan yang serius, kompleks, dan multidimensi. Melihat data Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia yang mengemukakan bahwa negara kita masuk dalam 10 besar negara dengan angka perkawinan dini di dunia. Tentu, beragam faktor yang menjadi penyebab terjadinya perkawinan dini, di antaranya adalah faktor pendidikan, ekonomi, budaya, dan yang menjadi faktor yang paling mendominasi adalah kehamilan di luar perkawinan.
Banyak harapan pasca diubahnya ketentuan batas usia minimum untuk melangsungkan perkawinan yang mulanya baginya perempuan minimalnya 16 tahun dan laki-laki 19 tahun kemudian disamakan menjadi 19 tahun, ketentuan ini bisa dilihat pada Pasal 7 Ayat 1 UU No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Harapan karena diubahnya ketentuan ini agar dapat menekan angka perkawinan dini di Indonesia.
Semangat untuk menekan angka perkawinan dini ini dibenturkan pula dengan adanya penyimpangan terhadap batas usia minimum perkawinan dengan cara meminta dispensasi kawin kepada pengadilan dengan alasan yang sangat mendesak serta alat bukti pendukung yang cukup. Alasan yang mendesak adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan amat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan, namun bagaimana kriteria yang dapat dikategorikan sebagai alasan yang mendesak, hal demikian tidak diatur lebih rinci sehingga menyebabkan banyaknya permohonan Dispensasi Kawin kepada pengadilan yang berwenang.
Upaya Pencegahan Sedari Dini
Dinaikkannya batas usia minimal dan menyamaratakan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun, dilatarbelakangi penyesuaian dengan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai batas usia anak. Menurut Soerjono Soekanto efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh lima faktor, yaitu: faktor hukumnya sendiri (undang-undang), faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Sependek pemahaman penulis terkait perkawinan dini di Indonesia jika meminjam kacamata Soerjono Soekanto tersebut, dari kelima faktor itu setidaknya ada 2 faktor yang masih menjadi catatan yakni, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Kedua faktor ini menjadi tantangan yang mengakar rumput dari persoalan perkawinan dini. Ada persepsi yang berkembang di masyarakat kalau perkawinan dini masih bisa dilaksanakan melalui pengadilan dengan memberikan dispensasi kawin, padahal dispensasi kawin ini tidak dapat diartikan untuk membuka kemungkinan terjadinya perkawinan dini melainkan untuk membuka terjadinya perkawinan yang terpaksa, mengapa bisa dikatakan demikian? sebab adanya gadis di bawah umur sudah hamil namun belum nikah. Sehingga ini perlu direnungi kembali oleh kita bersama.
Perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, seyogyanya masyarakat turut menyesuaikan dengan aturan yang telah dibuat agar menjadikan masyarakat yang hidup harmonis dalam melangsungkan perkawinan dan tentunya dilindungi oleh hukum sebagai alat pengatur masyarakat.
Oleh karenanya guna menekan angka perkawinan dini, program sosialisasi maupun kampanye bahaya perkawinan dini perlu digalakkan secara holistik terlebih di era serba digital ini memudahkan untuk mentransmisikan informasi dan edukasi agar membangun kesadaran dan pengetahuan anak maupun orang tua terhadap risiko dan bahaya perkawinan dini.
Dan peran seluruh aparat penegak hukum terutama hakim untuk memperketat dan selektif dalam memberikan dispensasi kawin. Ini bertujuan untuk menekan angka perkawinan dini dan rentetan dampak negatif yang akan merugikan anak serta dispensasi kawin ini juga tidak disalahgunakan yang sebagaimana mestinya.