oleh: Thalita Chelsea Novaryanda,Mahasiswa Fakultas Hukum ULM
“The best way to predict the future is to create it.” ucap Abraham Lincoln, seorang Presiden Amerika Serikat ke-16 yang menjabat hingga tahun 1865. Seperti yang telah beliau katakan, untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya. Salah satu tindakan yang tepat adalah meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Namun, untuk mewujudkannya, Indonesia harus memberantas permasalahan pernikahan dini. Banyaknya orang tua yang menikahkan anaknya karena keterbatasan biaya. Terutama di Kalimantan Selatan. Benarkah hanya karena ekonomi?
Pernikahan dini merupakan suatu pernikahan yang dilaksanakan oleh salah satu atau kedua mempelai yang belum cukup umurnya berdasarkan Undang-undang. Ini merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia dan turut menjadi faktor yang menghambat Indonesia untuk maju. Usia minimal untuk menikah menurut Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 29, laki-laki adalah minimal 18 tahun dan perempuan adalah minimal 15 tahun. Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, disebutkan bahwa hanya pria dan wanita sudah berumur 19 tahun yang diizinkan untuk menikah.
Kalimantan Selatan sempat berada di posisi ke-6 tertinggi pada tahun 2020. Angka pernikahan dini di Kalsel naik 2 tingkat dengan angka perempuan menikah sebelum usia 18 di Indonesia yaitu 15,30%. Ini merupakan prestasi yang tidak dibanggakan.
Sebagian besar orang tua beralasan karena tidak sanggup membiayai pendidikan dan kebutuhan hidup anak yang diiringi dengan pandangan bahwa perempuan yang berusia 20 tahun sudah tergolong tua untuk menikah. Sehingga tidak jarang orang tua yang lebih memilih menikahkan anaknya karena pandangan tersebut dan mengorbankan pendidikan. Tindakan tersebut jelas melanggar hak yang seharusnya anak dapatkan dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang No. 23 tahun 2002 yang mengatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. Dalam Undang-undang yang sama pada pasal 26 ayat (1) huruf c disebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.
Penerimaan informasi yang tidak sesuai umur serta pergaulan bebas dikalangan generasi muda juga menjadi faktor penyebab meningkatnya kasus pernikahan dini hingga hamil diluar ikatan pernikahan. Pernikahan dini memiliki banyak resiko seperti pernikahan yang tidak dapat dicatat karena syarat umur yang tidak mencukupi. Sehingga pembelaan dihadapan hukum terhadap hak diri sendiri dan anak, harta benda, hingga pewarisan tidak dapat dijalankan. Salah satu resiko dapat dilihat dalam pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam hal ini, banyak hak-hak anak yang direnggut hanya karena tidak tercatatnya suatu peristiwa pernikahan kedua orang tuanya. Perlindungan istri dari KDRT pun tidak akan didapatkan karena pernikahan tersebut dianggap tidak pernah terjadi di mata hukum.
Pernikahan dini sebagian besar terjadi karena kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai berbagai bantuan pendidikan, sistem reproduksi, mental, dan dampak hukum yang akan terjadi. Untuk memutus rantai budaya pernikahan dini, penyuluhan masyarakat dapat dijadikan langkah awal yang perlu diberikan untuk edukasi dan memahami permasalahan pernikahan dini hingga hak-hak anak yang harus didapatkan. Selain itu, penerapan hukuman kepada pelaku juga perlu diberikan sehingga tumbuhnya tingkat kesadaran hukum dan lebih menghargai satu sama lain. Program beasiswa dari pemerintah pun diharapkan untuk lebih adil dan teliti dalam menyeleksi penerima bantuan dana pendidikan agar tidak terjadi salah sasaran.