
Indonesia perlu mewaspadai inflasi tinggi. Gejalanya mulai terlihat. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi Indonesia pada bulan Juli 2022 sebesar 4,94 persen (tahun ke tahun/yoy). Inflasi pada bulan tersebut dipicu terutama karena harga pangan dalam negeri yang terus naik. Inflasi ini menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015. Sudah hampir tujuh tahun rekor inflasi tertinggi ini bertahan. Saat itu inflasi menyentuh 6,25 persen.
Data inflasi teranyar dari BPS, Agustus 2022 sebenarnya telah terjadi deflasi (inflasi minus), yakni 0,21 persen. Namun kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), per 3 September 2022, berpotensi memicu kenaikan harga barang-barang lainnya. Jelas situasi ini akan menyulitkan Indonesia dalam konteks pengendalian inflasi. Untungnya Indonesia piawai mengambil langkah antisipatif agar dampak inflasi tidak semakin liar.
Inflasi yang terjadi saat ini adalah bagian dari fenomena uncertainty (ketidakpastian) global. Dunia dihadapkan pada ketidakpastian dengan berbagai kompleksitas permasalahan di dalamnya. Permasalahan semakin ruwet ketika bola inflasi menjadi sulit dikendalikan. Ancaman inflasipun begitu nyata. Amerika Serikat (AS) yang sering kali menjadi barometer ekonomi dunia, tak luput dari terjangan inflasi. Bulan Juni 2022, inflasi negara ini menyentuh angka 9,1 persen (yoy). Pemicunya karena meningkatnya harga komoditas energi, khususnya bensin yang mencapai 60 persen.
Inflasi AS ternyata tidak seberapa dibandingkan negara berikut. Lebanon mencatatkan inflasi pada Mei 2022 sebesar 211 persen. Luar biasa. Inflasi yang termasuk kategori hiperinflasi, karena di atas 100 persen. Lebanon menjadi negara dengan inflasi tertinggi di dunia sebagaimana laporan dari Trading Economics, Selasa (19/7/2022). Di bawahnya negara Sudan (192 persen pada Mei 2022), dan Zimbabwe (192 persen pada Juni 2022). Selain tiga negara tersebut, Venezuela dan Suriah juga mengalami hiperinflasi.
Jika dibandingkan dengan negara di atas, inflasi Indonesia memang relatif rendah. Namun tetap perlu diwaspadai, sebab pergerakannya yang terus merambat naik. Jika berpatokan pada target pemerintah sebesar 2 hingga 4 persen per tahun, maka inflasi Indonesia sudah mendekati batas atas. Secara tahun kalender 2022, inflasi hingga di bulan Agustus terakumulasi sebesar 3,63 persen. Padahal tahun 2022 masih menyisakan empat bulan. Indonesia perlu mengantisipasi agar inflasi berada pada jalur stabil sesuai target Pemerintah. Tentu saja kita berharap agar inflasi tinggi pada negara Lebanon, Sudan, Zimbabwe, Venezuela dan Suriah tidak terjadi pada negara kita.
Faktor Penyebab
Inflasi pada hakikatnya seperti garam. Pada takaran yang pas, garam memberikan rasa sedap pada makanan. Namun jika tidak, maka rasa sedap itu tidak muncul. Bahkan jika pada takaran yang sangat berlebih, justru akan merusak cita rasa dan pada akhirnya dapat membahayakan kondisi tubuh manusia.
Begitu pula dengan inflasi. Inflasi pada takaran yang pas (terjaga dan terkendali) sesungguhnya memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sejatinya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Inflasi yang pas juga menarik investor dan pelaku usaha untuk menggerakkan roda ekonomi. Sebab ada harapan memberikan keuntungan bagi mereka.
Namun situasi akan terbalik jika inflasi terus merangkak naik dan tidak terkendali. Berbagai dampak akan timbul. Daya beli masyarakat tergerus ke bawah, sebab harga-harga kebutuhan meningkat. Masyarakat harus membayar lebih mahal kebutuhannya. Ini artinya pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan berpotensi mendorong masyarakat pada jurang kemiskinan.
Hiperinflasi seperti negara-negara di atas sudah menjadi sinyal bahaya bagi perekonomian. Belum lagi ancaman munculnya stagflasi. Stagflasi merupakan periode pertumbuhan yang lemah dengan tingkat inflasi yang tinggi. Potensi stagflasi di Indonesia sebenarnya masih relatif rendah, meskipun realisasi inflasi terus merangkak naik.
Melihat dampak inflasi yang tidak terkendali, maka perlu diambil langkah antisipasi agar inflasi yang tidak terkendali dapat dicegah. Langkah-langkah ini diambil dengan memperhatikan sumber terjadinya inflasi. Inflasi dapat muncul karena berbagai faktor. Secara umum terjadi karena adanya tekanan dari sisi penawaran (supply), karena tarikan permintaan (demand) dan karena harapan masyarakat terhadap inflasi mendatang.
Faktor-faktor yang berasal dari sisi penawaran dapat disebabkan oleh depresiasi (penurunan) nilai tukar, pengaruh inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (seperti listrik, bahan bakar, dll), dan adanya gangguan pada proses produksi hingga distribusi. Sementara dari sisi permintaan adalah tingginya permintaan barang dan jasa oleh masyarakat sementara ketersediaan barang dan jasa tersebut tidak mencukupi. Terakhir, faktor ekspektasi terhadap inflasi pada masa mendatang.
Waspada dan Antisipasi
Penanganan inflasi dapat melihat berdasarkan sumber penyebabnya, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Namun terkadang inflasi dapat berupa kombinasi ketiga penyebab inflasi. Oleh karena itu kebijakan pengendalian yang diambil tak jarang menjadi lebih komplek. Indonesia beruntung, karena pemerintah memberikan perhatian terhadap inflasi. Pengalaman masa lalu menjadi pegangan pemerintah dalam mengendalikan inflasi. Dalam sejarahnya Indonesia telah beberapa kali mengalami hiperinflasi.
Saat inipun, Pemerintah sudah mengambil langkah penting, termasuk kebijakan pasca kenaikan harga BBM. Pemerintah kemudian mengambil cara dengan mengatur distribusi BBM bersubsidi. Subsidi energi juga diupayakan tepat sasaran agar dapat meredam dampaknya. Sementara komoditas bahan pangan dalam negeri diatur ketersediaannya agar mencukupi dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Di lain pihak Bank Indonesia berupaya menahan inflasi dengan kebijakan moneter yang lebih ketat, salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan. Sementara dari sisi konsumsen, pemerintah telah menyiapkan bantalan berupa bantuan tunai untuk menahan turunnya daya beli masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM.
Pada akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa inflasi yang terkendali dan stabil merupakan syarat penting bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sekali lagi, ekonomi yang tumbuh akan bermuara pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Bukan inflasi tinggi yang akan membebani konsumsi masyarakat.
Menarik untuk dinanti inflasi bulan September 2022 yang akan dirilis oleh BPS pada awal Oktober 2022 nanti. Apakah kenaikan BBM turut menyeret kenaikan harga komoditas secara umum? Akankah inflasi kembali meroket? ataukah justru sebaliknya inflasi dapat terkendali karena keberhasilan langkah antisipatif pemerintah dengan melihat gejala akan terjadinya inflasi tinggi? Semoga inflasi Indonesia semakin terkendali dan berada pada batas toleransi sebagaimana yang ditargetkan oleh pemerintah.