Oleh : Nurul Afianty, SP (Aktivis Muslimah)
Indonesia adalah negara kepulauan dengan luasan dataran subur yang luar biasa. Selain itu, Indonesia juga termasuk dalam salah satu negara dengan sumber daya air yang melimpah (maritim), karena menyimpan 6 % potensi air di dunia. Tetapi tahukah Anda bahwa pada tahun 2019, pemerintah sempat memprediksi kekeringan di Indonesia yang akan dialami hampir 28 provinsi Ketika musim kemarau tiba.
Berdasarkan riset dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memberikan hasil perkiraan curah hujan di musim kemarau mulai bulan Agustus 2019, yaitu 64,94 % wilayah Indonesia akan mengalami curah hujan yang masuk pada kategori rendah, yakni di bawah 100 mm/bulan.
Pada musim kemarau tahun 2019, BMKG menyatakan akan terjadi kekeringan Panjang akibat beberapa faktor, diantaranya fenomena El Nino, kuatnya Muson Australia dan anomaly peningkatan suhu udara akibat perubahan iklim. Bahkan diprediksi ketersediaan air untuk setiap penduduk di Jawa akan terus menurun hingga 476 meter kubik per tahun pada 2040, dimana awalnya setiap orang memiliki ketersediaan air sebanyak 1.169 meter kubik air per tahun. (Www.bmh.or.id/2 September 2022)
Kekeringan yang meluas ini juga mengancam Jawa Timur. Situasi tersebut tidak hanya memicu krisis air untuk memenuhi kebutuhan warga, tetapi juga dapat menyebabkan penurunan produksi beras. Potensi tersebut mendorong Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) mengajukan usulan percepatan masa tanam di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur. Percepatan masa tanam difokuskan pada daerah yang memiliki cadangan air irigasi. Terutama di daerah/kota yang dilalui Daerah Aliran Sungai (DAS) besar. Langkah ini dilakukan untuk menjaga produktivitas padi di Jawa Timur yang selama ini dikenal sebagai lumbung nasional. (Surabaya.suara.com/3 September 2022)
Dampak kekeringan juga dirasakan di Lombok Timur. Masyarakat nelayan di Dusun Toroh, kecamatan Keruak, Lombok Timur menerima bantuan air bersih dan sembako dari Polres Lombok Timur. Salmiwati, warga penerima manfaat dari Dusun Toroh mengatakan, biasanya ia dan warga membeli air seharga Rp 50.000,- untuk kebutuhan minum, masak dan mandi selama seminggu. Sepanjang tahun, wilayah ini dilanda kekurangan air bersih, sehingga warga terpaksa membeli air setiap hari untuk kebutuhan sehari-hari. (Lombok.Tribunnews.com/10 September 2022)
Demikian pula, kondisi serupa juga menimpa beberapa wilayah di Indonesia. Kondisi ini terus berulang. Seolah sudah menjadi rutinitas yang harus dimaklumi oleh rakyat, tanpa gambaran yang jelas tentang apa yang menjadi sumber masalah dari terjadinya kekeringan ini.
Kapitalisasi Sumber Daya Air
Berbagai peristiwa kekeringan yang menimpa negeri ini harusnya membuka mata kita terhadap akar masalah penyebabnya. Bukan semata-mata perubahan iklim, namun ada penyebab awal dari terjadinya perubahan iklim tersebut. Krisis air bersih disebabkan oleh kombinasi dari tiga faktor yaitu pertumbuhan populasi dan perubahan demografi, urbanisasi dan perubahan iklim itu sendiri. Oleh karena itu, kondisi ini meniscayakan pengelolaan air yang efisien untuk memastikan keberlanjutan ketersediaan air bersih untuk seluruh masyarakat dan juga makhluk bumi yang lain.
Menurunnya cadangan air minum dalam lapisan tanah akibat eksploitasi terhadap sumber mata air lapisan tanah tersebut karena masifnya pembabatan hutan. Selain itu, juga akibat konversi lahan produktif menjadi pemukiman dan industry, serta kondisi cuaca yang semakin tidak menentu, pencemaran lingkungan, dan pemanasan global menjadi ‘penyempurna’ terjadinya kekeringan ini.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terkait pengelolaan air bersihpun sangat kental dengan aroma kapitalis. Berbagai kebijakan dibuat, termasuk di dalamnya dengan mendorong investor luar negeri untuk berinvestasi pada Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Indonesia. Mencermati hal ini, tampak sangat jelas bahwa pengelolaan sumber daya air yang melibatkan swasta dan asing akan berwujud bisnis semata.
Dalam pandangan kapitalisme, air adalah sumber daya vital bagi individu, jelas dipandang sebagai komoditas ekonomi. Sehingga, akan terlihat bagaimana para pemodal juga tak akan segan menempuh berbagai cara untuk menguasai daerah-daerah yang mengandung sumber daya komersial.
Islam Menjamin Ketersediaan Air
Air adalah salah satu sumber daya milik umum, maka Islam telah dengan jelas melarang individu/kelompok untuk menguasainya. Sehingga tak ada celah sedikitpun untuk bisa memprivatisasi sumber daya ini, apalagi dikapitalisasi.
Rasulullah SAW bersabda : “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Hadits tersebut menegaskan bahwa sumber daya alam, baik yang hayati maupun non hayati, adalah milik umum. Oleh karena itu, sumber daya alam ini tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, kelompok ataupun negara. Negara di sini hanya menjadi wakil masyarakat dalam pengelolaan dan pengaturan pemanfaatannya (padang rumpu/hutan, air dan api/energi), sehingga seluruh masyarakat bisa merasakan manfaat dari harta-harta milik umum tersebut secara adil.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : “Imam/Khalifah adalah raa’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Maka, sudah selayaknya negeri kita ini menjadi negara Ideologis, negara yang mandiri, negara yang mampu mencari solusi atas berbagai permasalahan negeri. Termasuk harus bersegera berlepas diri dari cengkeraman sistem kapitalisme beserta negara-negara pengembannya, yang menjadi perampok atas sumber daya alam yang dimiliki negeri ini.
Oleh karena itu, menjadi jelas bagi kita bahwa satu-satunya solusi untuk mengatasi krisis air bersih dan ancaman kekeringan adalah dengan mengembalikan pengelolaannya sesuai dengan aturan dari Sang Pencipta air, Allah SWT. Dan sistem pengelolaannya harus diwujudkan melalui tegaknya negara yang menerapkan aturan Pencipta, yaitu Syari’at Islam secara kaffah.