
Indonesia merupakan negara dengan keberagaman suku etnis agama yang sangat banyak. menurut data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, ada sekitar 1.340 suku dan ada 6 agama yang sudah diakui oleh bangsa Indonesia.
Walaupun menurut survey dari BPS ini menyatakan bahwa keberagaman bangsa Indonesia tergolong dalam kondisi yang terpolar dan tak berpotensi mengalami perpecahan, namun sedikit banyaknya barang tentu dapat kita ketahui bahwasanya hal tersebut pasti berdampak terhadap iklim sosial dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Tak sedikit terdengar atau mungkin terlihat atau bahkan kita rasakan sendiri konflik atau kasus yang menyanggah pernyataan dari bps tersebut.
Menyikapi hal tersebut sebagai respon atau mungkin pencegahan dari dalam diri kita tentunya pemahaman terhadap keberagaman ini perlu kita dalami dan manajemen dalam satu narasi yang akan penulis bawa yaitu mengenai isu toleransi. Toleransi secara bahasa berarti tenggang rasa, toleransi juga bisa kita artikan sebagai perilaku atau sikap dalam saling menghargai.
Toleransi merupakan istilah moderen dalam menghargai dan menerima pendapat dan pilihan dari orang lain. Dalam Islam toleransi disebut dengan Tasamuh, Tasamuh atau tasahul berarti kemudahan, maka dari itu dapat kita katakan bahwa islam memberi kemudahan untuk orang lain dalam memilih dan meyakini apa yang menjadi keyakinan dan pilihannya.
Toleransi dalam Beragama
Toleransi sudah menjadi kampanye dunia dari masa ke masa, toleransi memang sangat berarti luas dan sangat banyak mengandung spesifikasi didalamnya. Isu toleransi ini bagaikan “Gajah di pelupuk mata”, karena banyaknya kejadian yang kita temui kadang sangat dekat dengan kita, dan banyak orang yang terjebak dalam lingkaran setan yang kadang tidak tau harus berbuat apa-apa ketika berada di kondisi tersebut.
Namun jika kita berkaca pada beberapa kasus dan kondisi dari rakyat Indonesia, penulis sangat menaruh perhatian terhadap isu toleransi antar umat beragama yang menurut penulis urgensi pemahamannya sangat harus diperhatikan, terlebih bagi para insan terpelajar sebagai pion perubahan.
Dalam pembahasannya masyarakat Indonesia biasanya akan sangat concern dalam menggaungkan isu ini apabila sudah atau sedang terjadi kasus yang terkait dengan isu tersebut, hal ini yang membuat penulis bingung kenapa hal ini terus terjadi lagi dan lagi dengan algoritma yang serupa. Isu ini sangat sensitif apabila kita bicarakan dengan tidak benar, bahkan beberapa kasus isu ini sempat “BERDARAH” dalam artian kondisi atau bahkan memang pada arti sebenarnya.
Isu ini sangat memancing dan mengundang perpecahan dari bebagai pihak, dalam hal ini adalah suatu pribadi dan golongan yang mengklaim dirinya sebagai seorang yang menegakkan ajaran agama nya yang menurut dia atau golongannya benar. Di beberapa daerah sangat sering terdengar suatu kasus intoleran ekstrim yang melibatkan umat muslim diantara seperti kasus penutupan paksa gereja dan kesulitan administrasi dalam perizinan gereja.
Tentu hal ini dapat dianggap sebagai sebuah kekeliruan karena terlalu berlebihan dalam menyikapi pilihan dari orang lain. Kasus yang lebih ekstrim lagi adalah aksi teror dari kelompok-kelompok yang sampai menimbulkan korban jiwa seperti kasus bom bunuh diri di salah satu tempat ibadah agama lain. Untuk contoh kasus yang boleh dibilang lebih ringan salah satunya adalah ujaran kebencan di sosial media.
Sosial media merupakan tempat berkumpul baru pada saat sekarang ini, saya menyebut kasus ini ringan tentu bukan dalam konteks resikonya melainkan dari seberapa gampangnya untuk menjadi pelaku dalam kasus ini, jika kita mengukur takaran resiko, sudah barang tentu ini juga tidak kalah dengan kasus-kasus diatas, terlebih media sosial ini jangkauannya lebih luas dan akses untuk melakukan hal tersebut lebih mudah sehingga tidak memerlukan usaha yang terbilang berat untuk melakukannya.
Dari beberapa kasus ini, umat muslim sebagai mayoritas dalam kasus semacam ini seringkali berlandaskan dari pemahaman JIHAD dari seseorang atau golongan tersebut, pemahaman yang salah dan over konservatif itu kadang membuat kita terpenjara dalam pemahaman yang salah terhadap keberagaman itu sendiri.
Refleksi
Jika hal yang sifatnya menghargai akan suatu hal yang sanjung dan diangungkan oleh seseorang maka kita dapat maknai hal itu adalah sebuah toleransi, disini penulis memang bukan seseorang yang sangat tahu dan paham tentang agama yang penulis percayai yaitu Islam. Pemahaman penulis terhadap agama penulis sendiri itupun boleh dibilang hanya di seputaran pengetahuan umum dalam bagaimana cara beribadah dan hidup sesuai dengan syariat islam.
Begitupun kita membuat pembelaan yang bersifat ekstrim yang tentunya hak dalam berekspresi, namun loyalitas dalam beragama sebenarnya bukan masalah, seperti dalam peringatan seseorang tidak ingin mengucapkan Natal. Jika mengucapkan selamat natal bukan berarti ia intoleran, memang terdapat syariat dan ajaran agama yang ia pelajari yang tidak membenarkan untuk mengcapkan kalimat tersebut.
Namun jika kita sedikit membuka pikiran kita, tidak ada dalam ajaran islam yang membenarkan ujaran kebencian terhadap suatu golongan yang tidak satu pilihan dengan kita, apalagi dengan sampai membahayakan hidupnya. Hal seperti memaksa pembenaran dari ajarannya terhadap apa yang orang lain yakini sangat tidak mencerminkan literasi keberagaman pribadi atau golongan tersebut, dan juga sangat jauh dari pola pikir yang mencerminkan sebagai insan yang terdidik .
Sebagai insan yang terdidik tentunya kita sepakat bahwa dalam hidup begitu banyak pembelajaran yang dapat kita dapatkan. Belajar itu bukan hanya tentang sesuatu yang kita yakini saja, tetapi juga tentang sesuatu hal yang tidak kita yakini kita harus pelajari juga, contohnya agama lain. Terhadap orang lain yang berebeda keyakinan disana kita dapat belajar, karena mau bagaimanapun pasti terdapat nilai-nilai yang kita ambil dari mereka.
Hal ini mungkin berguna bagi kita sebagai alasan ataupun pondasi kuat kita dalam lebih mengenal islam itu sendiri dengan tambahan sudut pandang dari agama-agama lain. Kemudian dari mereka kita belajar untuk “tidak setuju” dan akhirnya kita setuju untuk tidak setuju. Karena orang yang tidak setuju karena ilmu berbeda dengan orang yang tidak sepakat akan hal itu karena kebodohan.
Sampailah kita pada akhir pembahasan dimana sudah di berikan opini dan pola pikir dari penulis dalam menyikapi kasus-kasus yang berbau isu toleransi umat beragama. Mungkin pembaca beranggapan bahwa ini tidak relevan dengan keadaan di lapangan yang kondisinya jauh lebih rumit dari ini.
Namun jika kita berkaca dengan kejadian lapangan juga tentu penulis juga memiliki alasan yang kuat, yaitu bahwa dalam menghadapi sebuah permasalahan bekal kognitif dari setiap individu harus sudah terkonsep dengan benar terlebih dahulu agar kesiapan ini tinggal di kondisikan dengan situasi dan peristiwa lapangan. Besar harapan penulis terhadap ketercapaian itu, sedikit banyaknya pemahaman kita sudah barang tentu kita harus mulai berdamai dengan situasi dan kondisi yang ada disekitar kita.SS