
UPAYA Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, khususnya pelabelan Biosphenol-A (BPA) pada air kemasan galon guna ulang polikarbonat masih terus dilakukan.
Regulasi BPOM kali ini cenderung lebih moderat karena hanya berupa stiker bertuliskan, berpotensi mengandung BPA.
Dr. Nugraha Edhi Suyatma, dosen dan peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, pihaknya mendukung regulasi BPOM.
“Sebenarnya upaya BPOM ini, hanya ingin membuat masyarakat Indonesia aman dan sehat. Niat mulia ini patut kita hargai,” kata Dr. Nugraha.
“Kalau nantinya memang tidak terdeteksi, karena deteksi limit pada kemasannya nanti hanya 0,01 mg.kg, maka seharusnya tidak perlu lagi mencantumkan label ‘Berpotensi Mengandung BPA’,” kata Dr. Nugraha.
Berdasar survei di lapangan itu, BPOM menemukan fakta bahwa 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj (bagian per juta).
Selanjutnya, ditemukan fakta bahwa 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi sudah masuk kategori mengkhawatirkan, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj.
Tambahan lagi, juga ditemukan fakta ada 5 persen sampel di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang sudah masuk kategori berisiko terhadap kesehatan sebab migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.
Tak kalah pentingnya, Nugraha juga menegaskan bahan kimia BPA saat ini hadir di mana-mana. BPA tidak hanya ditemukan dalam campuran plastik keras polikarbonat, tapi marak pula di dalam kemasan kaleng, botol susu bayi atau dot yang mestinya dilarang total peruntukannya pada bayi dan anak-anak.
“Berdasarkan riset, hampir 90 persen enamel pada makanan kaleng terbuat dari bahan kimia epoksi yang merupakan bahan baku dari campuran BPA dan epichlorohydrin,” kata Nugraha mengingatkan.
Secara terpisah, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan perlunya ada jaminan galon guna ulang bebas dari senyawa BPA, demi melindungi bayi dan anak-anak.
Dampak kesehatan lainnya, menurut BPOM, sejumlah penelitian dan riset mutakhir di berbagai negara, termasuk Indonesia, menunjukkan BPA bisa memicu perubahan sistem hormon tubuh dan memunculkan gangguan kesehatan termasuk kemandulan, penurunan jumlah dan kualitas sperma, feminisasi pada janin laki-laki, gangguan libido dan sulit ejakulasi.okz/ron