Oleh : Addini Rahmah S.Sos (Pemerhati Sosial)
Tidak terasa sebentar lagi pemilihan presiden 2024, setiap calon presiden sibuk melakukan manuver politiknya untuk mencari pasangan yang mereka gandeng untuk maju ke pemilihan presiden. Seperti yang dilakukan salah satu calon, yaitu dengan memberikan sinyal untuk bisa bekerja sama dengan saling memberikan kunjungan. Dalam pemilihan presiden 2024 yang secara terbuka disampaikan oleh Ketua Umum Partai Gerinda Prabowo saat menerima kunjungan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani, yang keduanya menyatakan akan terus membangun komunikasi politik. Arahnya berupaya mencari kesepakatan dalam kontestasi politik yang mereka akan bangun saat sepakat saling bergandengan maju dalam Pilpres 2024.(Kompas.com,05/09/ 2022).
Melihat begitu gencarnya para calon presiden untuk saling mendapatkan pasangan yang akan mereka gandeng maju dalam Pilpres sangat bertolak belakang dengan kondisi sekarang dimana rakyat sedang terzolimi, dengan naiknya harga BBM. Seharusnya mereka gencar untuk menolak kenaikan harga BBM dengan menyuarakannya ditengah-tengah masyarakat karena kebijakan menaikan harga BBM yang jelas itu akan menzolimi rakyat, tapi mereka malah asik mendiskusikan arah politik partai mereka kedepan. Padahal mereka adalah para petinggi negara dan ketua wakil rakyat.
Dimana kondisi rakyat yang sedang kelimpungan mengatasi dampak domino kenaikan BBM, malah para petinggi negara termasuk ketua wakil rakyat malah sibuk mematut diri mencari pasangan kontestasi. Juga memake up diri agar nampak layak kembali mendapat kepecayaan rakyat. Melihat ini sepatutnya rakyat sadar, bahwa kondisi demikian adalah watak asli sistem demokrasi yang hanya melahirkan sosok pengabdi kursi bukan pelayan rakyat yang merasakan penderitaan mereka.
Demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu hanyalah utopia. Memang betul mereka dipilih oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Tetapi jangan berharap mereka memperjuangkan kepentingan rakyat. Pemilu sebagai proses perubahan juga hanyalah utopia. Nyatanya, Pemilu sudah berlangsung berkali-kali, tetapi nasib rakyat tidak pernah berubah. Inilah realitas demokrasi dan Pemilu, yang ternyata hanyalah fatamorgana. Dari jauh tampak indah, ternyata setelah dekat, semuanya hampa.
Pemilu dalam sistem demokrasi sarat akan kepentingan politik, transaksi kepentingan dan lobi-lobi yang diupayakan mereka hanya umtuk mendapatkan kekuasaan. Modal politik yang besar yang diperlukan dalam pemilu seperti dalam masa kampaye merebut perhatian public, selain itu calon tersebut juga harus menarik perhartian partai politik dengan menyerahkan “Mahar”. Money politik yang selalu terjadi pada saat pemilu. Membuka celah untuk KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) berkembang. Intinya rakyat didekati hanya pada saat pemilu saja dengan diberikan janji-janji politik, namun nihil dari realisasi.
Ummat butuh pemimpin dambaan yang peduli akan nasib rakyat, yang memperjuangan rakyat dan yang amanah dalam meriayah rakyatnya.
Dalam Islam, kepemimpinan merupakan amanah yang harus dijaga, tidak boleh dikhianati. Manakala seseorang terpilih menjadi pemimpin, sesungguhnya ada pertanggungjawaban besar menantinya kelak. Amanah kepemimpinan bisa jadi anugerah dan tempat meraih pahala ketika ditunaikan dengan sungguh-sungguh.
Namun sebaliknya, bisa jadi musibah dan tempat mendulang dosa ketika dilaksanakan dengan asal-asalan. Itulah sebab Islam tidak memandang berbeda antara definisi pemimpin dan penguasa. Keduanya merupakan jabatan kepemimpinan yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Taala. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu’alam bissawab.