
Kasus pertama cacat monyet (monkeypox) telah dikonfirmasi terjadi di Indonesia, tepatnya di DKI Jakarta. Hal ini disampaikan Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril dalam konferensi pers daring, Sabtu (20/08/2022), melalui kanal Kementerian Kesehatan. Kasus ini menambah panjang daftar negara yang terkena virus cacar monyet dengan jumlah kasus terkonfirmasi, sebanyak 41.358 kasus tersebar di lebih dari 90 negara.
Mohammad Syahril melaporkan kasus pertama cacar monyet yang teridentifikasi di DKI Jakarta, Jumat malam (19/8/20022). Total saat ini tercatat sebanyak 22 kasus discarded dan satu konfirmasi cacar monyet. “Dari DKI Jakarta, seorang laki-laki berumur 27 tahun. Dapat laporan pemeriksaan PCR tadi malam,” beber juru bicara Kemenkes dalam konferensi pers. Ia menyebut gejala yang muncul pada pasien tersebut berupa demam, disusul pembesaran kelenjar limfe dan ruam pada sejumlah area tubuh.
Pasien mengeluhkan gejala demam di tanggal 14 Agustus kemarin. Sementara dua hari setelahnya yakni tanggal 16 Agustus, lesi di kulit atau ruam-ruam baru muncul. Syahril menyebut yang bersangkutan memiliki kewaspadaan yang tinggi terkait penyakit cacar monyet. Karenanya, langsung memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat. Pihak rumah sakit sebelumnya langsung mengkategorikan pria tersebut sebagai suspek lantaran kondisi klinis mengarah ke infeksi monkeypox.
Benar saja, satu hari setelah mendatangi RS, hasil tes PCR lesi kulit keluar, dengan menyatakan dirinya positif monkeypox. “Gejala mulai muncul di tanggal 14 dengan muncul gejala demam, tanggal 16 baru muncul lesi atau ruam-ruam, dan kemudian tanggal 18 dilakukan pemeriksaan terhadap pasien, karena datang ke RS, diperiksa dengan cepat oleh RS, diperiksa dalam waktu satu hari dan hasil PCR keluar positif,” tegas Syahril. “Dan ada cacarnya ruam ruam-nya di muka, telapak tangan, kaki, dan sebagian di sekitar alat genitalia,” sambung dia.
Syahril mengungkapkan, pasien tersebut tertular dari kontak langsung saat bepergian ke luar negeri. Namun, ia tidak merinci negara mana yang dimaksud. “Penularan pasien cacar monyet ini adalah kontak langsung. Jadi, pasien ini melakukan kontak langsung pada orang yang di tempat yang ia bepergian kemarin,” imbuhnya. Pasien cacar monyet di Indonesia tidak dirawat di rumah sakit. Melainkan, menjalani isolasi mandiri di rumah. Begitu juga kondisi pasien dilaporkan baik.
“Penularan monkeypox ini adalah utama sekali melalui kontak langsung kepada penderita. Bisa dengan bersalaman, berpelukan, atau mungkin tidur bersama dan seterusnya, dan kontak dengan benda-benda atau barang di sekitar pasien utamanya di selimut, handuk, dan lain sebagainya kita harus menghindari itu,” jelasnya dalam konferensi pers, Sabtu (20/8). “Masyarakat harus paham apabila ada teman kita, saudara kita, yang punya gejala ini kita harus menghindari kontak langsung kepada yang bersangkutan,” sambung Syahril.
Sebelum positif, pasien mengunjungi negara yang terkonfirmasi cacar monyet. Setelah bepergian, pasien mengalami sejumlah gejala dan akhirnya memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. “Jadi dia melakukan pemeriksaan mandiri dan dokter yang dikonsultasikan memiliki kesigapan akan kasus ini walaupun tidak ada gejala yang betul-betul khas,” jelasnya.
“Cacar monyet ini tidak terlalu berat sakitnya sehingga kita tenang. Kalau kita bandingkan dengan COVID, jauh COVID ini sangat jauh beratnya. Untuk itu kita tenang dengan masuk bahwasannya sebenarnya cacar monyet ini bisa sembuh sendiri atau self limiting disease,” beber Syahril.
“Dalam masa inkubasinya yang 21 sampai 28 hari, pasien akan sembuh sendiri manakala tidak ada infeksi tambahan atau superinfeksi, tidak ada komorbid yang berat menyebabkan bertambahnya berat komorbid itu. Kalau pasien tidak ada komorbid, immunocompromised dan tidak ada pemberat-pemberat lain, InsyaAllah sebetulnya pasien bisa sembuh sendiri,” pungkasnya.
Penyebab cacar monyet adalah virus cacar monyet yang merupakan anggota genus Orthopoxvirus dan famili Poxviridae. Saat ini, terdapat dua jenis virus cacar monyet, yaitu yang pertama ditemukan di Afrika Tengah atau Basin Kongo, dan Afrika Barat. Virus yang berasal dari Basin Kongo disebut lebih menular dan menimbulkan gejala yang lebih parah. Cacar monyet adalah penyakit yang ditularkan melalui binatang atau zoonosis. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada kera yang dipelihara untuk penelitian pada tahun 1958. Oleh karena itu, cacar jenis ini disebut cacar monyet.
Penularan dari binatang ke manusia diyakini terjadi akibat perjalanan internasional ke negara-negara yang terpapar virus ini, atau melalui binatang impor. Penularan ini bisa terjadi jika manusia melalukan kontak dengan cairan tubuh atau luka terbuka pada hewan yang terinfeksi. Selain kera, virus ini juga telah ditemukan pada tupai, tikus, primata, dan spesies lainnya. Saat ini cacar monyet tengah menjadi kondisi gawat di berbagai dunia dan diyakini penularan dari manusia ke manusia memiliki dampak yang lebih cepat dibandingkan dari hewan ke manusia.
Koresponden kesehatan dan sains James Gallagher dalam laporannya mengkhawatirkan keadaan ini akan makin parah. Sebagaimana dilansir dari BBC (06/08/2022), Inggris mengatakan jumlah infeksi tampaknya telah mendatar sekitar 35 kasus per hari. Namun, kasus terus melonjak di tempat lain, termasuk AS yang telah menyatakan keadaan darurat.
Lebih dari sekadar persoalan teknis medis kesehatan ketika pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) berkepanjangan berlangsung di tengah begitu majunya sains dan teknologi kedokteran. Demikian juga ketika muncul wabah penyakit menular baru (emerging infectious disease), semisal hepatitis misterius (unknown aetiology) maupun ketika meluasnya wabah penyakit lama (reemerging infectious disease), seperti monkeypox (cacar monyet).
Saat ini, cacar monyet memang banyak terjadi pada pria yang berhubungan seks dengan pria, tetapi makin lama wabah berlangsung, makin besar peluang virus untuk berkembang biak. Sebuah penelitian di New England Journal of Medicine memperkirakan 95% infeksi cacar monyet didapat melalui hubungan seks, terutama hubungan seks di antara laki-laki.
Menurut aktivis muslim Dr. Abdullah Robin, dalam salah satu media dakwah ideologis internasional, Barat tampak malu-malu mengekspose aspek homoseksualitas sebagai penyebar penyakit cacar monyet. “Ia menulis tentang seks secara umum, padahal data resmi Inggris menunjukkan bahwa hampir semua kasus cacar monyet terjadi pada pria yang berhubungan seks dengan pria lain. Jadi, mengapa tidak menulis pertanyaan tentang seks oleh kaum homoseksual?” tanyanya lugas.
Siapa pun yang tinggal di Barat tahu bahwa jika ia mengajukan pertanyaan tentang pembatasan aktivitas homoseksual, ia akan dituduh diskriminatif terhadap komunitas homoseksual. “Meskipun terdapat rujukan hasil penelitian di New England Journal of Medicine yang mencatat sekitar 95% infeksi cacar monyet diperoleh melalui hubungan seks, terutama hubungan seks antarpria, pernyataan ini adalah ringkasan hasil makalah penelitian yang terdengar kurang tegas terhadap homoseksual,” ungkapnya.
Robin menyatakan, pada faktanya, hanya sebagian kecil infeksi berasal dari selain kontak homoseksual. “Jurnal Kedokteran New England melaporkan bahwa secara keseluruhan, 98% orang yang terinfeksi adalah pria gay atau biseksual. Penularan diduga terjadi melalui aktivitas seksual pada 95% orang yang terinfeksi.” Jadi, ungkapnya, jika menggabungkan pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa hanya 2% kasus yang terbukti tidak memiliki unsur homoseksual. “Oleh karena itu, mengapa pemerintah Barat tidak membujuk orang untuk mengurangi seks homoseksual?” tanyanya lagi.
Selanjutnya, Robin mengkritisi pernyataan adanya pelajaran melalui infeksi menular seksual dari sifilis di abad pertengahan hingga sekarang adalah bahwa orang masih berhubungan seks dan vaksinasi adalah satu-satunya pilihan. “Perbandingan dengan penyakit lain yang disebarkan melalui jenis kelamin itu tidak adil. Penelitian lain menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari mereka yang terinfeksi virus telah berhubungan seks dengan 10 pria lain dalam 3 bulan terakhir. Jadi, masalahnya bukan dengan seks pada umumnya. Sebaliknya, cacar monyet sedang disebarkan oleh aktivitas homoseksual yan sangat bebas,” cetusnya.
Untuk Covid-19, jelas Robin, Barat dapat menghentikan kontak seksual secara umum, dan sebenarnya semua jenis kontak. “Namun, untuk cacar monyet, pemerintah Barat tidak akan menutup tempat pertemuan homoseksual atau mencegah puluhan ribu orang berkumpul untuk pawai kebanggaan tahunan,” sindirnya. Ia menjelaskan, seseorang mungkin berpendapat bahwa Covid-19 jauh lebih menular daripada cacar monyet sehingga diperlukan peraturan yang lebih ketat.
“Masalahnya adalah cacar monyet dapat berubah. Makin lama dunia Barat tidak melakukan apa-apa, makin besar kemungkinan virus tersebut akan beradaptasi dengan lebih baik untuk menyebar di semua sektor komunitas masyarakat,” tukasnya, Jika itu terjadi, sambungnya, maka seluruh dunia akan menderita, bukan hanya Barat yang telah menjadi sangat liberal sehingga berakibat membahayakan kita semua.
“Yaitu, ketika menghadapi kebebasan sesat yang dengan bangga disebarkan Barat, atau harus mengambil risiko saat menyinggung para pendukung penyimpangan seksual yang telah mendominasi masyarakat. Mereka akan mengabaikan fakta yang jelas, termasuk mengabaikan kampanye vaksin, apalagi tidak ada cukup dosis yang tersedia dengan efektivitasnya yang juga belum terbukti,” ulasnya.
Pandemi Covid-19, wabah hepatitis akut mematikan misterius pada anak-anak berusia di bawah 10, dan monkeypox, hanyalah tiga contoh kasus wabah penyakit menular dari begitu banyak penyakit menular yang gagal ditangani kapitalisme dengan konsep herd immunity berbasis vaksin. Nilai materi adalah spiritnya, sebagaimana halnya peradaban kapitalisme. Oleh karenanya, demi kepentingan ekonomi dan kaum kolonialis kapitalis, dibenarkan adanya pembiaran pergerakan manusia dari dan ke area wabah, serta mencukupkan wabah pada tahap terkendali, bukan diberantas.
Sampai terbentuk imunitas kelompok yang diharapkan, puluhan juta jiwa terjangkiti penyakit dan jutaan di antaranya meninggal. Kondisi makin serius ketika determinan kesehatan lain juga didera krisis, yakni berdampak negatif terhadap pemberantasan wabah. Akibatnya, jutaan jiwa meninggal dan ratusan juta jiwa jadi pengidap berbagai penyakit berbahaya sebelum herd immunity yang diangankan terwujud.
Inilah fakta dari sedemikian banyak kenyataan bahaya kapitalisme bagi kesehatan dan kehidupan manusia. Ia menjadi akar penyebab krisis berbagai determinan sosial kesehatan, pada kasus ini yakni konsep dasar penanganan wabah, krisis pelayanan kesehatan, krisis sanitasi, dan seks bebas yang membudaya. Kehadiran ideologi alternatif yang sahih dengan determinan sosialnya merupakan kebutuhan yang mendesak.
Determinan sosial kesehatan Islam merupakan sistem kehidupan Islam atau peradaban islami itu sendiri, yakni syariat kafah yang mencakup ide tentang akidah, ibadah, makanan minuman, pakaian, akhlak, muamalat mencakup ekonomi, hingga kehidupan bernegara dan sanksi, berikut metode pelaksanaannya berupa Negara Khilafah. Pada tataran teoritis maupun realitas, penerapan syariat Islam berefek positif terhadap kesehatan secara langsung maupun tidak. Bahkan, kebenaran sains telah tunduk pada kebenaran ini, semisal kebijakan karantina wilayah (lockdown), puasa Ramadan, dan salat.
Melihat karakter syariat Islam sebagai penyejahtera, penerapannya secara kafah tentu berpengaruh kuat menyehatkan masyarakat. Oleh karenanya, penerapan secara kafah hari ini dengan pemanfaatan berbagai kemajuan sains dan teknologi terkini (termasuk di bidang kedokteran dan kesehatan) benar-benar sangat diharapkan. Artinya, kembalinya peradaban Islam yang agung menjadi kebutuhan mendesak negeri ini dan dunia.
Dalam konteks penanganan wabah, determinan sosial kesehatan Islam dapat diartikan sebagai sekumpulan syariat Islam tentang politik kesehatan Islam dalam penanganan wabah penyakit. Di antara yang terpenting adalah pertama, tujuan penanganan wabah adalah eradikasi (pemberantasan). Jika hanya sebatas pengendalian, sama saja membiarkan sejumlah orang dalam bahaya terserang wabah. Di samping itu berpotensi memunculkan varian baru yang lebih berbahaya. Rasulullah saw. menegaskan,”Tidak boleh memudaratkan diri sendiri dan orang lain di dalam Islam.” (HR Ath-Thabrani)
Kedua, tindakan nonfarmasi penghentian segera mobilitas manusia dari dan ke area wabah sebagai tindakan efektif pemutusan segera rantai penularan. Rasulullah saw. menegaskan, “(Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Akan tetapi, jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
Ketiga, ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan gratis berkualitas, seperti ruang perawatan yang nyaman dan manusiawi, tenaga medis, obat-obatan, dan peralatan kedokteran terbaik. Juga harus mudah terakses siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Ini karena kesehatan adalah kebutuhan dasar masyarakat, terlebih saat wabah. Selain untuk keperluan kesehatan individu, semua itu juga berfungsi sebagai pemutus rantai penularan.
Keempat, ketersediaan sarana dan prasarana sanitasi dan air bersih memadai di setiap rumah penduduk hingga di tempat-tempat umum, termasuk di pasar-pasar dan restoran. Ini karena tidak saja sebagai kebutuhan dasar, tetapi juga pencegah dan pada kondisi wabah sekaligus berfungsi sebagai penguatan imunitas (selain pemutus rantai penularan semua jenis penyakit menular). Ketentuan syariat Islam berupa keharusan bersuci dan berwudu untuk penegakan salat otomatis mewujudkan aspek ini. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Baqarah: 222, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri.”
Kelima, ketersediaan makanan dan minuman halal dan baik/tayib. Baik adalah berkecukupan gizi dan bebas dari berbagai kontaminan, termasuk kuman penyakit. Mulai dari rumah tangga hingga berbagai tempat umum, seperti warung, restoran, dan hotel. Ini karena sebagaimana air bersih, selain untuk pemenuhan kebutuhan dasar, makanan dan minuman yang halal dan baik juga penting bagi penguatan imunitas dan efektif untuk pemutusan rantai penularan wabah, khususnya yang ditularkan melalui saluran cerna (fecal oral), seperti hepatitis A dan E, juga hepatitis akut misterius. Allah Swt. berfirman, “Wahai manusia, makanlah yang halal dan baik.” (QS Al-Baqarah (2): 168)
Keenam, terlarang mendekati perilaku seks bebas. Allah Swt. menegaskan dalam QS Al-Isra: 32 “Dan janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan keci dan seburuk-buruknya jalan.”
Ketujuh, kewajiban beriman dan bertakwa berupa persepsi positif bahwa serangan wabah adalah peringatan Allah Swt. dan sakit sebagai jalan penggugur dosa. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa- dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun- daunnya).” (HR Bukhari dan Muslim)
Banyak riset membuktikan, imunitas makin tangguh seiring meningkatnya aspek spiritual religius, dalam hal ini persepsi positif didasari akidah dan ketakwaan yang dibutuhkan saat berhadapan dengan serangan wabah. Ketujuh determinan sosial kesehatan Islam ini dapat terwujud dengan perwujudan sistem kehidupan Islam dengan berbagai subsistemnya, yakni ekonomi, pemerintahan, pergaulan, pendidikan, keuangan, sanksi, dan kesehatan.
Keberhasilan pelaksanaan oleh individu dan masyarakat sangat tergantung pada keberhasilan pelaksanaan negara, khususnya melihat fakta luasnya kewenangan dengan berbagai instrumen politik yang dimilikinya, selain beban tanggung jawab yang harus dipikul. Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin; dan penguasa yang memimpin rakyat banyak akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya”